Setahun yang lalu, sebagian pedagang kaki lima yang menempati lorong atau selasar Maliboro direlokasi ke Teras Malioboro 2. Bukannya ramai pembeli, justru dagangan mereka tak laku.
Mojok merekam curahan hati para pedagang di Teras Malioboro 2 yang memperingati setahun relokasi. Harusnya mereka melakukan napak tilas dengan berjalan kaki di sepanjang Malioboro. Namun, rencana itu ditunda karena banyak pedagang yang mengalami tekanan mental jika harus melewati tempat dulu mereka mencari nafkah.
***
Saya berjalan masuk ke Teras Malioboro 2 yang jadi tempat relokasi PKL selasar Malioboro. Letaknya di sebelah utara kawasan Maliboro. Di bagian depan, lapak-lapak dagang agak ramai dikerumuni pembeli. Namun, berjalan beberapa meter ke dalam, di sisi timur, situasi begitu berbeda. Terasa begitu sepi.
Pedagang yang duduk di kursi depan lapaknya yang sepi melihat ke sisi timur. Berharap ada wisatawan yang mampir, bahkan untuk sekadar menengok dan memegang dagangan mereka.
Veronica Dwi Aryani (51), seorang penjual pakaian, termenung di lapaknya. Daster, kemeja, dan kaos oblong bermotif batik yang ia jajakan dari tadi tak juga ada wisatawan yang menghampiri. Banyak hanger yang tergeletak tanpa pakaian. Bukan karena dagangan laris diboyong pelanggan, tapi lantaran stok barang yang makin hari makin berkurang.
“Sehari terjual beberapa biji langsung buat makan. Mau stok barang, uangnya tidak ada lagi,” ujarnya lirih.
Menangis karena dagangan tak laku
Tiba-tiba mata Dwi memerah dan basah. Ia menunduk sejenak tak kuasa menatap saya. Sambil mengangkat bagaian atas kaos yang ia pakai untuk mengusap air matanya.
Setahun belakangan, sejak mengalami relokasi kondisi keuangan keluarganya terpuruk. Dulu Dwi berjualan di lokasi yang strategis. Ia mendapat lapak di selasar atau lorong persis seberang Mall Malioboro.
Sebelumnya, suaminya juga mengalami PHK dari kerja. Ditambah lagi terkena serangan jantung. Praktis, sejak pindah ke Teras Malioboro 2, Dwi hanya seorang diri menjaga dagangannya.
“Dulu waktu masih di lorong Malioboro masih ada karyawan yang bantu. Hasilnya lumayan kan dulu,” ujarnya sedikit terisak.
Sebelum direlokasi, kondisi para PKL sebenarnya sedang terpuruk akibat pandemi. Dwi mengaku harus berhutang ke bank agar modal dagangan bisa terus berputar. Namun, ia tak menyangka tahun lalu saat pandemi mulai mereda, relokasi terjadi.
“Sampai bingung. Saya sempat mau jual rumah untuk menutup hutang. Hasil dagangan untuk makan saja pas-pasan sekali,” curhatnya.
Dwi menghela nafasnya. Ia bercerita tentang satu hal yang belakangan agak membuatnya lega. Akhir tahun lalu anak bungsunya lulus dari sebuah kampus kesehatan di Jogja. Tanggungannya sedikit berkurang.
Dulu, untuk membayar uang kuliah anaknya di beberapa semester jelang lulus, perempuan yang tinggal di Soragan, Yogyakarta ini mengaku harus menjual motornya. “Dua kali semesteran, saya dua kali jual motor,” ujarnya.
Saking sepinya sisi timur, menurut Dwi para pedagang kerap bergurau. Melambaikan tangan sambil berteriak ke sisi barat, “di sini juga ada jualan. Sini-sini, ada hadiahnya.”
