Selama lebih dari dua tahun, sejak Gunung Merapi berstatus siaga, anggota Search And Rescue (SAR) DIY melakukan patroli dan berjaga di sejumlah posko di lereng Merapi. Itu mereka lakukan untuk memberi rasa aman pada warga setempat. Bagi mereka, menjadi relawan itu hobi, meski tanpa gaji.
***
Dewi (52) sedang menunggu order pengantaran saat kabar erupsi Merapi tersiar di ponselnya. Perempuan yang tinggal di Ngasem, Yogyakarta ini sehari-hari memang bekerja sebagai driver ojek online. Pekerjaan yang sudah ia jalani sejak 2016 silam.
Begitu kabar erupsi terdengar, sekitar pukul 12.13 WIB, ia langsung bergegas pulang ke rumah. Sejenak beristirahat, mengganti pakaiannya, dan langsung melaju ke Pos SAR DIY di Wonokerto, Turi, Sleman. Pos ini terletak sekitar 10 kilometer di sisi barat puncak Merapi.
“Saya sampai di sana sekitar jam 14.30,” katanya.
Hari itu, Sabtu (11/3), Dewi bersiaga di pos sampai sekitar pukul delapan malam. Ia lalu kembali ke rumah di Ngasem yang jaraknya sekitar 25 kilometer dari Pos SAR DIY Wonokerto. Beristirahat malam dan sudah berangkat ke pos kembali pada pukul lima pagi.
Saya bertemu dengan Dewi pada Minggu (12/3) sore saat ia tengah sibuk menata masakan di dapur umum. Hari ini, bersama sejumlah rekan, ia bertugas mengolah berbagai bahan sumbangan yang tersedia untuk para relawan yang tengah berjaga.
Wajahnya terlihat lelah. Rambut pendeknya tampak kusut dan sedikit acak-acakan. Tapi perempuan yang aktif sebagai anggota SAR DIY sejak 2021 silam ini masih semangat menceritakan kegiatannya di pos.
“Nggak cuma di dapur umum. Kadang saya ikut patroli dan tugas-tugas lain yang saya bisa kerjakan. Pokoknya sesuai kebutuhan,” ujarnya antusias.
Bagi Dewi, berkegiatan sebagai relawan adalah panggilan jiwa. Saat sekolah dulu ia telah aktif berkegiatan bersama PMI. Maka ketika mulai menjadi driver ojol, ia juga terlibat di jaringan relawan sesama profesi tersebut. Sampai akhirnya, ia terlibat kegiatan SAR DIY.
SAR DIY sigap sejak Merapi siaga
Hari itu di Pos SAR DIY Wonokerto, selain Dewi, ada sekitar lima puluh relawan yang sedang berjaga. Saya tiba di sana bersama Komandan SAR DIY, Brotoseno, sekitar jam setengah lima sore. Saat kami turun dari mobil, para relawan itu langsung berdiri menyalami komandan yang akrab disapa Ndan BS ini.
“Sore Ndan,” ucap seorang relawan sambil bersalaman.
Para relawan lalu berbincang hangat sambil menyeruput kopi dan menenteng rokok. Kebersamaan terasa hangat. Ndan BS berujar kalau bencana memang jadi konsolidasi paling ampuh buat para relawan ini.
Bayangkan saja, sejak 5 November 2020 silam saat status Merapi naik ke level III atau siaga, mereka selalu bergilir menjaga piket di sejumlah pos relawan. Sebelumnya, Merapi memang mulai bergejolak sejak 2018, saat itu statusnya waspada setelah terdapat erupsi freatik.
Mereka hadir untuk menjaga keselamatan warga selama status Merapi sedang siaga. Bukan hanya warga lereng Merapi, tapi juga warga luar yang beraktivitas di sekitar sana seperti wisatawan dan penambang pasir.
Seorang anggota SAR DIY, Yoga Laksamana bercerita kalau setiap hari, ada sekitar 5 sampai 11 orang yang piket di pos. Bahkan sering lebih dari itu. Melakukan piket sejak pagi sampai malam. Padahal, meski ada jadwal, sebenarnya tidak ada sanksi atau kewajiban bagi para relawan untuk meluangkan waktunya.
“Ya di samping kerja, ngurus keluarga, selalu nyempatkan ke sini baik kalau jadwal piket atau memang lagi senggang. Kalau nggak datang ya bisa diantemi bocah-bocah,” ujarnya terbahak. Tentu, kalimat kedua tadi hanya candaan Yoga. Guyonan para relawan memang begitu lepas dan blak-blakan.
Gagahnya gunung Merapi tidak tampak dari pos ini. Tertutup awan dan pepohonan di sekitar. Namun para relawan bisa mengamati aktivitasnya lewat sebuah layar monitor yang terhubung cctv di sejumlah titik strategis.
