G-Walk Surabaya sejatinya disiapkan sebagai tempat nongkrong anak muda kelas menengah atas. Lokasinya juga berada di salah satu kawasan elite, Citraland. Namun, di tempat ini justru jadi tempat nongkrong semua kalangan. Dari yang sarungan hingga yang masih memakai seragam sekolah, nyaman nongkrong di tempat ini.
Apa yang diutarakan Salsabila Annisa Azmi dalam tulisan “Coffee Shop di Jogja, Benarkah Jadi Ruang Pamer Fashion yang Mengintimidasi?” yang tayang di Mojok sebenarnya merupakan fenomena yang terjadi di banyak kota di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di Surabaya.
Dimana tidak sedikit orang merasa terintimidasi ketika berada di kedai kopi. Hanya karena cara berpakaian yang berbeda dan cenderung biasa saja.
Namun, di tengah maraknya fenomena “pamer fashion” di kedai kopi tersebut, G-Walk Surabaya menjadi semacam antitesis. Pasalnya, kendati berada di tengah-tengah kawasan perumahan elite, G-Walk seolah menegaskan kepada siapa yang datang bahwa “Tidak perlu banyak gaya di sini!”.
***
Menuju magrib, makin banyak orang yang berlalu-lalang di kawasan Taman Gapura Walkway, Kota Surabaya atau yang lebih dikenal dengan sebutan G-Walk, salah satu sentra wisata kuliner elite di Surabaya. Lebih-lebih saya melipir ke sana pada Sabtu sore, ketika G-Walk—dan banyak ruang terbuka lain—tengah ramai-ramainya.
Sambil menyesap rokok, saya mengambil duduk di bagian ujung G-Walk, dekat stand Cincau Station. Lokasinya yang lebih terbuka memungkinkan saya untuk lebih leluasa mengamati hilir mudik orang-orang yang datang untuk malam Mingguan.
Area Cincau Station ini nampaknya memang menjadi tempat nongkrong favorit anak-anak muda. Deretan kursi di sebelah dan depan saya dipenuhi mayoritas anak muda (kisaran usia 17-23 tahun). Beberapa asyik bercengkerama, beberapa yang lain sibuk mengabadikan momen dengan smartphone masing-masing.
Sementara orang-orang dewasa yang datang bersama keluarga kecilnya berlalu menuju stand-stand makanan, memilih sudut lain yang lebih family friendly.
Tiga pelajar berseragam Pramuka yang saling berbagi rokok mencuri perhatian saya. Saya pun mendekat ke arah mereka.
Bukan tempat bergaya
“Waduh jangan ditanya macem-macem saya, Mas,” ucap satu di antara mereka saat saya mengutarakan maksud ingin berbincang sebentar.
Nando (17) adalah siswa di salah satu SMK di Surabaya (ia tidak berkenan menyebut nama sekolahnya). Tiap Sabtu sore ia memang acap kali tak langsung pulang ke rumah. Dengan masih mengenakan seragam sekolah, ia bisa melipir ke tempat-tempat nongkrong di Surabaya, entah kedai kopi maupun ruang terbuka lain. Dan G-Walk menjadi salah satu yang sering ia tuju.
“Sekadar nyari keramaian aja sih, kan besoknya juga libur,” ujar Nando.
Nando mengaku tak segan berpakaian seragam saat nongkrong di G-Walk, kendati berada di kawasan perumahan elite Citraland, Lidah Kulon. Baginya, berpakaian apapun saat nongkrong di G-Walk toh tak akan membuat seseorang jadi pusat perhatian, apalagi sampai jadi bahan rasan-rasan.
“Beda kalau nongkrongnya di coffee shop, memang harus ‘gaya’ dikit. Menyesuaikan pengunjung lain, Mas. Kalau nggak gitu malah malu sendiri,” terangnya.
Hal lain yang membuat Nando merasa tak perlu banyak bergaya saat nongkrong di G-Walk adalah, rata-rata yang nongkrong di sana cenderung berpakaian biasa saja. Hanya satu-dua orang yang berpakaian ala-ala selebgram kekinian.
