Bagi pekerja pasar malam, langit yang cerah berarti rezeki mereka mengalir seperti air. Namun, jika hujan turun seharian, bisa jadi mereka nggak akan gajian.
Mojok berbincang dengan beberapa pekerja pasar malam yang pendapatannya tergantung cuaca. Mojok mendengarkan curhat mereka tentang bagaimana hidup dan keseharian mereka.
***
Mata Dwi Kurniawan (22) terus menerawang langit yang mulai menurunkan rintik air. Gerimis tipis turun sekitar pukul setengah sembilan malam. Padahal penyelenggaraan pasar malam biasanya memasuki waktu ramai sejak pukul delapan sampai sembilan.
Sudah sepekan, Dwi menjaga salah satu wahana pasar malam yang diselenggarakan di Lapangan Denggung, Sleman. Malam sebelumnya, cuaca lebih bersahabat, sehingga lebih banyak pengunjung yang datang.
“Kemarin malam walaupun agak gerimis juga tapi mendingan. Saya masih bisa dapat gajian sekitar 75 ribu,” ujar lelaki yang malam ini menjaga wahana kereta mini dengan ikon hewan-hewan.
Sudah tujuh bulan Dwi bekerja di salah satu pengelola wahana pasar malam asal Kulon Progo. Baginya, mendapat pekerjaan ini adalah suatu keberkahan. Pekerjaan yang membuatnya bisa keluar dari kehidupan jalanan.
“Saya sebelumnya ngamen dari umur 15 tahun. Keluar SMP langsung ngamen di jalanan,” kenangnya kepada Mojok, Rabu (1/3/2023). Sesekali, ia membenarkan rambut dengan semiran mencolok berwarna kuning.
Saat menjadi pengamen, Dwi hidup di jalanan. Awalnya ia menggelandang di beberapa daerah DIY dan Jawa Tengah. Ia lalu mulai menempuh perjalanan jauh. Sempat ke arah timur sampai di Malang. Hingga akhirnya, ia ikut bersama rombongan anak punk. Mereka kemudian pergi ke Jakarta dan Tangerang.
Di Tangerang Dwi mengaku sempat menetap cukup lama. Sekitar satu setengah tahun ia mengamen di pinggiran jalan kota industri tersebut. Uang bisa ia dapat untuk menutup kehidupan sehari-hari. Tapi kehidupan di jalanan baginya memang penuh ketidakpastian.
“Ya dulu selalu was-was kena gerebek Satpol PP,” ujarnya tertawa.
Tidur di tenda dari satu lapangan ke lapangan lain
Pada 2020 lalu, ia mengalami kecelakaan di jalan, tangannya patah. Kondisi itu membuatnya pulang ke kampung halaman. Setelah cukup lama tak punya pekerjaan, ia pun mendapat tawaran dari seorang kawan untuk bergabung menjadi pekerja pasar malam.
“Buat saya ini pekerjaan yang lebih sedikit risikonya ketimbang hidup di jalan dulu,” tuturnya.
Arena pasar malam buat Dwi bukan sekadar tempat mencari nafkah. Ia dan sejumlah pekerja lain, terutama yang masih bujang, benar-benar hidup di tenda-tenda yang terpasang di sekitar wahana.
“Saya sebulanan ini, cuma pulang sekali. Baru tadi siang saya pulang, ngasih uang, terus ke sini lagi,” tuturnya.
Pengelola wahana pasar malam nyaris berkeliling dari satu lapangan ke lapangan lain nyaris tanpa jeda setiap bulan. Sebelum di Lapangan Denggung, pengelola wahana ini baru saja menyelenggarakan acara di daerah Borobudur, Magelang. Pertengahan bulan nanti, mereka akan kembali pindah ke tempat lain lagi.
Tidak semua pekerja memilih tidur di area pasar malam. Sebagian, terutama yang sudah berkeluarga memilih nglaju dari rumahnya. Para pemuda seperti Dwi lah yang memilih tinggal sekaligus menjaga wahana saat acara sudah tutup setelah tengah malam.
Dwi terus ikut bersama rombongan ini. Tidur di tenda baginya sudah cukup nyaman. Kehidupan jalanan yang pernah ia enyam sebelumnya sudah memberikan banyak pengalaman.
Namun, kenyamanan itu sering terganggu saat hujan deras turun membasahi lapangan. Bahkan menyebabkan genangan air yang bukan hanya membuat acara sepi, tapi para pekerja kesusahan beristirahat.
“Pas di Borobudur kemarin, airnya sampai segini,” ujar Dwi sambil memegang mata kakinya.
“Bahkan genset-nya sampai meledak di sana. Itu paling parah yang pernah saya rasakan,” sambungnya.
Selama dua pekan itu, Dwi dan sejumlah rekannya bermalam di stan-stan dengan kondisi tak nyaman karena hujan. Selama durasi itu, hanya dua hari pasar malam bisa beroperasi. Sisanya penuh guyuran hujan sehingga mereka wahana tidak aktif saat malam.