Mereka yang Hatinya Tertambat di Surabaya, Kota Tanpa Perasaan

Mereka yang Hatinya Tertambat di Surabaya, Kota Tanpa Perasaan. MOJOK.CO

Ilustrasi Mereka yang Hatinya Tertambat di Surabaya, Kota Tanpa Perasaan. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Surabaya memang tak terlalu bisa diromantisir layaknya Jogja. Bukan pula tipikal kota yang cocok untuk menghabiskan masa tua. Tapi ada beberapa orang yang hatinya sudah terlanjur tertambat di kota ini; menghabiskan waktu bertahun-tahun tanpa keinginan untuk beranjak.

Beberapa di antara mereka bertahan bukan semata-mata karena uang. Bagi meraka yang saya temui ini, UMR tinggi toh hanya angka di atas kertas. Kenyataannya, meraka harus memutar uang yang pas-pasan untuk menopang biaya hidup metropolitan.

Lantas apa yang membuat mereka bertahan di salah satu kota terpanas di Indonesia ini? Mojok merangkum cerita-cerita dari mereka yang hatinya tertambat di Surabaya.

***

“Mas Aly nggak pengin nyoba ke Jakarta, ta?” tanya Ayos Purwoaji, kurator cum dosen, dalam momen ngopi bareng Puthut EA, Kardono Setyorakhmadi, dan Djono Tehyar pada Minggu, (30/4/2023) di Mr. Coffee Indonesia, Surabaya. Pertanyaan yang saat itu saya jawab sekenanya saja.

Surabaya, kota tanpa perasaan

Saya memang belum lama tinggal di Surabaya. Baru lima tahun lebih sedikit. Tapi, setidaknya sampai saat ini, saya masih belum menemukan alasan kenapa saya sangat betah di kota ini, atau alasan kenapa saya harus beranjak dari kota ini.

Kalau bicara soal uang, gaji saya sebagai juru edit memang masih belum menyentuh UMR Surabaya. Bicara soal suasana, tentu ada banyak pilihan kota lain yang lebih baik; lebih-lebih untuk urusan cuaca. Surabaya seolah hanya terbuat dari panas. Tak ada semilir-semilirnya. Bahkan di saat hujan sekalipun, hawa sejuk rasanya kok cuma mampir sekilas. Selebihnya ya tetap sumuk.

Tapi kenyataanya sejauh ini saya masih belum bisa berpaling dari kota ini. Beberapa kali mencoba menetap  di kota lain, dengan tawaran gaji yang sama, dengan iming-iming suasana yang lebih “segar”. Namun, entah kenapa ujung-ujungnya saya tetap kembali lagi ke sini.

Saya pernah berbincang dengan seorang teman yang asli Surabaya, yang bertahun-tahun tak pernah mencecap dunia perantauan (benar-benar menghabiskan masa kecil dan masa bertumbuhnya di Surabaya). Di luar urusan uang, baginya yang nyeniman banget, Surabaya sangat “kering” dan membosankan. Apalagi, di sini, ranah seni dan budaya dirasanya tak bergeliat secara kolektif. Jangan harap pula menemukan sebuah sudut hijau untuk sekadar melepas penat dari rutinitas yang berulang.

“Apa yang menyenangkan dari menghibur diri di mall-mall atau taman-taman kota yang  berkonsep norak dan berselera tua itu?” ujarnya. 

Imitasi patung Merlion di kawasan G-Walk Surabaya yang sedang direnovasi. (M Aly Reza/Mojok.co)

“Kota ini adalah kota tanpa perasaan. Kota yang tak asyik.” Sama seperti saya, dia pun penasaran, apa yang membuat banyak orang menghabiskan hidupnya bertahun-tahun di kota ini? Terutama mereka yang mengenyampingkan urusan uang.

Beban anak pertama yang ikut jadi tulang punggung keluarga

Saya terhubung dengan Eva, salah seorang pegawai di bank swasta yang sudah 12 tahun di Surabaya.