Dagangan laku, langsung untuk kebutuhan hidup
Tak jauh dari lapak Dwi, seorang perempuan yang tampak lebih tua, sedang duduk di lapak yang sudah tertutup terpal. Ngatmi (63), menutup lapaknya lebih dini dari yang lain. Dagangannya tidak sebanyak dan semenarik yang lain, sehingga ia memilih jualan dari pagi sampai jam tujuh malam saja.
“Dagangan saya tinggal sedikit. Laku langsung untuk kebutuhan hidup. Nggak kuat untuk mutar modal nyetok dagangan,” terangnya sambil membuka terpal yang menutup lapak. Terlihat, hanya ada sedikit pakaian tersisa di lapak berukuran sekitar 1×1 meter ini.
Dulu saat masih melapak di lorong Malioboro, anak-anak hingga keponakan Ngatmi turut membantu berjualan. Berdagang sekaligus momen berkumpulnya keluarga jadi sesuatu yang berkesan. Wajahnya yang telah berkerut tersenyum saat menceritakan hal-hal di masa lalu.
Pasca-relokasi, dagangan jadi sepi, sedangkan anak-anaknya yang sudah berkeluarga punya banyak kebutuhan. Sekarang, mereka memilih bekerja sebagai driver ojek online untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Sedangkan Ngatmi, masih setia menjaga usaha yang sudah turun temurun diwariskan dari orang tuanya ini.
Dwi, Ngatmi, dan beberapa pedagang di Blok M dan N Teras Malioboro 2, mengeluhkan dagangan yang sepi. Mereka sempat menyuarakan usulan agar penataan lapak dievaluasi. Salah satunya supaya arus wisatawan yang datang dapat merata ke segala penjuru area ini.
“Ini kan di ada percabangan antara lorong B dan C dengan lorong M dan N. Dulu kami saran agar cabang itu ditutup saja, agar arus wisatawan bisa menjangkau sampai belakang sini. Tapi tidak digubris oleh dinas terkait,” ujar seorang pedagang bernama Siswanto.
Peringatan setahun relokasi PKL
Lebih dari seribu PKL Malioboro direlokasi pada 2 Februari 2022 lalu. Pedagang ini pindah ke dua lokasi, Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2. Pada Rabu (9/2), pedagang di Teras Malioboro 2 menggelar acara peringatan momen setahun relokasi ini.
Momen ini secara khusus diperingati pedagang Teras Malioboro 2 karena mereka akan pindah lagi. Area yang mereka tempati saat ini, akan menjadi proyek Jogja Planning Gallery pada 2024 mendatang.
Sebelum masuk dan menyusuri lapak-lapak di dalam, saya terlebih dahulu menghadiri acara peringatan yang mereka adakan di halaman. Acara mulai sekitar pukul setengah sembilan malam. Lilin-lilin dinyalakan sebagai tanda harapan. Dua obor berada di panggung tempat beberapa tokoh melakukan doa dan orasi.
Bersama-sama, puluhan pedagang menyanyikan lagu “Darah Juang” dengan khidmat. Seorang di depan mengatakan bahwa acara ini menjadi momen menjaga solidaritas.
“Jangan memikirkan diri sendiri. Tetapi kawan dan pengurus harus berdiri di atas kepentingan bersama,” ujar seorang di panggung yag disambut pekik semangat para pedagang yang sebagian sudah lanjut usia.
Para peserta mengikatkan tali putih di kepala dan pergelangan tangan mereka. Setiap slogan semangat yang diucapkan pembicara di depan, mereka menyambutnya dengan pekikan semangat. Asa untuk menjaga kehidupan tampak dari gurat-gurat wajah yang terlihat samar di antara gelap. Mereka duduk di atas paving yang masih sedikit basah usai guyuran hujan deras dari sore hingga jelang isya.
“Berjuang yo berjuang. Demi kita semua,” teriak seorang ibu-ibu pedagang. Lalu spontan memeluk seorang di sampingnya.
Baca halaman selanjutnya..