Patroli hingga ronda bersama warga
Saat terjadi erupsi Merapi sehari sebelumnya, Yoga sedang bercengkerama bersama keluarganya rumah. Sehari-hari ia merupakan perangkat desa di Triharjo, Sleman. Begitu ada kabar erupsi, ia langsung meluncur ke posko.
Saat piket, mereka melakukan beragam aktivitas, mulai dari pemantauan sampai patroli di sekitar permukiman warga. Kehadiran relawan berkaos oren ini membuat warga lebih tenang untuk beraktivitas di tengah ketidakpastian kondisi gunung.
“Intinya kehadiran kami ini untuk menjaga rasa aman masyarakat. Apalagi saat mereka sedang beristirahat,” ujar Budi Darmawan, safety officer SAR DIY.
Mereka fokus di area Kawasan Rawan Bencana (KRB) 3 dengan letak paling dekat dengan gunung Merapi. Saat warga terlelap di malam hari, patroli kerap dilakukan, terkadang juga turut bersama warga yang sedang ronda. Tujuannya, agar masyarakat merasa aman saat jam istirahat.
Tanpa gaji karena hobi
Bertahun-tahun mereka berjaga setiap hari, tetapi mereka mengaku tak bosan. Kebersamaan yang hangat setiap berkumpul dan tradisi kerelawanan yang kuat jadi salah satu alasan.
“Mereka ini saya bohongi. Dulu saya bilang bakalan masuk surga kalau gabung SAR DIY,” ujar Ndan BS menyela perbincangan saya dengan sejumlah relawan. Tawa kencang lalu lepas di antara para relawan.
Di antara para relawan, ada sosok bernama Endro Sambodo (38). Di kalangan SAR DIY dan komunitas Merapi, nama Endro memang sudah tak asing. Ia merupakan sosok yang pernah turun sekitar seratus meter dari puncak menuju kawah untuk mengevakuasi korban kecelakaan beberapa tahun silam.
Endro berpendapat bahwa uang tak lagi soal bagi para relawan yang aktif di SAR DIY. Bahkan mereka kerap mengeluarkan pundi-pundi rupiah saat berkegiatan. Beberapa relawan berasal dari daerah Gunungkidul, jarak tempuh sampai lereng Merapi terbilang jauh tapi tetap mereka tempuh.
“Buat kami ini sudah hobi. Kami mendapat kesenangan dengan bisa membantu sebagai relawan. Jadi tidak ada beban,” kata Endro.
Setiap relawan di sini punya latar belakang berbeda-beda. Namun, sebagian besar pernah berkecimpung di aktivitas kerelawanan dan pecinta alam. Kesamaan itulah yang membuat mereka merasa ingin terus aktif berkegiatan.
“Jiwanya sudah di sini. Capek tentu, tapi kepengin balik lagi. Sama kaya kita kalau punya hobi apa, misal badminton atau main bola, begitu kan?” jelasnya sambil mengembalikan pertanyaan ke saya.
Ndan BS: Relawan tak mau leren
Suasana guyub yang terbangun membuat mereka betah dan kerasan. Meski tanpa pemantik urusan uang.
“Keluarga di rumah ya alhamdulillah baik. Walaupun ya kadang istri merengut kalau kami perginya lama,” curhatnya tertawa.
Ndan BS menimpali, bahwa ia sempat mengumpulkan seluruh komandan regu SAR DIY untuk berdiskusi. Total regu SAR DIY sendiri mencapai 186. Saat itu, Brotoseno membahas kondisi status siaga Merapi yang sudah terlampau lama. Ia menawarkan kemungkinan untuk berhenti dari aktivitas piket setiap hari.
“Aku ngomong ini mau diteruskan atau tidak? Mereka jawab kompak mau meneruskan. Padahal aku ya wes nyuruh mereka leren. Aku sebagai komandan kan harus tepo sliro juga,” paparnya.
“Ora ono bosene cah-cah iki pancen,” sambungnya.
Andai kata Merapi meletus tiba-tiba dan para relawan ini sedang tidak bisa di hadir, Brotoseno beranggapan bahwa relawan ini tak akan ia salahkan. Bagaimanapun mereka bekerja suka rela. Sedangkan di sisi lain mereka punya pekerjaan dan keluarga yang harus diurus setiap hari.
“Sebelum mengevakuasi korban bencana ya utamanya mengevakuasi keluarga dari dari kemiskinan. Itu tanggung jawab masing-masing. Ojo nganti ngomong iku dadi tanggung jawabe komandane lho ya,” ujarnya dengan nada canda pada para relawan.
