Gapura Gresik-Lamongan Merekam Harapan, Keluh Kesah, dan Rindu yang Belum Tuntas

Ilustrasi Gapura Gresik-Lamongan Merekam Harapan, Keluh Kesah, dan Rindu yang Belum Tuntas

Gapura perbatasan Gresik-Lamongan tidak hanya menjadi simbol ikonik bagi Kota Lamongan. Tidak juga hanya sebatas tempat rehat bagi para pejalan jauh.

Gapura dengan model paduraksa itu merekam beragam cerita dari para pejalan yang singgah dan para pedagang yang mencari peruntungan.

***

Bagi para perantau di wilayah Surabaya Raya, khususnya yang mengendarai motor, gapura perbatasan Gresik-Lamongan memang menjadi semacam rest area.

Sudah pasti mereka akan memilih rehat di gapura yang dibangun pada 2014 tersebut.

Memang sih, dari semua gapura perbatasan antar kabupaten/kota di sepanjang pantura Surabaya-Semarang, gapura Gresik-Lamongan bisa dibilang merupakan yang paling megah.

Model paduraksa yang dibuat sedemikian lebar pun akhirnya membuat area bawah gapura ini menjadi teduh. Pun pada bagian sisi barat dan timur pilar utama gapura ada ruang yang cukup luas. Biasanya orang-orang akan sekadar menyelonjorkan kaki atau bahkan rebahan sejenak di sana.

Ditambah lagi, dari pagi hingga malam, gapura Gresik-Lamongan nyaris tak pernah sepi dari para pedagang asongan. Ada yang menjual es, ada yang menjajakan pentol. Jadi, para perantau yang sedang dalam perjalanan menuju Gresik, Surabaya, atau Sidoarjo bisa sekalian membasahi kerongkongan dan mengganjal perut.

Jadi pertanda sebentar lagi tiba di tujuan

Tiap kali motoran, saya pasti akan rehat cukup lama di gapura Gresik-Lamongan kalau sedang dalam perjalanan balik Surabaya.

Bagi saya pribadi, kalau sudah sampai di gapura ini rasanya memang sangat lega. Karena tandanya Surabaya sudah semakin dekat.

Gapura perbatasan Gresik-Lamonga, rest area bagi pemotor yang menuju Surabaya Raya MOJOK.CO
Gapura perbatasan Gresik-Lamonga, rest area bagi pemotor yang menuju Surabaya Raya. (Aly Reza/Mojok.co)

Sebab, sebelum sampai di gapura Gresik-Lamongan, wah rasanya nggondok banget. Apalagi kalau masih di Tuban. Jalur Tuban rasanya panjang pol, rasanya kok nggak nyampe-nyampe Lamongan. Dan itu artinya Surabaya masih sangat jauh.

Saya biasanya berangkat dari rumah (Rembang, Jawa Tengah) jam dua siang dan bakal sampai di gapura Gresik-Lamongan jam lima sorean.

Di jam-jam itulah biasanya area gapura sudah ramai berjejer motor-motor para pengendara lain yang sudah lebih dulu sampai. Khususnya di hari Minggu, hari di mana orang-orang harus kembali ke perantauan.

Demikian pulalah pemandangan yang saya dapati saat sampai di gapura Gresik-Lamongan pada Minggu, (22/10/2023) sore. Kira-kira pukul 16.47 WIB.

Tak ada saling sikut di kalangan pedagang di gapura Gresik-Lamongan

Saat baru saja memarkir motor, beberapa orang sudah merubungi gerobak es milik Sugeng (43). Saya pun langsung ikut antre. Panas menyengat di sepanjang jalan benar-benar bikin tenggorokan kering.

“Saya baru kok di sini. Ya beberapa bulan inilah,” ucap pria asli Lamongan itu saat saya ajak berbincang di sela-sela kesibukannya membuat es.

Sebelumnya Sugeng bekerja serabutan. Namun, karena melihat peluang di gapura Gresik-Lamongan, ia pun akhirnya berpikir untuk jualan es di sana. Dari es degan, minuman botol, hingga minuman sachet.

Apalagi tidak ada izin khusus bagi siapa yang pengin jualan di area gapura. Dari kalangan pedagang pun untungnya tak ada saling sikut. Sehingga, Sugeng bisa langsung jualan tanpa harus kena senggol sana-sini.

“Wong sama-sama nyari penghidupan. Jadinya saling mengerti. Lama-lama juga malah saling kenal dan akrab sama pedagang-pedagang lain,” ungkapnya.

Sore itu, setidaknya ada dua penjual es yang sedang mangkal. Sugeng dan satu lagi seorang anak muda.

Lalu ada satu penjual pentol yang saat saya istirahat di gapura Gresik-Lamongan sore itu, tampak relatif lebih sepi pembeli ketimbang lapak milik Sugeng dan si anak muda yang sama-sama menjual es.

