Sarkam: Warkop 24 Jam di Surabaya yang Multietnis

Ilustrasi Warkop Sarkam. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Jika Jogja punya Sarkem, Surabaya punya Sarkam. Secara histori keduanya memang sama-sama memiliki cerita yang panjang. Bedanya, Sarkam adalah sebuah warkop 24 jam yang cukup legendaris di Surabaya Utara. Warkop Sarkam nyaris tak pernah sepi dari hilir-mudik para pelanggan.

***

Seorang lelaki usia 24 tahun tampak baru saja keluar dari sebuah warung kopi (warkop) sembari menenteng secangkir kopi pesanannya. Ia lalu menyeberang jalan besar, menghampiri beberapa kawannya yang sudah duduk-duduk santai di trotoar.

Begitulah pemandangan pertama yang saya tangkap ketika tiba di Jl. Nyamplungan No. 97, Ampel, Surabaya Utara, lokasi berdirinya warkop Sarkam, pada Senin, (6/06/2022) pukul 00.45 WIB.

Saya memang sengaja ke Sarkam dini hari, demi mendapati suasana jalanan Surabaya yang lengang dan tak terlalu sumpek. Lebih-lebih dini hari itu Surabaya tampak sedikit basah dan berkabut lantaran hujan yang baru saja mereda. Suasana yang agaknya sangat cocok pula untuk diromantisasi.

Dan di antara lengangnya kawasan Surabaya Utara itu, Warkop Sarkam menjadi salah satu nyala yang tersisa. Tentu di samping Makam Sunan Ampel yang berlokasi tidak jauh darinya.

“Kehidupan di Sarkam itu selalu bergeliat tanpa henti,” begitu kata Panduwinr (24) menggambarkan suasana di warkop Sarkam.

“Saya asli Pacar Keling, daerah-daerah sini. Sejak dulu memang suka ngopi di sini (Sarkam). Kadang sendiri, kadang sama arek-arek. Asyik dan tenang aja suasana di sini,” terang lelaki yang juga merupakan karyawan salah satu konter yang cukup terkenal di Surabaya Utara itu.

Tenang dalam keramaian

Jika diamati, sepintas suasana di sekitar Warkop Sarkam memang cukup riuh. Di samping karena warkop yang buka 24 jam, Sarkam sendiri yang punya banyak pelanggan, lokasinya dekat dengan makam Sunan Ampel membuatnya menjadi jalur lalu-lalang para peziarah.

Sebagai gambaran betapa ramainya warkop Sarkam, di dalam warkop biasanya selalu penuh. Di luar warkop juga nyaris tiap malam digunakan oleh bapak-bapak untuk bermain domino, yang sudah pasti tidak lepas dari sorakan dan gojekan. Sementara jika memilih nongkrong di trotoar seberang jalan, seharusnya terganggu dengan bising kendaraan yang melintas setiap saat.

Lalu apa yang membuat Pandu bisa mengatakan kalau suasana di warkop Sarkam asyik dan tenang?

“Antara kita dengan keramaian itu seperti terpisah dimensi. Jadi nggak mengganggu sama sekali. Walaupun banyak kendaraan melintas, banyak suara-suara terdengar, tapi kita tetap bisa menikmati momen kita sendiri, nggak ke-distract. Lebih-lebih kalau tengah malam atau dini hari seperti ini. Saya juga heran kenapa bisa begitu,” ujarnya.

“Kalau ditanya soal rasa kopi, nikmat ya memang nikmat, tapi sepertinya nggak jauh beda dengan rasa kopi di warkop-warkop di Surabaya pada umumnya. Perihal apa yang membuat Sarkam menarik, ya itu tadi, suasananya. Cocok untuk ngerasani kehidupan, deep talk, kontemplasi, atau apalah itu,” imbuhnya.

Pengunjung Warkop Sarkam yang buka 24 jam di Surabaya Utara
Pengunjung Warkop Sarkam, tempat ngopi multietnis di Surabaya. (Aly Reza/Mojok.co)

Sohibul Buroq (25) juga mengungkapkan hal yang kurang lebih sama dengan apa yang dituturkan Pandu. Lelaki asli Madura itu mengaku bahwa sebenarnya ia bukanlah penikmat kopi. Namun ia sepakat menyebut Sarkam sebagai warkop 24 jam yang menyuguhkan suasana lain.

