Kehidupan Mereka yang Nekat Nikah Muda

Mereka yang Nekat Nikah muda

Nikah muda seringkali dibayangkan layaknya sinema yang penuh adegan mesra. Umur belia dianggap bisa membuat rumah tangga jadi mengasyikkan seperti sedang pacaran.  Ada juga yang beranggapan, nikah muda adalah cara lepas dari persoalan. Sayangnya, realitas ini tidak dirasakan oleh semua pasangan. 

Mojok bertemu lima orang dari mereka yang menikah muda. Sebut saja Bayu, Dewi, Dian, Indah, dan Ratih. Nama kelima narasumber ini kami samarkan demi kenyamanan mereka. Di tengah ketidaksiapan, mereka harus menanggung berbagai rintangan hidup berkeluarga. Mulai dari masalah finansial, omongan tetangga, perselisihan dengan mertua, sampai kesulitan dalam mendidik anak.

***

Trauma dengan bapak yang sering main tangan

Dewi (34) adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak. Ia menikah kala berusia 19 tahun. Sedangkan suaminya, saat itu berumur 21. “Tiga bulan setelah menikah, saya hamil anak pertama,” ujar perempuan asal Bantul ini.

Pilihannya untuk menikah tidak didasarkan alasan klasik macam cinta pada pandangan pertama atau karena terpaksa karena hamil duluan. Menikah adalah jalan paling logis yang ia punya agar bisa pergi dari bapaknya. “Saya ingin segera punya kehidupan yang berbeda,” kata Dewi.

Dewi bercerita jika sang bapak seringkali melakukan kekerasan di rumah. Hal-hal sepele seringkali jadi pemicunya. Bapaknya pernah melemparinya dengan empat buah batu bata karena sulit disuruh mandi sore. Ia mencoba bertahan dengan pura-pura pingsan, tetapi amarah bapaknya tak kunjung surut. Dewi hampir saja menerima pukulan kelima dengan lampu petromak jika Ibunya tidak pasang badan.

Nek arep mateni anakku, pateni aku ndisek,” kata Dewi menirukan ucapan ibunya kala itu.

Tidak hanya dirinya yang kerap jadi sasaran. Ibunya juga harus menerima perlakuan yang sama. Dewi bercerita jika kepala sang ibu seringkali dibenturkan ke tembok ketika emosi bapaknya meluap.

Dewi terus menceritakan berbagai polah bapaknya sembari mencoba menahan tangis. Di lain waktu, keluarganya pernah mencoba berjualan dawet. Ia dan ibunya telah membuat cendol serta memeras santan seharian. Namun, bapaknya kembali meradang. Dua gentong berisi cendol dan santan itu dipecahkan dengan palu.

“Bapak cuma ada dengan kemarahannya. Kami yang bersih-bersih,” jelasnya dengan mata berkaca-kaca.

Ia tahu jika beban bapaknya memang amat berat karena harus menghidupi empat orang anak. Ekonomi mereka tidak stabil dan harus berpindah-pindah rumah kontrakan. Karena itu, ketika Dewi merasa menemukan sosok yang tepat ia langsung memutuskan untuk menikah. Sosok ini dianggap bisa menciptakan kehidupan baru dan membawanya lari dari sang bapak.

“Memang sedikit egois karena saya meninggalkan ketiga adik saya. Tapi saya muak melihat cekcok dan KDRT dari kecil. Saya ingin mengukir hidup saya sendiri,” tegasnya.

Menikah jangan selalu dibayangkan yang indah-indah. Akan selalu ada persoalan yang harus dihadapi. (Ilustrasi Mojok.co)

Masa kecilnya menjadi bekal penting kala ia menjadi orang tua. Ia mengaku sama sekali tidak pernah menggunakan kekerasan pada anaknya. Ia tidak ingin anaknya memiliki trauma yang sama. “Anak saya yang paling besar umur 14 tahun itu belum pernah saya hajar. Coba ditanya aja,” katanya menantang saya.