“Panas mentheng-mentheng, Mas, jadi syukur laris manis,” ujarnya.

Gapura Gresik-Lamongan jadi gerbang rezeki

Bagi Sugeng, gapura Gresik-Lamongan bukan hanya sekadar gerbang pembatas antara Gresik dan Lamongan. Tapi juga sebagai gerbang rezeki.

Pilihannya berhenti kerja serabutan dan memilih berjualan es di gapura itu nyatanya sangat membantu perekonomiannya. Setidaknya sampai saat ini. Saking profitnya, ia bahkan sampai mengajak anaknya (kisaran umur 24-an) untuk membantunya berjualan. Di mana hasilnya nanti bisa ia bagi dengan sang anak.

“Aku buka dari jam sembilan pagi. Kalau tutupnya tergantung. Kadang habis Isya sudah kukut. Kadang sampai malam juga,” terang Sugeng.

Yanto (58), penjual pentol di gapura Gresik-Lamongan saat melayani pembeli, Minggu (22/10/2023). (Aly Reza/Mojok.co)

Khususnya di hari Minggu, para pemotor yang menuju arah Surabaya jumlahnya tentu lebih banyak ketimbang hari-hari biasa. Maka, Sugeng akan memanfaatkannya untuk berjualan dengan durasi lebih panjang.

“Gelar kloso aku, Mas, kalau Minggu malam. Biasanya ada yang berhenti ngopi agak lama. Sopir-sopir truk juga kadang mampir,” sambungnya.

Bagaimana tak menjadi “gerbang rezeki”. Tak hanya pemotor, mobil pribadi, bahkan truk pun kadang memilih rehat lama di gapura yang pembangunannya menelan Rp14 miliar dari APBD itu.

Pun tak hanya di sisi pilar utara saja. Di pilar selatan pun juga tampak beberapa pedagang yang mencari peruntungan. Pembelinya (orang-orang yang mampir) tak kalah banyak pula dari yang di utara.

Mungkin karena melihat saya tampak gayeng berbincang dengan Sugeng, Roni (25) lalu turut nimbrung. Awalnya sekadar basa-basi. Tapi lambat laun ia pun mencurahkan apa yang sedang membebani hati dan kepalanya.

Roni berasal dari Bojonegoro, Jawa Timur. Saat ini ia sedang bekerja di sebuah pabrik di Gresik.

Ada rindu kepada orang tua yang belum tuntas

Sejak saat saya duduk berbincang dengan Sugeng, Roni memang sudah duduk di bangku panjang di sebelah gerobak es Sugeng. Sudah berbatang-batang rokok ia sesap-embuskan. Sesekali, ia juga tampak menatap kosong lalu-lalang kendaraan.

“Bentar lagi sudah sampai kos. Tinggal jalan sedikit saja masuk Gresik Kota. Jadi sering istirahat lama di sini (gapura Gresik-Lamongan),” ujarnya.

Roni bercerita, meski sudah bertahun-tahun hidup di perantauan, tapi ia ternyata masih belum terlalu tatag kalau urusan berjauhan dengan orang tua.

Tiap kali berhenti di gapura Gresik-Lamongan, sebelum akhirnya masuk ke Gresik untuk kembali menjalani rutinitas sebagai pekerja pabrik, ia pasti diserang perasaan gundah dan sedih.

“Rasanya belum cukup (di rumahnya). Masih kangen sama orang tua,” tuturnya.

“Lah gimana to, Mas, wong Sabtu sore pulang, terus Minggu sorenya sudah harus balik lagi,” lanjutnya.

Saya memahami apa yang dirasakan Roni. Karena saya pun masih sering merasa begitu; pertemuan yang terlalu singkat, untuk perpisahan yang terlampau panjang.

Hingga malam, banyak pemotor yang istirahat di gapura Gresik-Lamongan untuk istirahat sembari melarisi dagangan es Sugeng (43), Minggu (22/10/2023).

Kalau masih kuat menahan rindu, Roni biasanya akan pulang ke Bojonegoro di weekend terakhir di akhir bulan. Tapi kalau sudah benar-benar sangat kangen dengan orang tuanya, dia bisa nekat pulang dua minggu sekali.

“Capek nggak masalah. Yang penting bisa nyambangi orang tua. Itu bikin hati ayem,” bebernya.

Mau tak mau memang harus begitu. Satu sisi Roni memang masih belum tatag berjauhan dengan orang tuanya. Namun, di sisi lain, ia butuh pekerjaan dengan upah yang lebih besar dari UMR di daerah asalnya. Dan untuk itu, kebersamaan dengan orang tua di rumah harus ia korbankan.

