Pelajaran Hidup dari Seorang Driver Ojol di Semarang yang Suka “Yapping”: Tak Lupa Membantu Sesama di Tengah Tekanan Hidup

Driver ojol di Simpang Lima Semarang terlalu Ramah. MOJOK.CO

ilusrtasi - driver ojol di Semarang suka yapping. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Panasnya perjalanan ke Simpang Lima Semarang tak bikin saya gerah, setidaknya menghangatkan jiwa karena kebaikan hati seorang driver ojek online (ojol) yang peduli dengan orang luar daerah. Tak heran, Semarang punya julukan kota ATLAS yang merupakan akronim dari Aman, Tertib, Lancar, Asri, dan Sehat.

***

Saya tak bisa membayangkan bagaimana motor butut saya saat dipakai untuk jalan-jalan di Kota Semarang, sebab jalannya naik-turun seperti gunung. Padahal, tempat yang saya kunjungi masih berada di wilayah kota, yakni dari Simpang Lima ke Universitas Negeri Semarang (UNNES).

Sementara, motor Yamaha Mio 2011 pasti tak sanggup melewati jalan menanjak. Berdasarkan pengalaman saya saat pergi ke Bukit Argobelah, Klaten mesinnya sudah berat sekali bahkan sebelum perjalanan menuju bukit. Pengalaman saya ini pernah saya tulis di sini.

Mungkin itu sebabnya driver ojol yang saya tumpangi selalu pakai motor yang kurang lebih keluaran 2020 ke atas. Salah satunya seorang ojol yang mengendarai Honda Vario 150.

Namun, bukannya bersyukur punya motor bagus dibanding motor butut saya, bapak itu masih mengeluh karena harus berkali-kali service. Dari situlah percakapan kami mengalir sampai saya melihat sendiri kebaikan hati beliau.

Kembali ke Semarang untuk temani ibu

Namanya, Bhastian. Pemuda asal Semarang itu dulunya pernah merantau ke Jakarta dan sempat bekerja selama beberapa tahun. Namun, ia memutuskan pulang ke kampung halaman setelah mendengar ayahnya meninggal. Mendengar cerita pribadi tersebut, saya sedikit risih dan bingung harus menanggapi bagaimana. Namun, Bhastian tampak semangat saat bercerita.

“Saya nggak tega tinggalin ibu sendirian di rumah Mbak. Beliau orang tua saya satu-satunya yang masih hidup. Saya sempat menyesal nggak bisa dampingi bapak saat detik-detik terakhir beliau nggak ada (meninggal),” ujar Bhastian saat bertugas menjadi driver ojol untuk mengantar saya dari Puskesmas Sekaran ke Simpang Lima Semarang pada Kamis (16/10/2025).

Mulanya, Bhastian mengaku berat karena harus resign dari pekerjaannya, sementara ia juga masih punya tanggungan untuk menghidupi anak dan istrinya. Untungnya, sang istri mendukung keputusan tersebut.

“Mungkin kami juga sudah capek dengan kehidupan Jakarta. Istri saya bilang rezeki sudah ada yang ngatur. Jadi saya optimis, ya walaupun ujung-ujungnya ngojol hehe,” kelakar Bhastian.

Kasih motor butut kesayangan ke adik tingkat

Dalam perjalanan hidupnya itu, sarjana Universitas Islam Sultan Agung (UNISSULA) tersebut masih bersyukur karena diberi kesehatan dan punya motor yang bagus, sehingga bisa digunakan untuk ngojol.

“Semasa kuliah dulu, saya harus ‘mati-matian’ Mbak buat beli motor. Saya kuliah sambil kerja di percetakan buku pendidikan sampai akhirnya bisa beli Honda Supra X,” ucap Bhastian.

Kini, Honda Supra X-nya itu sudah ia berikan ke adik tingkatnya dulu yang masih ada di Semarang. Meski sudah butut, ia mengaku mesinnya awet. Dan karena iba ke adik tingkatnya yang masih sulit cari kerja, ia pun memberikan motor bekasnya.

Tak terasa, sambil mendengarkan cerita-cerita Bhastian, kami sudah berada di bundaran Tugu Muda sebelum menuju Simpang Lima Semarang. Saya pun asyik memotret bangunan-bangunan di sekitar, karena dekat Tugu Muda ada Lawang Sewu hingga Museum Mandala Bhakti yang menjadi rujukan wisatawan. 