Wanita asal Jember, Jawa Timur itu mengaku sudah merantau ke Surabaya sejak lulus dari SMK. Gap year satu tahun dia gunakan untuk mencari pengalaman dengan bekerja di sebuah pusat perbelanjaan. Di tahun berikutnya, dia memutuskan untuk kuliah sambil bekerja serabutan.

Terbiasa bekerja di Surabaya akhirnya membuat Eva memutuskan untuk tetap bertahan di kota ini setelah lulus kuliah; mencari peluang kerja yang lebih profit di sini. Dan jadi lah dia pegawai bank.

“Selagi masih ada kerjaan (di Surabaya), kayaknya nggak bakal pindah-pindah, sih,” ujarnya.

Eva adalah satu dari sekian orang yang bertahan di Surabaya karena alasan mainstream, apalagi kalau bukan cuan. Beban anak pertama membuatnya harus ikut menjadi tulang punggung keluarga. Terlebih dia sendiri mengaku bukan dari keluarga berada. Sang ayah pun sudah meninggal sejak tahun ketiganya di Surabaya.

“Di rumah aku punya dua adik. Satu SMA mau lulus tahun ini, berarti habis ini kuliah kalau dia pengin. Satu lagi masih kelas dua SMP. Kalau ibu di rumah jualan nasi pecel tiap pagi,” ungkapnya.

Jika pilihannya Jakarta, Surabaya masih lebih baik

Di mata Eva, Surabaya tak jauh berbeda dari kota-kota besar lain. Di mana orang datang dan berlalu hanya untuk mendapatkan jaminan uang yang besar. Selebihnya tak ada yang istimewa.

Tapi baginya, jika dia masih bisa bekerja dengan upah layak di Surabaya, ia masih belum tertarik hijrah ke kota besar lain, termasuk Ibu Kota Jakarta.

“Macet ya macet. Banjir ya sering. Tapi nggak parah banget. Biaya hidup mahal mungkin iya juga. Beda tipis emang dari Jakarta. Tapi seenggaknya nggak sesemrawut dan sekeras gambaran tentang hidup di Jakarta,” tuturnya.

“Seandainya bekerja di Jember sudah cukup, mungkin aku bakal lebih milih di Jember aja. Nggak ada macet, biaya hidup murah, kalau pengin healing tinggal pilih mau ke pantai mana. Dan gimana-gimana lebih tenang kalau nggak berjauhan sama ibu dan adik-adik,” imbuhnya sendu.

Ada mimpi yang belum tuntas di Surabaya

Di sebuah kos yang agak nyempil di dalam gang sempit di Wonocolo, pertanyaan yang sama saya lempar ke Imam Fawaid dan Isqomar, “Adakah bayangan untuk mencoba peruntungan di luar Surabaya?” Keduanya sama-sama sepakat menjawab, “Belum!”.

Imam Fawaid, presenter junior di salah satu stasiun tv swasta itu mengungkapkan alasan yang agak idealis. Ada satu mimpi di Surabaya yang masih belum dia tuntaskan; menjadi penyiar top asal Jawa Timur.

Dia sendiri memang baru merintis karir sebagai seorang penyiar, baik di tv maupun radio. Namun, kadang kala dia kepentok dengan kenyataan bahwa uang yang dia dapat dari situ terbilang masih kecil. Akan tetapi, setelah diskusi dengan para seniornya, pemuda asal Madura itu akhirnya kembali memantapkan hati untuk stay di Surabaya.

“Aku harus bangun jaringan lebih banyak lagi di Surabaya kalau mau jadi penyiar terkenal. Dan itu nggak cukup satu tahun/dua tahun,” ujarnya.

Gedung Setan dari Fly Over Pasar Kembang, salah satu gedung peninggalan kolonial di Surabaya. (Dok.Akhmad Idris/Mojok.co)

“Kalau langsung lompat ke Jakarta, ya sama saja mulai dari nol. Proses lagi dari awal. Kecuali kalau kerja lain di luar ini (penyiar),” imbuhnya.