Saya sendiri sore itu hanya mengenakan kemeja polos dan celana chino, style ngantor. Sementara sejauh yang saya amati, rasa-rasanya memang tak banyak yang berpakaian modis dan necis. Tidak banyak pula sista-sista yang bergaya busana super heboh seperti yang sering saya dapati di banyak kedai kopi. Dan itu membuat saya merasa tak buruk-buruk amat. Karena kalau urusan berpakaian, saya memang tidak terlau mengikuti tren.
Menghabiskan malam Minggu di G-Walk menjadi salah satu pilihan Nando dan kawan-kawan karena di sana mereka tidak diharuskan membeli minuman/makanan tertentu. Asal mengambil kursi kosong di luar deretan stand, mereka sudah bisa duduk-duduk santai sampai kapok. Tak akan ada yang menegur. Kalau memang pengin beli minuman/makanan, ada banyak pilihan dengan harga mulai dari Rp10 ribuan.
“Cukup bawa rokok. Nongkrong di sini sebentar, kalau mau beli ya beli. Kalau nggak ya nanti geser ke warkop aja buat beli Nutrisari hehehe,” ujar Nando setengah bercanda.
Tempat santai bukan untuk adu outfit
Geser dari Nando dan kawan-kawannya, saya lalu berbincang dengan Danu (23), seorang mahasiswa. Ia cukup percaya diri dengan hanya mengenakan celana pendek dan kaos yang dibalut dengan hoodie. Dari jauh ia tampak tengah asyik bercengkerama dengan seorang kawan di hadapannya.
Danu setuju kalau saat ini banyak kedai kopi yang justru jadi area adu outfit. Menurutnya, hal tersebut tidak lepas dari kecenderungan latah orang Indonesia dalam merespon sesuatu yang baru. Alhasil, dalam konteks berpakaian, tidak sedikit orang justru malu menjadi diri sendiri hanya karena tidak mengikuti selera umum atau tren yang tengah berkembang.
Uniknya, latah tren berbusana ternyata tidak menjangkiti kawasan G-Walk Surabaya. Bahwa benar ada beberapa orang yang nongkrong di G-Walk dengan outfit kekinian. Tapi jumlahnya tidak lebih banyak dari mereka yang datang dengan pakaian santai (biasa saja).
“Niatnya kan nyantai, Mas, jadi pakaiannya ya pakaian santai aja. Banyak to di sini yang cuma pakai celana pendek, kaos polosan. Kayaknya malah nggak banyak yang pakai style ala mas-mas Ardhito (Pramono) gitu,” ujarnya.
Danu menambahkan, ia pada dasarnya tidak terlalu suka nongkrong. Namun, sesekali ia memang tidak bisa menolak ajakan kawan dekatnya, sekadar untuk sharing masalah hidup atau yang paling sering tentu masalah asmara.
G-Walk Surabaya menjadi satu alternatif kalau ia pengin nongkrong di ruang terbuka yang menawarkan suasana nyaman dan tenang. Karena di samping bebas parkir dan pengamen, keramaian di G-Walk Surabaya, bagi Danu, bukanlah jenis keramaian yang mengganggu.
“Kalau ke sini (G-Walk) ya begini ini, Mas, style santai. Kalau ke coffee shop baru lah dandan yang ngumumi arek-arek, biar nggak terkesan kuno,” ungkapnya.
Di sudut lain, Dhiaz (22), mahasiswi yang sore itu terlihat kasual memberi tanggapan. Ia tidak memungkiri bahwa tidak sedikit orang merasa ‘aneh’ saat nongkrong dengan style biasa saja. Namun, katanya, mau di G-Walk atau di coffee shop, soal fashion kembali pada selera dan kenyamanan masing-masing.
“Jadi nggak harus merasa ‘aneh’ lah, Mas. Kalau aku pribadi yang penting enak dilihat, mix and match. Itu sudah cukup bikin aku ngerasa modis,” ujarnya ekspresif.