Ketika anaknya melakukan kesalahan, ia hanya akan memarahinya. Ganjaran maksimal yang diberikan adalah menjewer telinga sekadarnya. Dewi tahu, jika memori masa kecil akan melekat dengan kuat dan ia tidak ingin memberikan ingatan yang buruk.

Telanjur hamil duluan

Siang itu, saya mencoba mengirim pesan WhatsApp kepada Dian (21). Lama pesan itu bertahan dengan tanda centang satu. Karena sudah lama menunggu, saya langsung nekat mendatangi rumahnya ketika hari menjelang sore.

“Pinjem HP, Mbak. Mau lihat Instagram. HP-ku mati,” ucapnya tidak lama ketika bertemu saya. Dian bercerita jika teleponnya rusak karena putrinya yang berusia 1,5 tahun memasukannya ke dalam air.

Lama melihat beranda, Dian akhirnya membuka percakapan dengan himpitan ekonomi yang dirasakan. Ia dan putrinya memang menumpang di rumah orang tuanya berikut dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Ibu Dian memiliki usaha laundry, sedangkan bapaknya adalah tukang parkir di sebuah kafe. Orang tuanya ini juga masih menanggung biaya sekolah kedua adiknya.

“Dia itu belum sampai selapan anaknya aja udah pergi dan nggak pernah nafkahi. Sampai sekarang udah gak pernah kontakkan. Aku udah mati rasa,” ucap Dian bercerita soal suaminya.

Statusnya pernikahannya memang belum cerai, tetapi ia sudah merasa seperti janda. Suaminya pergi lantaran sakit hati dituduh mengambil uang sumbangan lahiran anak mereka. Dian bercerita jika setelah menikah, suaminya memang belum bekerja sehingga kehidupan mereka ditopang dari uang tersebut. Seminggu berselang, sisa uang yang Dian simpan hilang seluruhnya.

“Dianya nggak ngaku, tapi tetep kagol terus minggat. Keluarganya tahu kan. Terus simbahnya ngata-ngatain dia gitu lah,” ucap Dian.

Pernikahannya sendiri memang dilakukan buru-buru sebab ia terlanjur hamil duluan. Waktu itu, ia masih berusia 20 tahun. Ini adalah satu hal yang amat ia sesali. Namun, kehidupannya harus terus dijalani.

“Senengnya ya ketika nikahnya aja. Laine pait-pait,” ucapnya getir.

Saat ini, Dian sedang berencana membuka warung makan di rumahnya. Menurutnya, usaha ini masih bisa ia jangkau. Pada beberapa kesempatan lalu, ia pernah mencoba bekerja dengan orang lain, tetapi tidak bertahan lama karena ada anak yang harus dijaga.

“Susahnya ya kalo momong. Kalau mau ngapa-ngapain jadi terhalang. Pergi juga jadi nggak bisa karena harus ada yang ngejagain,” paparnya.

Menikah karena himpitan ekonomi

Ratih (27) memiliki cerita yang berbeda. Ia pertama kali menikah pada usia 20 tahun dengan teman kantornya yang berjarak 14 tahun lebih tua. “Aku akui kalau aku minim pengetahuan, sangat tidak dewasa, dan tidak berpikir panjang. Jadi, sulit mengimbangi pernikahan,” jelas perempuan asal Depok, Jawa Barat ini.

Ia adalah lulusan SMA yang kala itu sedang bekerja menjadi SPG. Gaji yang didapatkan tidak terlalu besar, tetapi ada utang yang harus dibayar. Di sisi lain, ayahnya tidak bekerja dan ibunya sudah tiada sejak ia berusia 17 tahun. Selama sekolah, Ratih dititipkan di rumah tantenya.

Nikah muda bagi sebagian pihak yang mengalami himpitan ekonomi jadi solusi. Ilustrasi Mojok.co)

“Alasanku nikah karena biar ada yang biayain aku pada saat itu. Memang terkesan klise dan cetek banget,” katanya.