Sebelum hari semakin gelap, saya mengajak beberapa sosok narasumber untuk berfoto. Namun, mereka enggan dan lebih memilih untuk melakukan foto bersama.
“Sudah ini foto bareng saja. Ning kene iki juragan kabeh, komandan kabeh,” ujar seorang relawan.
Merasakan atmosfer malam di posko SAR DIY
Gelap sudah turun dan hari semakin dingin di lereng Merapi. Namun kebersamaan di posko SAR DIY terasa semakin hangat. Semakin malam, mereka justru harus memberikan perhatian ekstra agar warga bisa tenang dalam tidurnya.
Setelah berbincang dengan relawan di Pos Wonokerto, Ndan BS mengajak saya untuk melanjutkan perjalanan ke Pos Aju SAR DIY di Kalikuning. Itu merupakan pos utama para relawan. Namun, memang saat ini kegiatan sedang fokus di Wonokerto lantaran erupsi mengarah ke sisi barat.
Setelah perjalanan melewati jalan berlubang di tengah perkebunan salak hingga kawasan wisata Kaliurang, sampailah kami di Pos Aju SAR DIY. Suasanannya ternyata tak kalah ramai dari Wonokerto.
Di sana, sosok berambut gondrong bernama Eko Susilo (45) menyambut kami. Ia merupakan Komandan Tanggap Darurat SAR DIY sekaligus orang kepercayaan Ndan BS. Satu hal paling kentara di pokso ini, relawan perempuan jumlahnya lebih banyak, ada sekitar 10 orang.
Saat kami sedang duduk menyantap suguhan gorengan hangat, beberapa rombongan relawan tiba. Malam ini banyak relawan dari Gunungkidul yang baru bergabung di posko. Mereka menempuh perjalanan puluhan kilometer dari rumah ke tempat ini.
“Biasanya mereka baru selesai kerja, lalu gabung ke sini. Selain dari Gunungkidul relawan kami ada yang dari daerah Magelang perbatasan Wonosobo juga,” kata Eko.
Sebagai sosok yang paling banyak terlibat dalam operasi-operasi SAR DIY, Eko mengaku cukup bingung dengan pengorganisasian relawan. Tak perlu ada anjuran untuk datang pun mereka berbondong-bondong datang.
Selain itu, urusan logistik pun tak pernah mereka persiapkan. Tiba-tiba datang dan terpenuhi segala kebutuhan. Relawan tak pernah kelaparan di tempat ini.
“Sampai token listrik ini sudah setahun penuh tidak perlu ngisi lagi. Kami tidak tahu siapa yang mengisi, tahu-tahu ada saja,” terangnya.
“Bahkan ini gorengan yang kita makan, kalau ditanya ke orang yang masak di dapur umum, mereka belum tentu tahu siapa yang beli atau memberi bahan bakunya,” sambungnya tertawa.
Kultur kerelawanan di Jogja paling top
Saat sedang asyik berbincang dan menyantap kudapan, regu relawan berwajah lelah tampak baru selesai berpatroli. Regu lain lalu bersiap-siap untuk berangkat menggantikannya. Patroli mengelilingi area permukiman berdurasi sekitar dua jam.
Semakin malam, suasana guyub di posko semakin terasa. Ada yang datang dan ada yang berpamitan pulang. Kami berada di lokasi sampai sekitar pukul sebelas malam. Sampai akhirnya mata kantuk saya tak bisa disembunyikan lagi.
Di perjalanan pulang, Ndan BS berujar kalau semua operasional SAR DIY ini hasil swadaya relawan. Sedangkan untuk peralatan operasi mereka dapat dari BPBD DIY. Beberapa bantuan memang datang tapi ia menegaskan kalau relawan SAR DIY tidak boleh meminta sumbangan.
Organisasi ini terbentuk sekitar tahun 2006. Saat gempa menghantam Jogja pada Mei 2006, mereka sudah mulai terlibat dalam proses evakuasi korban. Namun, kiprah mereka mulai dikenal saat mengorganisir evakuasi warga pada erupsi Merapi 2010.
Ia mengaku salut dengan semangat seluruh anggota SAR DIY yang jumlahnya ribuan ini. Kultur kerelawanan begitu kuat sehingga mereka tak pernah kekurangan pasukan.
“Mbah Rono (Surono) pernah bilang kalau kultur kerelawanan bencana di Jogja ini paling top. Spirit mereka berangkat dari jiwa. Mereka senang menolong orang. Sudah jadi hobi, menolong orang seperti menolong diri sendiri,” terangnya sambil membelah malam. Meninggalkan Merapi semakin jauh di belakang.
Reporter: Hammma Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Curahan Hati Dosen yang Ngajar tapi Nyambi Buka Usaha dan reportase menarik lainnya di Liputan.