“Kalau di coffee shop katakanlah, atau di kafe, itu ramaianya terkesan berisik, mengganggu. Apalagi kalau ada live music-nya. Jadi nggak bisa enak ngobrol,” ucap Sohib.

“Sementara di sini (Sarkam), mungkin iya ramai suara-suara kendaraan atau hiruk-pikuk orang-orang lewat. Sesekali juga ada pengamen dengan suara cempreng menghampiri. Tapi itu sama sekali nggak bikin sumpek,” terang lelaki yang mendeklarasikan dirinya sebagai pecinta es teh itu.

Sohib mengaku punya jadwal rutin dengan kawan-kawannya untuk nongkrong di Sarkam, sejak zaman kuliah hingga sekarang. Sementara ini terjadwal tiap Senin dini hari.

“Semasa kuliah ya untuk diskusi-diskusi ala mahasiswa gitu lah. Kalau sekarang ya lebih ke sharing soal kehidupan aja sih,” jelasnya.

Singkat kata, warkop Sarkam adalah warkop 24 jam di Surabaya yang menyediakan ruang untuk bercengkerama dengan sesama. Dimana obrolan demi obrolan tidak akan terdistraksi oleh apapun, termasuk oleh dunia maya. Orang-orang yang sudah masuk ke Sarkam akan lebih memilih meletakkan HP-nya di samping cangkir kopi, lalu larut dalam perbincangan hangat. WiFi bukan jadi sesuatu yang dicari-cari di sini.

Warkop multietnis

“Bisa dibilang, warkop ini warkop multietnis, Mas. Coba lihat, yang ngopi di sini itu ada Jawa, Madura, Arab, satu-dua juga ada Tionghoa,” ucap Abdul Muis (40), generasi ketiga pengelola Warkop Sarkam yang saya temui dini hari itu.

Dan memang benar apa yang diutarakan Cak Muis. Bahkan di meja domino, bapak-bapak perwakilan dari masing-masing etnis tersebut tampak sangat gayeng sekali.

“Berbagai etnis, berbagai kalangan. Ada juragan, ada makelar, ada biro jodoh, macem-macem kalangan ada semua di sini. Sudah mempraktikkan toleransi, to?” tambahnya.setengah bertanya yang saya timpali dengan tawa kecil tanda setuju.

Di sela-sela meracik kopi-melayani pembeli, Cak Muis dengan antusias menceritakan perjalanan dari warkop 24 jam di Surabaya yang dirintis oleh kakeknya tersebut.

Nama Sarkam, kata Cak Muis, tidak lain adalah kependekan dari pasar kambing (sar-kam). Mengingat lokasi awal dari Warkop Sarkam dulunya memang bersebelahan dengan pasar kambing yang cukup terkenal di Surabaya Utara. Kakek Cak Muis mulai membuka warkop Sarkam kira-kira pada 1950-an, sebelum kemudian digantikan oleh ayah Cak Muis pada 1980-an.

Seturut keterangannya, sejak masa kakek hingga ayahnya tersebut warkop Sarkam sudah mempunyai banyak pelanggan. Di kawasan Ampel sendiri, siapa yang tidak kenal dengan Hj. Sufyan (kakek Cak Muis). Sosok yang disebut-sebut sebagai pribadi yang menyenangkan. Sehingga meskipun Warkop Sarkam sempat tiga kali berpindah lokasi sekaligus berganti pengelola secara turun-temurun, tidak pernah kehilangan satupun pelanggan setianya. Kecuali jika pelanggan tersebut sudah meninggal, itu jadi satu pengecualian.

“Saya mulai megang (Sarkam) itu 2001. Lokasinya waktu itu pindah ke belakang (kompleks perkampungan Nyamplungan, Ampel) dari yang semula di seberang jalan (Pegirian). Di tahun 2005 atau 2006 lah kalau nggak salah ingat, pindah lokasi lagi di sini, sampai sekarang,” beber Cak Muis.