Keluarganya memang sempat kaget dengan keputusan ini dan sempat menasehati, tetapi tidak sampai melarang. Menikah juga membuatnya merasa memiliki teman untuk berpergian dan bercerita apapun. Walau demikian, pernikahan ini tidak berlangsung lama karena pada tahun ketiga mereka memutuskan untuk bercerai.

“Aku lagi sibuk kuliah dan baby blues setelah melahirkan. Aku merasa capek sendiri urus kuliah, urus anak, dan aku juga kerja,” keluhnya.

Beban tadi semakin bertambah ketika ia mengetahui suaminya berselingkuh. Ia tidak tahan melihat suaminya berkirim pesan dengan banyak perempuan di berbagai aplikasi. “Aku emosi dan kita sering bertengkar mulai dari situ,” jelas anak bungsu dari tiga bersaudara ini.

Setelah bercerai, anaknya ikut dengan mantan suaminya yang kini telah kembali menikah dan memiliki dua anak. Kepada saya, ia jujur mengakui jika amat menyesal dengan keputusannya. Seandainya waktu bisa diulang, ia tidak akan menikah kala itu.

“Dengerin deh kata orang tua. Jangan ambil keputusan menikah dengan buru-buru,” ujarnya.

Menikah dengan teman sekolah

Indah (23) lulus dari SMK saat usianya 18. Satu tahun berselang, ia menikah dengan teman satu sekolahnya. Mereka dikarunia seorang putra yang kini sudah berusia tiga tahun. Stigma yang ditempelkan oleh masyarakat padanya tidak hanya soal dirinya yang hamil duluan, tetapi proses pernikahannya.

“Omongan tetangga ya jelas ada. Tempatku kan nggak ada acara apa-apa. Tapi mereka itu kalau ketemu ya biasa aja. Mereka hanya butuh bahan obrolan jadi nggak pernah aku tanggapi,” jelasnya.

Pernikahannya memang hanya dilangsungkan di KUA. Dihadiri oleh keluarga dan segelintir teman. Ketika ijab selesai dilakukan, mereka langsung kembali ke rumahnya dan makan bersama. Camilan dan hidangan kala itu pun ia siapkan sendiri sebelumnya.

Dian sedikit lebih beruntung karena sempat menggelar pesta sederhana dengan tenda. Modal acara ini turut dibantu kedua orang tuanya. Kendati demikian, ia ingat betul jika mas kawinnya sekadar seperangkat alat salat. Tidak ada yang lain.

“Dulu itu keluarganya dia langsung dateng ke sini, perkenalan, nggak pakai acara tunangan. Terus langsung ngurus syarat-syaratnya aja,” kata Dian.

Beratnya jadi orang tua tunggal

Bayu (21) menikah karena alasan yang sama seperti Dian dan Indah. “Dia hamil duluan. Tapi memang sudah ada untuk niatan menikah sebelumnya, entah kapan,” ujarnya.

Bayu menikah pada usia 20 tahun saat ia bekerja di salah satu swalayan. Sedangkan istrinya, berusia 24 tahun. Istrinya harus mengambil cuti kuliah dan berhenti dari tugasnya mengerjakan skripsi karena kehamilannya. 

Keduanya dianugerahi seorang putra. Sayangnya, mereka tidak bisa membesarkan anak bersama. Istrinya meninggal pada bulan Oktober lalu.

“Gak usah ditanya. Hancur pol,” jawabnya ketika saya tanya tentang perasaannya kini.

Pagi itu pukul setengah delapan. Hujan deras mengguyur rumah mereka. Istrinya baru selesai mandi lantas Bayu mengambilkannya makan. Istrinya lalu pamit tidur dengan kondisi rambut basah dan kipas angin menyala. Cerita kronologisnya begitu saja. 

Setelah itu, Istrinya telah tiada. Menurut penjelasan Bayu, istrinya juga tidak memiliki riwayat penyakit apapun. Meski sempat di bawa ke rumah sakit, nyawa istrinya juga tetap tidak tertolong.