Saat itulah Bhastian baru menyadari bahwa saya seorang pendatang dari Jogja. Ia pun makin bersemangat menceritakan sejarah Kota Semarang, termasuk Pertempuran Lima Hari di Semarang sejak tanggal 15 November.

“Untung Mbak datangnya hari ini, karena baru aja kemarin jalanan ini macet. Orang-orang ngadain pawai dalam rangka memperingati Pertempuran Lima Hari di Semarang,” ucap Bhastian. 

Saya pun hanya manggut-manggut mendengarkan penjelasannya sambil menikmati jalanan kanan kiri saat lampu merah. Saat itulah seorang bapak tua yang mengendarai motor plat K menjejeri kami. Motornya tampak butut, lebih ringkih fisiknya dari motor Yamaha Mio saya.

Bantu seorang bapak tua yang nyasar di Semarang

Bapat tua itu lalu bertanya ke Bhastian, di mana lokasi Kantor Balai Kota Semarang? Entah apa keperluannya di sana, tapi ia sempat menunjuk sebuah gedung berwarna krem dan menanyakan apakah gedung itu Kantor Balai Kota Semarang.

Bhastian pun menjawab bukan, setahu dia itu wisma penginapan untuk tamu meskipun bertuliskan “Pemerintah Kota Semarang”. Ia lalu menjelaskan arah yang benar sambil menggerak-gerakkan tangannya seperti anak panah. Dari raut wajahnya, Bapak itu tampak bingung tapi tetap tersenyum usai Bhastian menjelaskan.

Karena khawatir bapak itu nyasar, Bhastian meminta izin kepada saya untuk mengantar bapak tersebut. Saya pun tak keberatan karena masih punya banyak waktu luang.

“Simpang Lima sudah dekat kok Mbak, tinggal melewati bundaran terus lurus. Cuman kalau antar Bapaknya ke balai kota kita harus belok kiri dulu jadi agak jauh, nggak apa kah? Mbaknya nggak bayar lebih kok, cuman waktunya jadi agak lama. Bagaimana?” jelasnya.

“Aman saja Pak, anterin Bapaknya aja. Kayaknya beliau juga nggak bisa nge-map,” jawab saya yang selalu mengandalkan G-Maps di gawai saat nyasar.

Bhastian kemudian memanggil Bapak tadi yang ada di sampingnya dan meminta bapak itu mengikuti motornya. Mendengar tawaran tersebut, raut wajahnya langsung sumringah. Ia berterima kasih atas bantuan Bhastian.

Makna berharga dari kata “Terima Kasih”

Usai melewati bundaran dan Jalan Pandanaran, Bhastian belok kiri ke Jalan Pekunden. Ia mengurangi sedikit kecepatan mesin motornya agar bapak itu bisa mengikuti dia dari belakang. Sementara, saya sesekali menoleh ke belakang memastikan bapak itu tak ketinggalan.

Kami pun sempat bercakap-cakap dari mana Bapak itu berasal. Dari plat motor bertuliskan K, kami menduga kalau ia dari Puwodadi, Grobogan. Daerah Jawa Tengah yang lebih dekat dari Semarang dibanding Pati, Kudus, Jepara, Rembang, atau Blora. Namun, bisa saja analisis kami salah.

Kurang dari 10 menit, kami pun tiba di gedung Kantor Balai Kota Semarang. Tanpa menghentikan motornya di dekat trotoar, Bhastian hanya memencet klakson dan menunjukkan bangunan di samping kirinya. Ia tak melupakan tugas utamanya sebagai seorang driver ojol yang hendak mengantar saya.

Bapak itu pun mengerti. Ia mengangguk lalu tersenyum, seolah mengucapkan terima kasih dari jauh. Bhastian kemudian melanjutkan perjalanannya untuk mengantar saya ke Simpang Lima Semarang. Ia menurunkan saya di depan Masjid Baiturrahman sesuai permintaan.

Saya kemudian memberi sekotak makanan untuknya yang saya dapat dari acara di puskesmas tadi. Berkatnya, saya mendapat pelajaran berharga tentang indahnya berbuat baik kepada sesama. Sempat saya pusing memikirkan alasan Bhastian repot-repot mengantar Bapak tua tadi ke tujuan, seolah saya lupa kalau pada dasarnya berbuat baik itu tanpa pamrih.

“Terima kasih banyak Mbak,” ucapnya sembari tersenyum riang.

“Kembali kasih, Pak.” Kata saya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Siasat Ojol Semarang Mencari Keuntungan di Tengah Kebingungan Penumpang atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version