Penjual pentol yang merasa jadi korban ketidakadilan perusahaan

Menjelang Magrib, para pemotor yang singgah di gapura Gresik-Lamongan makin banya saja. Banyak dari mereka yang langsung jujuk ke gerobak es Sugeng. Alhasil, ia dan anaknya pun jadi sangat sibuk. Roni pun sudah bersiap melanjutkan perjalanan ke Gresik Kota.

Maka, saya geser ke penjual pentol yang sedari saya tiba hanya diampiri satu-dua pembeli.

Ia yang semula mondar-mandir di dekat motornya pun langsung sigap menyiapkan pesanan saya.

Namanya Yanto (58). Sebenarnya asli Malang, tapi menetap di Lamongan karena kebetulan istrinya berasal dari kota berjuluk Kota Soto dan Kota Pecel Lele tersebut.

“Baru menetap di Lamongan empat tahunan ini, Mas. Sebelumnya ngontrak di Surabaya. Kan sebelum jualan (pentol) saya kerja di Surabaya dulu,” akunya.

Sebelumnya Yanto bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi yang berkantor di Pasar Turi, Surabaya. Jadi pekerja kasar kalau kata Yanto, bagian angkat-angkat. Akan tetapi, empat tahun yang lalu ia tiba-tiba diberhentikan.

“Alasannya usia. Katanya sudah terlalu tua,” ungkapnya.

“Padahal kalau ngomongin tenaga. Saya ini masih roso, masih kuat kalau cuma angkat-angkat,” imbuhnya.

Tapi bagaimana lagi. Karena perusahaan memberi batas usia maksimal para pekerjanya di angka 55 tahun, maka mau tidak mau, suka tidak suka, Yanto harus terima diberhentikan.

Namun, bagi Yanto, tidak adil saja rasanya kalau usia jadi penentu layak/tidaknya seseorang dipertahankan/diberhentikan dari perusahaan.

“Apalagi kalau cuma kuli angkat, Mas. Kalau kuli, yang jadi ukuran seharusnya tenaga. Bukan usia. Kalau usia dianggap tua tapi masih prima, ya masa tetap diberhentikan,” keluhnya.

Merasa cukup dari hasil jualan pentol

Meski sore itu ia tak cukup dapat banyak pembeli, tapi Yanto mengaku kalau pendapatan hariannya untuk hari itu sudah cukup. Malah ia berencana pulang persis saat azan Isya berkumandang. Lebih awal dari pedagang-pedagang lain.

“Musim panas, jadi yang dicari orang mesti es dulu. Kalau lapar, baru diganjal sama pentol,” katanya.

Pilar selatan gapura Gresik-Lamongan yang juga ramai pedagang dan pemotor yang beristirahat, Minggu (22/10/2023). (Aly Reza/Mojok.co)

Sejak jadi korban PHK oleh perusahaan ekspedisi itu, Yanto dan istrinya sepakat untuk pulang ke Lamongan.

Lalu entah bagaimana mulanya, Yanto lantas berpikiran untuk jualan pentol. Pekerjaan yang lantas ia tekuni hingga saat ini.

Yanto biasanya akan berangkat jualan dari jam sepuluh pagi, berkeliling dari kampung ke kampung dan dari jalan ke jalan. Kemudian memasuki waktu Asar, barulah ia mangkal di gapura Gresik-Lamongan.

“Yang namanya jualan, kadang laris, kadang lesu. Kadang untung besar, kadang cuma sedikit. Nah, Alhamdulillahnya, saya nggak pernah sampai rugi,” jelas Yanto.

“Dapat untung walaupun cuma dikit, itu sudah bersyukur. Walaupun pentol belum habis, kalau kira-kira sudah dapat untung, ya sudah saya pulang. Pokoknya yang penting nggak rugi,” tambahnya.

Tak ngoyo ngejar untung besar di gapura Gresik-Lamongan

Cara hidup seperti itu Yanto rasakan membuatnya merasa lebih ayem dan tenang; tak terlalu ngoyo ngejar untung besar. Toh dari hasilnya jualan pentol yang lebih sering untung sedikit itu, nyatanya ia dan keluarga kecilnya tak merasa kekurangan.

Obrolan saya dengan Yanto lalu berlanjut hingga lepas Magrib. Dari hal-hal remeh hingga hal-hal mendalam. Jika sebelumnya saya harus memancingnya dulu dengan pertanyaan, kini Yanto lah yang lebih banyak bercerita.

Ternyata ada banyak hal yang selama ini Yanto pendam sendiri, tentang pikiran-pikiran seorang lelaki, suami, sekaligus bapak. Hal-hal yang sebelumnya ia tak tahu harus diceritakan pada siapa. Hanya sekadar diceritakan agar perasaannya lega.

“Hati-hati, Mas. Besok-besok ketemu lagi,” ucap Yanto sesaat setelah saya pamit untuk melanjutkan perjalanan  ke Surabaya. 

Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Curhatan Warga Lombok: Kapok di MotoGP Mandalika yang Sebabkan Kursi Kosong

Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version