Dua warung es cokelat di Surabaya ini menjual menu yang sama, menempati lokasi yang sama, dengan waktu jualan berbeda. Warung Es Coklat Panjang Umur dan Es Coklat Tambah Umur. Dua warung warisan dari Mbah Ngadimin yang sejak 1950 hanya menjual satu menu utama.
***
Siang itu, Minggu, (19/12/2021) cuaca Surabaya memang lumayan terik. Atas saran seorang kawan, saya mencoba datang di jam-jam awal Es Coklat Panjang Umur buka, yakni pukul 10.00 WIB. Karena di jam-jam tersebut, seturut penuturan kawan saya, biasanya masih belum terlalu ramai. Tentu agar saya bisa leluasa jika ingin melakukan wawancara.
Setiba di lokasi, Jl. Simokerto No. 49, Kecamatan Simokerto, Kota Surabaya, ternyata warung Es Coklat Panjang Umur sudah dijejali pengunjung. Namun, untungnya, Bayu Wicaksono (20), generasi ketiga penjual Es Coklat Panjang Umur, masih bersedia diwawancara.
“Asal samean sabar dulu. Nanti kalau ada sedikit longgar, bisa kok, Mas,” ujarnya sembari mengaduk es cokelat dalam tong sebelum dituangkan ke dalam dua, tiga, lima hingga puluhan gelas pengunjung yang sudah mengantre.
Sekitar setengah jam menunggu sambil menyeruput es cokelat yang saya pesan dan menghabiskan tiga batang Djarum 76 Madu Hitam, akhirnya ada sedikit celah untuk ngobrol dengan Bayu.
“Mumpung agak longgar, monggo, Mas, mau nanya-nannya soal apa?” ujar Bayu sembari menata kursi untuk ia duduki.
Berasal dari ide kreatif sang kakek
“Saya generasi ketiga, Mas. Lah wong saya saja megang es cokelat ini baru tahun 2020 kemarin,” ucap Bayu ketika saya tanya mengenai silsilah pemilik Es Coklat Panjang Umur.
Bayu bercerita, usaha Es Coklat Panjang Umur pertama kali dilakukan oleh sang kakek yang bernama Ngadimin sejak tahun 1950. Awalnya Mbah Ngadimin berjualan dengan cara berkeliling menggunakan gerobak. Lalu beberapa tahun kemudian Mbah Ngadimin menyewa sepetak tanah di pinggir jalan yang menjadi lokasi Es Coklat Panjang umur hingga sekarang.
Berdasarkan cerita yang ia dapat dari keluarganya, sejak membuka warung itulah Es Coklat Panjang Umur mulai memiliki banyak pelanggan. Sampai akhirnya terkenal di seantero Surabaya.
“Kata bapak saya, simbah (Mbah Ngadimin) pengin jualan minuman yang agak beda saja waktu itu, yang lezat tapi merakyat. Dan harus bisa dinikmati semua kalangan, mulai dari anak-anak, dewasa, sampai orang tua. Dari situ akhirnya jadilah Es Coklat Panjang Umur ini,” terang Bayu.
“Itu thok sih, Mas, setahu saya dari bapak. Bapak sendiri kan belum lahir waktu simbah sudah jualan,” imbuhnya.
Lebih lanjut Bayu mengatakan, bapaknya, yakni Pak Cahyo, kemudian mendapat amanah dari Mbah Ngadimin untuk melanjutkan jualan es cokelat tersebut. Maka pada sekitar tahun 1980-an, Pak Cahyo ditemani dengan beberapa saudaranya meneruskan usaha Es Coklat Panjang Umur yang semakin hari semakin banyak pelanggan.
Bayu sendiri mulai intens ikut bantu-bantu di warung sejak kelas satu SMK. Sekadar membantu mengantarkan pesanan, mengiris roti, atau mencuci gelas dan piring kotor. Baru ketika hendak lulus, ia mulai diajari Pak Cahyo untuk meracik sendiri resep untuk membuat es cokelat ala Es Coklat Panjang Umur.
“Biasanya pas pulang sekolah, terus pas libur sekolah gitu saya ikut bantu-bantu bapak. Waktu itu masih bantu-bantu. Terus 2020 kemarin pas sudah lulus langsung dikasih kepercayaan buat megang sendiri. Sementara bapak sekarang sedang menekuni bisnis burung,” jelas Bayu sembari sesekali mengelap keringat yang bercucuran di dahinya. Entah karena cuaca Surabaya yang memang begitu menyengat, atau mungkin karena grogi.
Ini adalah momen pertama kalinya ia diwawancara. Sebelum-sebelumnya biasanya Pak Cahyo yang turun tangan menjawab satu per satu pertanyaan yang diajukan oleh wartawan. Setidaknya demikanlah pengakuannya kepada saya.
Kisah di balik dua warung di tempat yang sama
Ini adalah bagian yang menurut saya cukup menarik. Karena pemberian nama Es Coklat Panjang Umur ternyata tidak lepas dari adanya masalah antara dua keluarga anak-cucu Mbah Ngadimin selaku owner Es Coklat Panjang Umur.
Sebagaimana diungkapkan Bayu, sejak zaman Mbah Ngadimin hingga awal-awal dipegang oleh Pak Cahyo warung tersebut sebenarnya bernama Es Coklat Tambah Umur. Kalau di-search di Google pun yang tertera adalah Es Coklat Tambah Umur. Lalu sekarang terpecah menjadi dua, yaitu ada Es Coklat Panjang Umur dan ada juga Es Coklat Tambah Umur. Dan keduanya berjualan di satu titik lokasi yang sama. Kok bisa demikian?
Ceritanya bermula sejak tahun 2006. Hari-hari terakhir sebelum meninggal, Mbah Ngadimin memutuskan untuk membagi resep es cokelat miliknya kepada kedua anaknya, Pak Cahyo dan Bu Wiwik. Artinya, Pak Cahyo boleh jualan sendiri, Bu Wiwik pun demikian.
Syaratnya, tidak boleh ada satu dari keduanya yang membuka brand sendiri. Mbah Ngadimin juga tidak mengizinkan Pak Cahyo dan Bu Wiwik untuk menyewa tempat sendiri-sendiri. Alhasil satu tempat—yang dulu ditempati oleh Mbah Ngadimin—dibagi dua, ditempati Pak Cahyo dan Bu Wiwik dalam waktu kerja yang berlainan. Dari kebijakan tersebut Bu Wiwik memegang hak atas nama Es Coklat Tambah Umur, sementara Pak Cahyo kebagian menggunakan nama Es Coklat Panjang Umur.
Sistem kerjanya yaitu, masing-masing antara Pak Cahyo dan Bu Wiwik berjualan di lokasi Es Coklat Tambah Umur/Es Coklat Panjang Umur dalam kurun seminggu sekali. Gampangnya begini, dalam satu bulan kan ada empat minggu. Nah, jika misalnya Bu Wiwik dengan Es Coklat Tambah Umurnya jualan di minggu pertama, maka Pak Cahyo (sekarang dipegang Bayu) mendapat jatah jualan di minggu kedua. Minggu ketiga nanti Es Coklat Tambah Umur lagi yang jualan, lalu minggu keempat berikutnya giliran Es Coklat Panjang Umur yang menempati. Begitu seterusnya.
“Soalnya amanah dari simbah itu nggak boleh buka cabang, Mas. Biar pelanggannya ngelumpuk (berkumpul) di satu tempat saja. Ya karena takut kalau seumpama bapak atau saudara saya itu (maksudnya Bu Wiwik) dilepas, nanti seolah-olah kan pencar-pencar. Ya sudah solusinya ya disuruh nempatin satu tempat saja, gantian seminggu sekali,” bebernya, lagi-lagi dengan suara yang dipelankan.
“Yang Tambah Umur dikelola Bu Wiwik sama anak-anaknya. Kalau Panjang Umur dulu bapak punya karyawan sendiri, bukan dari keluarga. Karyawan saya pun ini juga bukan dari keluarga. Mereka tetangga-tetangga rumah. Daripada nganggur yawes saya kasih kerjaan,” ucap Bayu.
Saya masih penasaran, apakah dua warung yang masih bersaudara ini bersaing saat jualan. “Nggak ada, Mas. Gimana-gimana resepnya dari orang yang sama (Mbah Ngadimin), terus lokasinya juga di satu tempat yang sama, jatah jualannya juga sama-sama seminggu sekali. Jadi ya ngggak ada saingan. Jualan ya jualan saja, diniati meneruskan usaha simbah,” jelas Bayu.
Ia menambahkan, tidak ada istilah lebih banyak mana antara pelanggan Es Coklat Tambah Umur dan Es Coklat Panjang Umur. Karena masing-masing memiliki pelanggannya sendiri-sendiri. Seturut keterangan Bayu, kalau pelanggan tetap yang sudah kenal sejak dulu biasanya akan milih berlangganan salah satu.
Bagi yang kenal dengan Pak Cahyo, mestinya akan lebih mampir di waktu Es Coklat Panjang Umur yang dapat jatah buka. Pun sebaliknya, bagi yang condong ke Bu Wiwik, akan mampir ketika Es Coklat Tambah Umur yang sedang piket. Selebihnya adalah pengunjung random dari berbagai kalangan masyarakat yang jumlahnya selalu banyak.
Memang tidak banyak yang tahu mengenai hal ini. Maka kadang ada saja yang bingung untuk membedakan antara Es Coklat Tambah Umur dan Es Coklat Panjang Umur. Termasuk saya sendiri.
Sehari sebelumnya, Sabtu, (18/12/2021), saya sebenarnya sudah mampir ke lokasi. Hari itu kebetulan yang buka adalah Es Coklat Tambah Umur.
“Ngapunten, Jenengan ingkang asma Pak Cahyo, nggih? (Mohon maaf, Jenengan yang namanya Pak Cahyo, ya?),” tanya saya denga percaya diri kepada bapak-bapak yang tengah mengaduk es cokelat di dalam tong. Namun dengan tegas ia memberitahu kalau saya salah orang.
Taka lama kemudian ibu-ibu (yang baru saya tahu ternyata adalah Bu Wiwik) menghampiri saya dan menjelaskan sekilas bahwa Pak Cahyo punya warung sendiri.
“Namanya beda, Mas. Kalau saya Tambah Umur, kalau Pak Cahyo Panjang Umur. Kalau mau wawancara Pak Cahyo samean bisa datang lagi besok. Yang Panjang Umur bukanya besok,” ujar Bu Wiwik.
“Ngapunten, kalau misalnya wawancara sebentar sama njenengan, pripun?” sahut saya.
“Mohon maaf banget, Mas, sedang riweh banget ini, jadi nggak bisa. Lebih baik besok saja samean ke sini lagi, barangkali pengin wawancara yang satunya (Es Coklat Panjang Umur),” balas Bu Wiwik tegas dan lugas. Saya pun memacu motor balik ke kosan setelah menyodorkan uang untuk menebus segelas es cokelat dan sepotong roti sobek.
Doa di balik nama Tambah Umur/Panjang Umur
Bukan tanpa maksud Mbah Ngadimin memberi nama es cokelatnya Es Coklat Tambah Umur (yang kemudian bertambah lagi Es Coklat Panjang Umur).
Kata Bayu, merujuk cerita yang ia dapat dari Pak Cahyo, Mbah Ngadimin memilih nama tersebut dengan dua harapan. Pertama, agar para pelanggan atau pengunjung yang mencicipi es cokelatnya senantiasa diberi tambah umur (umur panjang).
Karena jika ada pelanggan yang berumur panjang, suatu saat ia akan menjadi saksi sejarah dari es cokelat rintisan Mbah Ngadimin tersebut. Lalu ia akan bercerita sekaligus mengajak anak-cucunya untuk menjadi pelanggan generasi berikutnya.
Kedua, agar es cokelat yang ia rintis tersebut juga berumur panjang hingga anak, cucu, cicit, dan seterusnya nanti. Makanya, ketika Mbah Ngadimin membagi bisnis ini menjadi dua, bagian untuk Pak Cahyo diberi nama yang tidak jauh-jauh dari nama asalnya (Es Coklat Tambah Umur); diberi nama Es Coklat Panjang Umur.
“Dulu zamannya bapak yang jualan, pelanggannya kebanyakan ya pelanggan-pelanggannya simbah dulu. Sekarang pun begitu. Pas saya yang pegang, rata-rata pelanggannya bapak masih pada mampir,” demikian pengakuan dari Bayu.
Tak gentar bersaing dengan coffee shop
Es Coklat Panjang Umur hanya menyediakan satu menu minuman saja, apalagi kalau bukan es cokelat. Hanya es cokelat, tanpa topping apapun.
Ada dua cara menikmati es cokelat di warung Es Coklat Panjang Umur. Pertama, diminum sebagaimana biasa. Kedua, dicocol dengan menggunakan sepotong roti sobek. Cara kedua inilah yang umumnya dipraktikkan oleh para pengunjung. Selain itu juga bisa dinikmati sambil mengganyang ote-ote atau martabak yang dibaluri dengan sambal petis khas Madura.
Saya mencoba mengulik, apakah dari keluarga Pak Cahyo pernah terbesit pikiran untuk membuat semacam inovasi? Misalnya menambahkan topping tertentu di atas es cokelat atau mungkin menambah daftar menu minuman di warung Es Coklat Panjang Umur. Namun, kata Bayu, ia dan keluarganya hanya ingin menjaga orisinilitas es cokelat resep Mbah Ngadimin.
“Kami cuma menjaga amanah simbah, Mas. Dari dulu resepnya begini, ya sudah kami meneruskannya juga begini. Kalau ditambah aneh-aneh, itu kayak melanggar aturan (dari Mbah Ngadimin),” jelasnya.
“Karena tanpa ditambahi macem-macem, nyatanya tetep banyak yang minat,” sambungnya. “Kenapa es cokelat ini banyak diminati? Saya berani nyebut, ini soal rasa dan resep. Tapi untuk resepnya sendiri rahasia dapur itu, Mas, hehehe.”
Ditanya soal persaingan dengan coffee shop yang tengah menjamur di Surabaya, Bayu sebagaimana juga Pak Cahyo mengaku tidak gentar. Pasalnya, menurutnya, target pasar dari coffee shop adalah kelas-kelas elite (menengah ke atas). Namun untuk es cokelatnya bisa dinikmati oleh semua kalangan.
“Di coffee shop mungkin ada minuman cokelat-cokelatan gitu, tapi kan mahal. Kalau di sini terjangkau, semua bisa menikmati,” ujarnya mantap.
Untuk satu gelas es cokelat di Es Coklat Panjang Umur sendiri dihargai Rp8 ribu, sepotong roti sobek Rp2 ribu, ote-ote dan martabak pun juga dihargai Rp2 ribu. Pun sejauh pantauan saya selama dua hari mondar-mandir di warung es cokelat itu, yang datang memang beragam. Anak-anak SMA, pekerja pabrik, masyarakat umum, mahasiswa, bahkan ada juga dari kalangan orang-orang kantoran.
Ia lantas membeberkan, dalam sehari ia bisa menghabiskan lima ember besar stok cokelat. Dimana satu ember biasanya bisa dikonversikan menjadi sekitar 300 porsi.
“Kalau lagi rame banget bisa habis lima ember. Kalau nggak terlalu ramai paling ya nyisa satu ember. Karena aturan dari simbah pukul 16.00 WIB harus tutup. Habis nggak habis harus tutup. Itu jam istirahat di rumah,” terang pemuda asli Kapasan, Surabaya tersebut.
Dewi (24), salah seorang mahasiswi di salah satu kampus negeri di Surabaya mengaku mampir ke Es Coklat Panjang Umur lantaran coba-coba. Ia penasaran saja dengan es cokelat yang katanya cukup legendaris di Kota Pahlawan Itu. Menurutnya es cokelat di warung Es Coklat Panjang Umur lezatnya tidak kalah saing dengan minuman-minuman cokelat di coffee shop atau tempat-tempat elite lainnya.
“Nggak terlalu kentel, manisnya pas. Harganya juga ramah banget di kantong. Recommended lah buat nongkrong,” tuturnya malu-malu.
BACA JUGA Kisah Anjing Setia dari Erupsi Semeru, Mirip Hachiko Jepang liputan menarik lainnya di Susul.
Reporter : Muchamad Aly Reza
Editor : Agung Purwandono