Soal keuangan, Fawaid tentu merasa agak miris karena memang benar-benar pas-pasan. Sering juga dia hanyut dalam rasa bersalah karena jarang bisa memberi tambahan uang belanja untuk ibunya di rumah. Tapi dia merasa masih harus bersabar. Ada keyakinan bahwa ketekunan akan membukakan jalan rezeki yang lebih baik di masa depan.

“Baru merintis (jadi presenter) begini emang modal nampang di tv aja, Mas. Duitnya masih nggak seberapa,” ungkapnya.

Masih belum ingin bertaruh lebih jauh di kota besar lain

Sementara di lain pihak, alasan yang memberatkan Isqomar untuk beranjak dari Surabaya adalah karena masih belum berani untuk bertaruh lebih jauh di kota besar lain. Dia ragu bakal bisa survive sebagaimana dirinya survive di Surabaya selama ini.

Lebih-lebih, di Surabaya dia sudah mendapat pekerjaan yang dirasanya sudah sangat cukup untuk menunjang kehidupan pribadi. Paling tidak itu dulu. Jika belum bisa banyak memberi, maka minimal sudah tak menjadi beban orang tua.

Lain itu, di Surabaya dia merasa telah memiliki lingkungan sosial yang sehat. Perkara yang dia sendiri tak yakin akan bisa mendapatkannya lagi jika berusaha menetap di kota lain. Karena bagi sosok yang agak introvert seperti dirinya, membentuk komunitas baru tentu bukan hal yang mudah.

“Susah kalau mau mulai lagi dari awal. Kenalan dengan banyak orang baru. Adaptasi lagi. Meraba-raba lagi. Survive lagi,” ujarnya.

“Sementara ini Surabaya masih sangat nyaman. Karena selain masih terhubung dengan relasi-relasi lama, aku merasa sudah tahu “medan” aja kalau di Surabaya. Jadi nggak takut “tersandung “atau “jatuh”,” tambahnya.

Meninggalkan lereng Lawu untuk memilih Surabaya

Cerita unik saya dapatkan dari Badri, seorang driver ojek online, kenalan dari teman saya yang berprofesi sama.

Badri adalah pria asal Megatan, Jawa Timur. Katanya kampung halamannya ada di sebuah desa di lereng Gunung Lawu. Sementara dia kini tinggal bersama istri dan satu anaknya di sebuah rumah kecil di Medaeng, tidak jauh dari Terminal Bungurasih.

Padahal itu adalah desa impian orang-orang untuk menghabiskan masa tua. Dengan hitung-hitungan, menjadi pedagang di sana—sebut saja di Telaga Sarangan, di kawasan Cemoro Sewu (jalur pendakian Gunung Lawu), atau objek wisata lain—sepertinya masih lebih menguntungkan dari menjadi driver ojek online di Surabaya.

Bahkan, menjadi penjual sayur keliling di Magetan pun menawarkan omzet yang sangat menggiurkan. Merujuk dari Kompas, ada sebuah komunitas penjual sayur keliling di Magetan—Etek Lawu namanya—yang bisa meraup keuntungan bersih Rp200 ribu per hari.

Etek Lawu mencatat, ada perputaran uang hingga Rp1,5 m setiap harinya di komunitasnya tersebut, dengan wilayah jangkauan meliputi seluruh Kerasidenan Madiun sampai Kabupaten Sragen dan Karanganyar, Jawa Tengah.

Tapi kenapa Badri justru memilih hidup di Surabaya? Hingga beristri dan beranak pula.

Kagum dengan solidaritas bonek

Semua berawal dari momen saat dia ikut-ikutan nonton Persebaya bersama tiga orang temannya di Gelora Sepuluh November, kira-kira awal 2000-an. Dia lupa kapan persisnya.

“Pas itu malem-malem, Mas. Saya dan teman saya, tiga orang, ngemper di dekat stadion. Karena sudah capek, nggak mungkin kalau malam itu langsung tancap motor ke Magetan. Eh ada dua orang Bonek, asli Surabaya. Habis saling sapa, ngobrol sebentar,  kami diajak nginep di rumahnya. 