Anak UIN tetap pede pakai sarung
“Jangankan coffee shop, sekarang angkringan juga jadi arena adu outfit kok,” ujar Syahrul (24), seorang pegawai salah satu bank swasta di Surabaya.
Yang dimaksud Syahrul tentu angkringan yang belakangan mulai menjamur di Surabaya—mungkin juga di banyak kota lain. Yakni angkringan yang lahir karena tren; yang membuat seseorang harus menghabiskan Rp50 ribu dalam sekali nongkrong.
Lepas Magrib—dan selepas membeli segelas kopi-kopian—saya lantas duduk bersama Syahrul yang petang itu masih menunggu kawan-kawannya dari UIN Sunan Ampel datang.
Ia mengaku, meski jadwalnya tak tentu, namun ia dan kawan-kawannya yang masih menjadi ‘donatur tetap’ kampus masih sering menyempatkan untuk nongkrong bareng.
“Tergantung. Kadang ya di sekitaran UIN, kadang ya di sini (G-Walk). Kalau di sini karena tengah-tengah. Jarak saya ke sini dan jarak arek-arek ke sini imbang. Jadi nggak ada yang kejauhan,” ujarnya.
“Tapi biasanya kalau pulang kerja dan pengin sendiri, ngademnya juga di sini. Cuci mata, menjernihkan pikiran he..he..,” imbuhnya.
Mendengar paparan saya mengenai fenomena adu outfit di kedai kopi, Syahrul juga merasakan hal serupa. Beberapa kawannya bahkan tak jarang menjadi pusat perhatian manakala nekat nongkrong di coffee shop dengan style sarung dan kaos oblong biasa.
Pertama kali ia dan seorang kawannya nongkrong di G-Walk, kawannya tersebut katanya sampai ragu mau masuk atau tidak. Kawannya yang selama ini sudah biasa bersarung di coffee shop mendadak merasa tak percaya diri. Tapi setelahnya, kawannya itu justru merasa enjoy saja. Sebab tak ada tatapan-tatapan aneh yang tertuju padanya seperti yang kerap ia dapatkan tiap nongkrong di coffee shop-coffee shop hits kekinian.
“Justru mungkin karena ini di kawasan elite, Mas. Biasanya orang-orang kaya itu fashion-nya biasa aja. Coba samean lihat kokoh-kokoh atau cici-cici yang lewat. Rata-rata biasa saja. Tapi ya paling merk dan harganya sih yang wadidaw,” kata Syahrul.
Dalam banyak kesempatan wawancara, Marketing Manager Citraland D, Agung Krisprimandoyo menyebut bahwa sasaran awal G-Walk adalah mereka dari kalangan menengah ke atas.
G-Walk mengambil konsep ala Clarke Quay, salah satu pusat kuliner (food court) terkenal di Singapura. Namun, dengan sajian menu kuliner khas Indonesia, khususnya Surabaya-an. Tidak jauh dari titik pusat G-Walk, dibangun patung Merlion untuk membuat nuansa Singapuranya terasa makin kental.
Namun, seiring waktu, G-Walk justru menjadi ruang nyaman bagi banyak kalangan. Dan itu tentunya menjadi sinyal positif. Atas hal tersebut, tidak jarang G-Walk menggelar event-event festival kuliner yang menyedot antusiasme orang-orang dari berbagai latar belakang.
***
Pukul 19.00 WIB, makin banyak yang datang ke G-Walk. Saya sendiri beranjak pulang ke kosan. Di sepanjang Jalan Lidah Kulon-Wonocolo saya hanyut dalam renungan; saya merasa cukup beruntung karena tidak menjadi bagian dari mahasiswa tahun-tahun sekarang. Sehingga tak perlu ribet berlomba-lomba menjadi yang paling modis di tongkrongan. Ah, nongkrong di coffee shop, di masa itu, bahkan tak lebih menarik dari mejeng di warkop-warkop dengan harga minuman Rp3 ribu-Rp4 ribuan.
Reporter: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono