Sulitnya mendidik anak
Hari sudah mau menjelang magrib. Hujan deras kembali mengguyur setelah sebelumnya sempat jeda sejenak. Namun, Indah masih sibuk membuat lontong. Ketika saya bertanya berapa jumlah yang telah ia buat, ia menjawab baru 150. Masih kurang 100 lagi untuk dagangan besuk.
Saya sendiri sempat coba ikut membuat, tetapi hanya berbuah kegagalan. Daun pisang yang saya lipat berulangkali pecah sehingga isian berasnya jadi berceceran. Melihat itu, Indah menghentikan pekerjaan saya. Ia menyuruh saya untuk sekadar melihat sembari menikmati minuman sereal panas yang ia hidangkan.
Ia bercerita jika waktu membuat lontong adalah saat untuk menyuapi anaknya. Putra yang ia panggil dedek itu nanti akan duduk tenang di sampingnya asalkan diberi telepon genggam untuk melihat YouTube.
“Dia nggak susah makan, tapi kalau nggak main HP dia itu nggak fokus. Dia lari-lari terus, aku capek,” kata Indah.
Dirinya memahami jika memberikan telepon pada anak usia dini bukanlah langkah yang bijak. Namun, ia tidak memiliki opsi lain sebab pekerjaannya baru beres ketika petang. Ia tidak ada waktu untuk menemani putranya bermain.
“Daripada dia bablas kemana-kemana. Terus malah nyebur ke kolam,” kata Indah.
Memang di dekat rumah orang tuanya ada kolam-kolam ikan air tawar milik warga. Ukurannya cukup luas dan dalam. Walau demikian, mengurangi HP jadi satu hal yang ingin ia usahakan.
Indah sendiri menjadi pembuat lontong karena mengikuti jejak Ibunya. Suaminya bekerja menjadi pengemudi ojek online. Penghasilan sampingan ini jadi hal yang amat krusial demi bisa memenuhi kebutuhan. Hal ini untuk membiayayai putranya yang telah bersekolah di PAUD dan mewujudkan keinginannya untuk segera pindah dari rumah orang tuanya. Ia dan suaminya harus giat menabung.
“Sebaik-baiknya orang tua, pasti tetap ada rasa tidak nyaman. Orang tua mungkin nggak ikut campur, tapi pasti ada beda pendidikan dan kebiasaan. Jadi, jangan di rumah orang tua. Mending langsung pindah,” ujarnya sembari memperi tips kepada para pengantin baru.
Tantangan harus mendidik anak kala usia muda juga dialami oleh Dewi. Menurutnya, usia yang masih belia adalah masa ketika emosi masih belum stabil. “Anak pertama yang paling merasakan dampaknya. Kami masih kekurangan ilmu untuk mendidik. Masih sering egois dan kurang perhatian lantaran memikirkan ekonomi,” tutur Dewi.
Perempuan lulusan SMK di Yogyakarta tersebut menggambarkan jika pernikahannya hanya bermodalkan dengkul. Kiasan itu menggambarkan kenekatan. Oleh sebab itu, gurunya adalah waktu. Sebagai orang tua mereka tahu apa yang baik dan tidak ketika sudah mengalami.
“Kita bertempur melawan diri sendiri ya kalau masih muda,” tuturnya.
Ekonomi yang amburadul
Menikah bukan berarti beban hidup dapat dibagi dua karena bisa jadi justru bertambah dua kali lipat. Belum lagi jika sudah memiliki anak. Hal ini mengingat di kelas ekonomi manapun seseorang berada, setidaknya ia harus makan. Perkara bisa makan setiap hari ini bukan soal yang sepele. Dewi pernah berada di titik terendah sampai tidak tahu harus makan apa.
“Kita itu pernah engga punya uang sama sekali, bahkan untuk deodoran yang paling murah aja nggak bisa beli. Anak saya sampai ngutang Indomie ke tetangga,” kenangnya.
Mereka kebingungan untuk memulai usaha kembali karena sudah kehabisan modal. Hingga akhirnya, sang suami memilih untuk berjualan rambak di pasar. Itu adalah masa yang amat berat bagi Dewi. Ia tahu suaminya harus membuang segala ego untuk mau bekerja demikian.
“Dia masih muda. Penampilannya rapi, tapi mau bawa kresek besar kaya pemulung,” ucapnya. Beberapa bulan ke depan, rumah tangga mereka ditopang oleh rambak ini. Dalam sehari omzet kotor yang didapatkan adalah Rp100 ribu.
Berutang memang bukan lagi hal yang asing bagi mereka. Terlebih, ketika membangun dan mengisi perabotan rumah. Mereka terus menambah utang meski pinjaman sebelumnya belum lunas. Mereka merasa tidak lagi kuat dengan segala tagihan. Hingga akhirnya, belum lama ini memutuskan untuk menjual rumah mereka. Untuk sementara waktu, mereka akan tinggal di rumah orang tua Dewi.
“Utang hanya solusi sementara, tapi sengsaranya itu selamanya. Jangan mengambil cara-cara instan,” ujar Dewi menyesali.
Mereka sekarang memiliki usaha makanan yang dijual secara daring. Dagangannya ada beberapa macam, seperti roti bakar, kebab, sampai ayam geprek. Dalam sehari mereka bisa memperoleh keuntungan mencapai Rp200 ribu. Meski jauh lebih besar di banding sebelumnya, jumlah ini di rasa masih kurang karena sekarang mereka harus menghidupi orang tua Dewi yang sudah berhenti bekerja dan sakit-sakitan.
“Untuk kami yang anggotanya banyak, anak yang sekolah, menghidupi orang tua segala macem seharusnya Rp300-400 ribu untungnya,” tutur Dewi.
Cekcok adalah makanan sehari-hari
Buah hati Dian bangun dari tidur sorenya di tengah obrolan kami. Ia berjalan menghampiri Dian dan tidak menangis. Menurut Dian, putrinya memang tergolong anteng. Ketika sakit, ia pun tidak rewel atau selalu minta gendong. Walau sempat malu-malu, ia mencium tangan saya memberi salam.
Seraya menggendong anaknya, Dian melanjutkan cerita soal suaminya. Mereka berkenalan lewat media sosial. Dari situ hubungan mereka jadi lebih dekat. Dian mengetahui jika suaminya tinggal bersama neneknya. Bapaknya menikah lagi, sedangkan Ibunya sudah meninggal.
“Jadi dia itu broken home. Dia memang agak nakal dan ikut geng-gengan,” kata Dian.
Terkadang ia memahami pola pikir suaminya karena mengetahui kenyataan tersebut. Toh, mereka juga menikah tanpa kesiapan apa pun. Meski demikian, Dian mengganggap hubungan mereka telah berakhir. Ia sendiri memiliki keinginan untuk menikah kembali.
Perempuan kelahiran 2001 tersebut mengaku lelah dengan kenyataan keluarganya yang tidak bisa harmonis. Di waktu tertentu ia mengaku menangis kala mengingat persoalan-persoalan ini.
Dewi juga tidak jauh berbeda. Cekcok dan beda pendapat sudah menjadi bagian dari rumah tangganya. Hal yang paling parah adalah ketika suaminya memiliki usaha persewaan PlayStation. Perselisihan terjadi karena Dewi merasa suaminya tidak bisa membagi waktu dan hanya fokus bermain.
“Saya sudah keteteran mengurus rumah tangga. Tapi dianya nggak paham. Kita sama-sama emosi di depan anak,” ucap Dewi.
Perdebatan itu terjadi di depan anak sulung mereka. Hal ini amat disesali oleh Dewi. Anaknya bahkan masih mengingat kejadian tersebut. Persoalan baru berakhir ketika seluruh PlayStation dijual. Suaminya harus memulai usaha lain.
“Kalau di putar waktu, pasti pengennya semua tertata. Pernikahan yang terkonsep, pendidikan anak yang baik, punya uang, kita udah cukup umur, dan segala macam,” kata Dewi.
Harapan bahagia itu terus ada
Baju suaminya adalah satu-satunya barang yang tersisa. Suami Dian tidak meninggalkan apapun. Bajunya juga bisa tertinggal karena sang suami pergi tanpa pamit. Dian hanya bisa berteman dengan buah hatinya. Dengan putri kecilnya itu, ia bisa bercerita apa pun. Karena putrinya juga, mertuanya beberapa kali masih mengunjunginya. Memberikan uang dan kepedulian yang tak lagi diberi oleh sang suami.
“Kalau mau menikah ya harus siap mental dan fisik. Aku sendiri dulu belum merasa siap, tapi mau gimana lagi,” pungkas Dian.
Ratih juga sedang menjalani kehidupan barunya. Dua tahun ke belakang saat usianya 27, ia dilamar oleh seorang pria yang bisa kembali meyakinkannya lagi. “Menikah itu berat. Meski terkesan klise, tapi harus kita akui. Sekarang aku merasa sudah jauh lebih dewasa dan bijak. Aku bisa berpikir lebih matang,” tuturnya.
Dewi juga demikian. Kendati mengaku hanya hidup seiring berjalannya waktu. Ia berusaha memperbaiki pendidikan yang diberikan kepada anak-anaknya. “Kami jadi menyadari jika tidak hanya pendidikan formal yang dibutuhkan. Namun, tauladan, perhatian, kasih sayang, waktu untuk dihabiskan bersama.”
Ia berupaya terus membangun komitmen bersama suaminya. Mereka berusaha menciptakan ruma tangga yang kokoh sehingga tidak mudah terjadi perselisihan, bahkan perceraian. Bagi orang-orang yang ingin menikah di usia muda, Dewi juga memberikan saran.
“Pahami alasan kamu menikah. Kalau nikah muda itu tidak darurat, lebih baik dipersiapkan manajemen dirinya. Mendidik anak jaman sekarang itu susah. Kadang kita tertinggal karena ilmu mereka cepat berkembangnya. Terakhir, komunikasi dengan kedua orang tua dan luruskan niat. Itu menurut saya yang penting.”
Reporter: Delima Purnamasari
Editor: Agung Purwandono