“Alhamdulillahnya, sedari dulu pelanggannya sudah ramai. Jadi pas saya yang megang dan pindah untuk yang ketiga kali, nggak terlalu berat buat nyari pelanggan baru. Karena pelanggan-pelanggan lama pasti nyari. Cuma ya tetep, karena waktu itu sewa tempatnya tinggi, harus muter otak buat nyari pelanggan baru, buat nambal sewanya,” jelasnya menambahkan.

Dari situlah Cak Muis kemudian punya ide untuk membuka warkop selama 24 jam nonstop.

Tak pernah sepi selama 24 jam nonstop

Belum juga saya bertanya lebih jauh, Cak Musi menerangkan mengenai sistem operasional warkop 24 jam di Surabaya Utara yang ia kelola tersebut.  

Ia membaginya dalam tiga shift. Shift pertama yakni dari jam empat subuh hingga bakda zuhur, shift kedua dari bakda zuhur hingga bakda magrib, dan shift ketiga adalah dari bakda magrib hingga jam empat subuh. Masing-masing shift ia bagi dengan adik dan keponakannya. Ia sendiri kebagian jatah shift ketiga.

Warkop Sarkam di Surabaya ini selalu dipadati pengunjung. (Aly Reza/Mojok.co)

Untuk pembagian hasil, disesuaikan dengan income yang masuk di shift masing-masing. Dari total pendapatan yang masuk per hari, masing-masing shift diwajibkan menyisihkan sekian persen (Cak Muis enggan menyebut nominalnya) untuk uang kas keluarga. Kas tersebut, kata Cak Muis, nantinya dialokasikan untuk menghandle beberapa kebutuhan keluarga yang bersifat urgen dan darurat.

“Dulu pas masih di lokasi yang lama kan bukanya dari bakda subuh sampai jam sebelas malam. Nah, berhubung harus nambal sewa, maka harus nambah jam lagi untuk dapat lebih banyak pembeli. Maka saya coba bikin warkop 24 jam nonstop” tutur Cak Muis.

Di awal-awal memberlakukan jam operasional selama 24 jam nonstop di tahun 2005 itu, Cak Muis sengaja memasang TV di warkopnya. Diakui Cak Muis, itu menjadi strategi yang cukup jitu untuk menarik lebih banyak pelanggan lagi. Sebab, akhirnya banyak pelanggan yang nongkrong ke Warkop Sarkam untuk sekadar nonton TV.

Lebih-lebih jika ada perhelatan sepak bola nasional maupun internasional, pengunjung di Warkop Sarkam malah bisa membludak. Misalnya waktu momen Euro 2006 atau Piala Dunia 2010, atau juga saat momen Piala AFF 2010.

Ditambah lagi, di tahun-tahun tersebut makam Sunan Ampel makin ramai dikunjungi peziarah dari berbagai daerah. Tidak sedikit para peziarah yang mampir ke warkop 24 jam yang dikelolanya untuk sekadar membeli kopi, es teh, gorengan, atau mengganyam nasi kucingan.

“Dan ya Alhamdulillah, lambat-laun makin ramai-makin ramai. Akhirnya pada tahun 2009 ruko ini bisa saya beli. Eh lah kok sistem 24 jam nonstopnya masih keterusan sampai sekarang,” tambahnya.

Saat ini, Cak Muis bahkan memasang TV dengan kualitas yang lebih bagus plus WiFi. Namun, agaknya keberadaan TV dan WiFi tersebut kini tak terlalu berpengaruh bagi pendapatannya. Pasalnya, tanpa dua elemen itupun Warkop Sarkam akan tetap jadi primadona.

Masiyo ngunu (meskipun begitu), Mas, ya biar kelihatan ngikuti zaman aja,” ucap Cak Mis. “Toh kalau ada Liga Inggris atau Liga Champions masih banyak yang pengin nobar. Iya, to?”

Riwayat kopi ma’jun dan kopi sumsum

“Sampai sekarang orang-orang itu masih banyak yang nyari kopi ma’jun di sini,” jawab Cak Muis sat set saat saya tanya ihwal menu apa yang menjadi pembeda Warkop Sarkam dengan warkop 24 jam yang lain di Surabaya.