Putranya dirawat oleh ibunya sejak kepergian istrinya. Sementara itu, ia bekerja dan memenuhi kebutuhan dengan gaji Rp1,9 setiap bulan. “Meski jadi orang tua tunggal, ya tetap harus ngebesarin anak sampai besok. Memenuhi kebutuhan dia semua itu udah jadi kewajiban aku,” kata Bayu.

Ia mengaku tidak menyesal dengan keputusannya. Bayu bahkan bercerita tentang momen-momen membahagiakan bersama almarum istrinya. Ia adalah sosok yang bisa membuat Bayu merasa nyaman. “Saat proses nikah itu bagian ijab. Soalnya kalau udah ngelakuin ijab itu kaya lega,” jelasnya.

Walau demikian, pernikahan ini tentu tidak mulus begitu saja. Ada masa-masa sulit ketika perselisihan menghampiri mereka. Salah satunya ketika berhubungan dengan mertua. Hal ini terjadi ketika bapak mertuanya menginginkan mereka untuk tinggal bergantian di rumahnya. Selama menikah, mereka memang tinggal di rumah orang tua Bayu. Permintaan mertuanya ini sulit dipenuhi sebab istrinya telah hamil besar.

“Waktu itu bapaknya WhatsApp marah-marah. Dianya terus nangis,” tuturnya.

Setelah perjalanan panjang yang ia lalui, ia terus berharap jika hal-hal baik bisa mendatangi kehidupan putranya. “Semoga bisa jadi anak saleh, gak perlu jadi anak yang pinter. Kalau pinter itu kan cuma di dunia,” jelasnya.

Halaman selanjutnya

Sulitnya mendidik anak

Sulitnya mendidik anak

Hari sudah mau menjelang magrib. Hujan deras kembali mengguyur setelah sebelumnya sempat jeda sejenak. Namun, Indah masih sibuk membuat lontong. Ketika saya bertanya berapa jumlah yang telah ia buat, ia menjawab baru 150. Masih kurang 100 lagi untuk dagangan besuk.

Menjadi orang tua yang memiliki anak, maka harus siap merawat secara materi dan mental. (Ilustrasi Mojok.co)

Saya sendiri sempat coba ikut membuat, tetapi hanya berbuah kegagalan. Daun pisang yang saya lipat berulangkali pecah sehingga isian berasnya jadi berceceran. Melihat itu, Indah menghentikan pekerjaan saya. Ia menyuruh saya untuk sekadar melihat sembari menikmati minuman sereal panas yang ia hidangkan.

Ia bercerita jika waktu membuat lontong adalah saat untuk menyuapi anaknya. Putra yang ia panggil dedek itu nanti akan duduk tenang di sampingnya asalkan diberi telepon genggam untuk melihat YouTube.

“Dia nggak susah makan, tapi kalau nggak main HP dia itu nggak fokus. Dia lari-lari terus, aku capek,” kata Indah.

Dirinya memahami jika memberikan telepon pada anak usia dini bukanlah langkah yang bijak. Namun, ia tidak memiliki opsi lain sebab pekerjaannya baru beres ketika petang. Ia tidak ada waktu untuk menemani putranya bermain.

“Daripada dia bablas kemana-kemana. Terus malah nyebur ke kolam,” kata Indah.

Memang di dekat rumah orang tuanya ada kolam-kolam ikan air tawar milik warga. Ukurannya cukup luas dan dalam. Walau demikian, mengurangi HP jadi satu hal yang ingin ia usahakan.

Indah sendiri menjadi pembuat lontong karena mengikuti jejak Ibunya. Suaminya bekerja menjadi pengemudi ojek online. Penghasilan sampingan ini jadi hal yang amat krusial demi bisa memenuhi kebutuhan. Hal ini untuk membiayayai putranya yang telah bersekolah di PAUD dan mewujudkan keinginannya untuk segera pindah dari rumah orang tuanya. Ia dan suaminya harus giat menabung.

“Sebaik-baiknya orang tua, pasti tetap ada rasa tidak nyaman. Orang tua mungkin nggak ikut campur, tapi pasti ada beda pendidikan dan kebiasaan. Jadi, jangan di rumah orang tua. Mending langsung pindah,” ujarnya sembari memperi tips kepada para pengantin baru.

