Hamdan, salah seorang dosen UNY yang ingin namanya disamarkan, mengaku jijik dan malu dengan sikap kampusnya yang tak mau bersikap soal kebobrokan rezim. Sayangnya, ia juga tak berani terang-terangan bicara karena yakin bakal ada intimidasi terhadapanya.
Kamis (8/2/2024) siang, saya menghubungi salah satu dosen UNY yang saya kenal dekat itu. Saya pun meminta pendapatnya terkait sikap UNY yang secara terang-terangan mengaku ogah bersikap soal situasi politik yang terjadi hari ini.
Sebelumnya, sejumlah mahasiswa UNY mengadakan diskusi dengan tajuk “Sadarkan Rakyat dari Pesta Demokrasi yang Dinodai secara Terang-terangan” pada Selasa (6/2/2024) siang. Rektorat UNY nyatanya malah membubarkan forum yang juga mengajak sivitas akademika seperti rektor, guru besar dan para dosen untuk bersikap tersebut.
UNY enggan kritik pemerintah
Sekretaris Direktorat Akademik, Kemahasiswaan, Alumni UNY Prof Guntur yang menemui mahasiswa, membubarkan diskusi dengan dalih tak ada izin kegiatan.
“Kalau tidak ada izinnya, nanti saya serahkan ke bapak-bapak sekuriti” ujar Guntur. “Ngapain kumpul-kumpul,” sambungnya.
Selain itu, Guntur juga menegaskan UNY tak akan memberi pernyataan sikap seputar situasi politik seperti kampus-kampus lain. “Tak ada tekanan dari manapun. Kami netral karena kami ASN,” jelasnya.
“UNY institusi pemerintah, ikuti saja aturan pemerintah. Kami kampus, bukan kapasitasnya soal isu-isu negara ini.”
Sejak akhir Januari 2024, sejumlah guru besar di kampus-kampus Indonesia melayangkan kritik pada pemerintah sekaligus menyampaikan kekhawatiran soal kemunduran demokrasi. Bermula dari “Petisi Bulaksumur” di UGM, kemudian gelombang ini berlanjut ke Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Islam Indonesia (UII), dan sedikitnya 30 kampus lain.
Kampus memang idealnya berisik ke pemerintah
Menurut pandangan Hamdan, kampus idealnya memang harus berisik ke pemerintahan. “Kalau hanya diam saja, lalu apa gunanya selama ini mereka mengajari kita kritis?,” katanya.
Apalagi kampus punya cukup tenaga dan daya tawar untuk mendesak pemerintah. Akademisi kampus, dengan semua kepakarannya, ia anggap punya privilese untuk lebih pemerintah dengar ketimbang masyarakat umum.
“Punya hak istimewa dan kepakaran buat ngomong masa enggak kita gunakan, kan itu sia-sia jadinya.”
Dengan demikian, lanjut Hamdan, UNY harusnya bisa mencontoh kampus lain yang sudah berani bersikap dan bersuara. Bagi dia, dalih “netral” hanya lebih ke sikap tidak mau peduli saja.
Sejarah bangsa pun juga telah membuktikan kalau para akademisi punya peran penting dalam menjaga marwah demokrasi bangsa. Salah satu caranya adalah dengan terus berisik ke kekuasaan.
“Harusnya, UNY memegang teguh nilai-nilai itu,” jelasnya.
Baca halaman selanjutnya…
Tak berani terang-terangan vokal ke Rektorat karena takut intimidasi
UNY bilang sok netral, padahal itu sama saja sikap tak peduli
Alhasil, ia pun mengaku jijik. Sebab, UNY tak hanya diam-diam bersikap “sok netral”, tapi sudah secara terang-terangan.
“Harusnya malu, sih (Prof Guntur) bilang seperti itu. Apa beliau tidak sadar apa yang sudah terucapkan kemarin itu?.”
Terlebih, yang rektorat bubarkan itu hanyalah forum diskusi. Hamdan menilai, semua mahasiswa punya hak untuk menggunakan fasilitas kampus untuk kepentingan apa saja, termasuk menjaga nalar kritis melalui diskusi.
“Kan mereka juga bayar uang kuliah, masa kumpul-kumpul saja tak boleh,” katanya. “Dari dulu selalu begitu, dalihnya tak ada izin padahal itu ruang publik.”
Tak berani terang-terangan karena takut dapat ancaman
Awalnya, saya meminta izin kepada Hamdan untuk mengutip beberapa statement-nya. Namun, setelah berpikir beberapa saat, ia memang memberi izin dengan catatan Mojok menyamarkan namanya.
“Ngeri ini, Mas. Kita sama-sama tahulah, bagaimana ngerinya UNY ini,” kata dia. “Saya kritik jurusan saja kena semprot kok.”
Dosen ini memang punya pengalaman berurusan dengan birokrasi kampus. Dulu, ia cukup vokal mengkritik kampus yang berujung pada teguran dari birokrasi dan ucapan-ucapan yang punya tendensi mengancam.
“Ujung-ujungnya nanti malah saya kan, Mas, yang mereka anggap cemarin nama baik. Sudah hafal dengan cara-cara mereka,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Hammam Izzuddin