Cak Muis memaparkan, kopi ma’jun adalah kopi hitam biasa yang diseduh dengan campuran jamu ma’jun. Yaitu jamu tradisional dengan rasa pedas menyengat yang berbahan dasar kunyit, jahe, kelapa, dan gula merah. Khasiat jamu ma’jun sendiri adalah untuk mengembalikan energi dan vitalitas tubuh. Maka sangat cocok bagi para pekerja kasar.

Jamu ma’jun sendiri sebenarnya bisa diseduh sendiri. Adapun kenapa Cak Muis menjadikannya sebagai campuran di kopi racikannya adalah karena membuat rasa kopi menjadi lebih mantap.

“Ngopinya dapat, sehatnya juga dapat,” begitu kata Cak Muis.

Cak Muis sebenarnya menawari saya untuk dibuatkan secangkir kopi ma’jun. Namun menyadari bahwa lambung saya tidak begitu bersahabat dengan kopi dan hal-hal bersifat asam ataupun pedas, maka dengan berat hati saya menolaknya. Cukup es teh saja.

Selain itu, yang dulu menjadi menu unik di warkop Sarkam adalah kopi sumsum. Yakni kopi yang dicampur dengan cairan tulang sumsum kambing. Khasiatnya, kata Cak Muis, untuk meningkatkan kekebalan tubuh. Sayangnya, beberapa tahun belakangan Cak Muis tidak menyediakan menu tersebut. Entah kapan lagi ia akan kembali menyuguhkan menu andalan warkop Sarkam itu.

“Dulu waktu masih sedia, ada yang pesen kopi sumsum, ada yang pesen sumsumnya thok. Jadi diseruput gitu aja,” terangnya.

Cak Muis, penerus Warkop Sarkam di Surabaya Utara. (Aly Reza/Mojok.co)

“Kalau untuk kopi hitam, saya pakainya kopi hasil oven, bukan sangrai. Jadinya warnanya nggak hitam pekat, tapi agak cokelat. Soal nikmat mana, ya coba tanya pelanggan di sini. Karena toh yang saya jual di sini yang paling utama bukan kopinya atau WiFi-nya, tapi pelayanan. Gimana bisa akrab dan gayeng sama pelanggan, itu yang terpenting,” tegasnya.

Mengelola Sarkam: sebuah usaha mencari ketenangan batin

“Sebelum menggantikan bapak mengelola Sarkam, saya dulu sempat beberapa kali gonta-ganti profesi,” tutur Cak Muis saat saya coba kulik kehidupan masa mudanya.

Ia mengaku pernah bekerja di salah satu perusahaan surat kabar di Surabaya, pernah menjadi kurir, dan bahkan sempat mengabdikan diri untuk mengajar. Saat bapaknya meninggal, ia lantas mencoba mengambil alih Warkop Sarkam.

“Karena memang bagaimanapun warkop inilah yang menopang kehidupan keluarga kami. Jadi akan saya lanjutkan. Lagipula, saya menemukan ketenangan batin sejak di sini,” ungkapnya.

Jika dihitung-hitung secara rasional, bagi Cak Muis, uang yang ia dapatkan selama bekerja, utamanya di surat kabar, jauh lebih menggiurkan ketimbang laba yang ia peroleh di awal-awal ia memegang Warkop Sarkam. Hanya saja, di Sarkam, ia akhirnya menemukan apa yang selama ini tidak ia temukan di tempat kerjanya yang dulu; ketenangan.

Ayem ae, Mas, melihat orang-orang yang nongkrong di sini gayeng dan guyub seperti itu. Membawa energi positif yang nular ke saya,” katanya.

Terakhir, ketika saya singgung mengenai rencananya untuk Sarkam di masa depan, pria kelahiran Gresik, Jawa Timur itu sempat terdiam sejenak. Sejauh ini masih belum terbesit di dalam benaknya untuk memproyeksikan satu dari tiga anaknya agar kelak meneruskan warkop 24 jam di Surabaya Utara yang sudah melegenda tersebut.

“Sementara biar saya dan saudara-saudara saya yang urus. Untuk nanti, biarkan anak-anak yang memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri,” pungkasnya.

Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA:  Kesegaran Es Doger Balai Yasa dan Kenangan tentang Lapas Cebongan 

Exit mobile version