Tantangan harus mendidik anak kala usia muda juga dialami oleh Dewi. Menurutnya, usia yang masih belia adalah masa ketika emosi masih belum stabil. “Anak pertama yang paling merasakan dampaknya. Kami masih kekurangan ilmu untuk mendidik. Masih sering egois dan kurang perhatian lantaran memikirkan ekonomi,” tutur Dewi.

Perempuan lulusan SMK di Yogyakarta tersebut menggambarkan jika pernikahannya hanya bermodalkan dengkul. Kiasan itu menggambarkan kenekatan. Oleh sebab itu, gurunya adalah waktu. Sebagai orang tua mereka tahu apa yang baik dan tidak ketika sudah mengalami.

“Kita bertempur melawan diri sendiri ya kalau masih muda,” tuturnya.

Ekonomi yang amburadul

Menikah bukan berarti beban hidup dapat dibagi dua karena bisa jadi justru bertambah dua kali lipat. Belum lagi jika sudah memiliki anak. Hal ini mengingat di kelas ekonomi manapun seseorang berada, setidaknya ia harus makan. Perkara bisa makan setiap hari ini bukan soal yang sepele. Dewi pernah berada di titik terendah sampai tidak tahu harus makan apa.

“Kita itu pernah engga punya uang sama sekali, bahkan untuk deodoran yang paling murah aja nggak bisa beli. Anak saya sampai ngutang Indomie ke tetangga,” kenangnya.

Mereka kebingungan untuk memulai usaha kembali karena sudah kehabisan modal. Hingga akhirnya, sang suami memilih untuk berjualan rambak di pasar. Itu adalah masa yang amat berat bagi Dewi. Ia tahu suaminya harus membuang segala ego untuk mau bekerja demikian.

“Dia masih muda. Penampilannya rapi, tapi mau bawa kresek besar kaya pemulung,” ucapnya. Beberapa bulan ke depan, rumah tangga mereka ditopang oleh rambak ini. Dalam sehari omzet kotor yang didapatkan adalah Rp100 ribu.

Berutang memang bukan lagi hal yang asing bagi mereka. Terlebih, ketika membangun dan mengisi perabotan rumah. Mereka terus menambah utang meski pinjaman sebelumnya belum lunas. Mereka merasa tidak lagi kuat dengan segala tagihan. Hingga akhirnya, belum lama ini memutuskan untuk menjual rumah mereka. Untuk sementara waktu, mereka akan tinggal di rumah orang tua Dewi.

Tanpa pondasi yang kuat, menikah bisa jadi justru menimbulkan banyak masalah.

“Utang hanya solusi sementara, tapi sengsaranya itu selamanya. Jangan mengambil cara-cara instan,” ujar Dewi menyesali.

Mereka sekarang memiliki usaha makanan yang dijual secara daring. Dagangannya ada beberapa macam, seperti roti bakar, kebab, sampai ayam geprek. Dalam sehari mereka bisa memperoleh keuntungan mencapai Rp200 ribu. Meski jauh lebih besar di banding sebelumnya, jumlah ini di rasa masih kurang karena sekarang mereka harus menghidupi orang tua Dewi yang sudah berhenti bekerja dan sakit-sakitan.

“Untuk kami yang anggotanya banyak, anak yang sekolah, menghidupi orang tua segala macem seharusnya Rp300-400 ribu untungnya,” tutur Dewi.

Cekcok adalah makanan sehari-hari

Buah hati Dian bangun dari tidur sorenya di tengah obrolan kami. Ia berjalan menghampiri Dian dan tidak menangis. Menurut Dian, putrinya memang tergolong anteng. Ketika sakit, ia pun tidak rewel atau selalu minta gendong. Walau sempat malu-malu, ia mencium tangan saya memberi salam.