Dikasih makan. “Podo boneke,” kata orang itu,” tuturnya mencoba membuat ceritanya terdengar lebih singkat.

Badri yang pada dasarnya adalah “wong dalanan” pun merasa kagum dan lantas berpikir untuk menjadi warga Surabaya. Dia pun menikah dengan wanita asal Surabaya, menetap pula di kota ini sejak resmi menikah pada 2007 silam.

“Solidaritas sesama Bonek, sesama wong dalanan seperti itu bikin saya nggak takut terlunta-lunta di Surabaya,” ujarnya.

Di samping itu, dengan tinggal di Surabaya Badri pun bisa lebih mudah kalau hendak nonton langsung pertandingan Persebaya di stadion. Dia memang tak terlalu paham soal tetek bengek sepak bola. Tapi yang dia tahu, bersorak-sorai bersama para Bonek di tribun membuatnya menjadi lebih bergairah.

Restu ibu

Ada juga yang menetap di Surabaya karena restu ibu, Afifa misalnya. Wanita asal Kediri itu sebenarnya pengin coba-coba berundi nasib di beberapa kota seperti Jakarta, Tangerang, atau Bandung. Tapi sang ibu menyalakan rambu merah, tak memberi izin.

Alhasil sejak lulus kuliah, ia lanjut mencari dan berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain di Surabaya. Meski tak UMR, gaji yang dia dapat selama tiga tahun masa kerjanya toh masih di kategori layak; masih cukup untuk dipakai sendiri (walau ngepres), ditabung, dan disisihkan untuk memberi ibunya tambahan uang belanja.

“Kata ibu, pertama, ya biar deket dari rumah. Masih bisa sering-sering pulang ke Kediri,” katanya.

“Kedua, ibu itu khawatir. Dalam bayangannya, Jakarta atau Bandung pergaulannya kelewat bebas. Dia khawatir aku terjerumus. Kalau di Surabaya, kesannya masih nggak separah itu,” lanjutnya.

Cerita-cerita di atas jelas hanya sebagai sampel kecil. Masih ada cukup banyak cerita dari mereka yang hatinya tertambat di Surabaya setelah melewati beberapa tahun tinggal di kota ini. Selain uang, perasaan terlanjur nyaman menjadi alasan yang sangat umum.

Kedua alasan itu pada akhirnya membuat banyak orang mencoba menepikan hal-hal minor dari Surabaya.

Surabaya lewat tengah malam

Surabaya bukannya tanpa cacat. Premanisme, pencurian (khususnya curanmor), tawuran antar perguruan silat (kadang perguruan silat vs suporter), hingga yang terbaru, munculnya gangster; sekelompok remaja bersenjata macam klitih mewarnai khazanah kriminalitas kota ini. Hanya memang gaungnya kalah nyaring dari narasi-narasi tentang Surabaya kota bersih, Surabaya kota rapi, Surabaya kota kuliner, dll dll.

Namun, seperti kata Eva, jika pilihannya sama-sama kota besar, Surabaya sepertinya masih lebih baik. Kriminalitas tetap kriminalitas. Tapi kalau dibandingkan dengan Jakarta (misalnya)?

Berdasarkan data BPS 2021, Jakarta menempati posisi puncak sebagai kota dengan tingkat kriminalitas tertinggi (dengan 8.112 kasus). Sementara Surabaya ada di urutan keenam (dengan 2.148 kasus).

“Ada satu alasan lagi yang hanya bisa dijelaskan lewat berkendara di Surabaya di jam-jam lewat tengah malam. Coba saja,” ucap seorang teman asal Aceh yang kini tengah lanjut S2 di Jogja. “Itu yang bikin aku pengin balik lagi ke Surabaya, suatu hari nanti.”

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Asal Usul Nama Gedung Setan di Surabaya yang Nggak Banyak Orang Tahu dan tulisan tentang Surabaya lainnya di Mojok.co.

 

Exit mobile version