Seraya menggendong anaknya, Dian melanjutkan cerita soal suaminya. Mereka berkenalan lewat media sosial. Dari situ hubungan mereka jadi lebih dekat. Dian mengetahui jika suaminya tinggal bersama neneknya. Bapaknya menikah lagi, sedangkan Ibunya sudah meninggal.

“Jadi dia itu broken home. Dia memang agak nakal dan ikut geng-gengan,” kata Dian.

Terkadang ia memahami pola pikir suaminya karena mengetahui kenyataan tersebut. Toh, mereka juga menikah tanpa kesiapan apa pun. Meski demikian, Dian mengganggap hubungan mereka telah berakhir. Ia sendiri memiliki keinginan untuk menikah kembali.

Perempuan kelahiran 2001 tersebut mengaku lelah dengan kenyataan keluarganya yang tidak bisa harmonis. Di waktu tertentu ia mengaku menangis kala mengingat persoalan-persoalan ini.

Dewi juga tidak jauh berbeda. Cekcok dan beda pendapat sudah menjadi bagian dari rumah tangganya. Hal yang paling parah adalah ketika suaminya memiliki usaha persewaan PlayStation. Perselisihan terjadi karena Dewi merasa suaminya tidak bisa membagi waktu dan hanya fokus bermain.

“Saya sudah keteteran mengurus rumah tangga. Tapi dianya nggak paham. Kita sama-sama emosi di depan anak,” ucap Dewi.

Perdebatan itu terjadi di depan anak sulung mereka. Hal ini amat disesali oleh Dewi. Anaknya bahkan masih mengingat kejadian tersebut. Persoalan baru berakhir ketika seluruh PlayStation dijual. Suaminya harus memulai usaha lain.

“Kalau di putar waktu, pasti pengennya semua tertata. Pernikahan yang terkonsep, pendidikan anak yang baik, punya uang, kita udah cukup umur, dan segala macam,” kata Dewi.

Harapan bahagia itu terus ada

Baju suaminya adalah satu-satunya barang yang tersisa. Suami Dian tidak meninggalkan apapun. Bajunya juga bisa tertinggal karena sang suami pergi tanpa pamit. Dian hanya bisa berteman dengan buah hatinya. Dengan putri kecilnya itu, ia bisa bercerita apa pun. Karena putrinya juga, mertuanya beberapa kali masih mengunjunginya. Memberikan uang dan kepedulian yang tak lagi diberi oleh sang suami.

“Kalau mau menikah ya harus siap mental dan fisik. Aku sendiri dulu belum merasa siap, tapi mau gimana lagi,” pungkas Dian.

Ratih juga sedang menjalani kehidupan barunya. Dua tahun ke belakang saat usianya 27, ia dilamar oleh seorang pria yang bisa kembali meyakinkannya lagi. “Menikah itu berat. Meski terkesan klise, tapi harus kita akui. Sekarang aku merasa sudah jauh lebih dewasa dan bijak. Aku bisa berpikir lebih matang,” tuturnya.

Dewi juga demikian. Kendati mengaku hanya hidup seiring berjalannya waktu. Ia berusaha memperbaiki pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya. “Kami jadi menyadari jika tidak hanya pendidikan formal yang dibutuhkan. Namun, tauladan, perhatian, kasih sayang, waktu untuk dihabiskan bersama.”

Ia berupaya terus membangun komitmen bersama suaminya. Mereka berusaha menciptakan ruma tangga yang kokoh sehingga tidak mudah terjadi perselisihan, bahkan perceraian. Bagi orang-orang yang ingin menikah di usia muda, Dewi juga memberikan saran.

“Pahami alasan kamu menikah. Kalau nikah muda itu tidak darurat, lebih baik dipersiapkan manajemen dirinya. Mendidik anak jaman sekarang itu susah. Kadang kita tertinggal karena ilmu mereka cepat berkembangnya. Terakhir, komunikasi dengan kedua orang tua dan luruskan niat. Itu menurut saya yang penting.”

Reporter: Delima Purnamasari
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA: Urip nDeso Melawan Warisan Orde Baru, dari Ladang hingga Meja Makan

Exit mobile version