Ditinggal Menikah Tak Pernah Jadi Perkara Mudah

Ditinggal menikah tak pernah jadi perkara mudah

Ditinggal menikah oleh seseorang yang dicintai bukan perkara mudah.  Kisah yang pernah dibangun bersama hanya menyisakan keluh kesah. Tentu, bagi pihak yang ditinggalkan.

Tak ayal jika banyak senandung lagu cinta tercipta dengan latar belakang ditinggal nikah. Lagu ‘Ditinggal Rabi’ yang dipopulerkan Nella Kharisma boleh dibilang salah satu yang fenomenal. Lirik “atiku rasane loro, nyawang koe rabi karo wong lio,” ketika dinyanyikan membuat hati mereka yang ditinggalkan makin nelangsa.

Saya tak paham betul bagaimana rasanya ditinggal menikah oleh kekasih atau mantan kekasih. Belum pernah mengalami. Namun bagaimana ditinggal menikah bisa mengubah seseorang, saya pahami tatkala berjumpa dengan lelaki bernama Prayit* (33), di sebuah kedai kopi utara Sleman tak jauh dari perbatasan dengan Magelang.

Jumat (23/03/2021) malam saya menunggunya di sudut kedai kopi, ia sempat menyapa tiga perempuan yang juga sedang menikmati malam. Nampaknya mereka pelanggan di kedai kopi tempat Prayit bekerja. Saya dengar sebuah nama disebut-sebut kencang diselingi tawa, Prayit nampak senang melayani pembicaraan itu. Sebelum akhirnya menyambangi tempat duduk saya.

“Maaf mas jadi nunggu, biasa itu cewek-cewek pada curhat ke saya,” ungkapnya membuka obrolan. Nada bicara Prayit terasa lembut dan sopan, barangkali inilah yang membuatnya mudah bergaul dengan banyak orang. Banyak perempuan. Dan meninggalkan banyak luka yang ia ceritakan panjang lebar kemudian.

****

Cinta masa SMP yang tak pernah ada kepastian

Cinta pertama kerap meninggalkan kesan manis. Penuh letupan-letupan emosi menggemaskan seorang remaja. Namun bagi Prayit, cinta pertama adalah yang paling pahit sekaligus membawa derita berkepanjangan.

Adalah gadis bernama Sri Asih* yang berhasil menaklukkan hati Prayit di awal masa SMP-nya. Tahun 2001 menjadi awal jalinan asmara keduanya. Sejatinya Prayit dan Sri merupakan teman dari kecil sekaligus tetangga satu desa.

Melalui surat-surat dengan kata-kata manis, keduanya saling mengutarakan perasaan. Diawali dari Sri, kemudian dimantapkan oleh Prayit dengan penuh keyakinan. Alhasil, jadilah mereka berdua menjalin hubungan yang kala itu dikatakan pacaran.

Alih-alih pacaran yang penuh hal menyenangkan dan kegiatan bersama, keduanya nyaris tak pernah menjalani hal serupa. Prayit merasa cukup bahagia dengan hanya saling mengirim surat meskipun Sri satu sekolah dan masih tetangga. Kalaupun bertemu, mereka tak banyak bicara, saling senyum dan mengobral pertanyaan-pertanyaan sederhana.

Itulah gambaran pacaran awal Prayit, seorang remaja kampung pada era di mana teknologi perpesanan belum secanggih sekarang. Jangankan chatting atau SMS, anak SMP kala itu bahkan belum mengenal ponsel.

“Masa sih Mas, pacaran gitu doang?” tanya saya menyela cerita Prayit.

“Lha gimana ya Mas, zaman dulu beda dengan sekarang. Ditambah kami itu lugu, berpegangan tangan saja takut hamil,” katanya. Mendengar penjelasan ini saya jelas tertawa terbahak-bahak. Namun bagian terpahitnya masih jauh dari kata sampai, Prayit meneruskan ceritanya.

Pola pacaran yang serba kaku itu berlanjut, dari kelas satu, dua, kemudian tiga SMP. Pada akhir masa bersekolah di salah satu SMP di Tempel, Sleman, barulah Prayit memahami apa itu sakit hati. Prayit kerap melihat Sri dekat dengan lelaki lain yang masih teman satu sekolahnya.

Photo by Leonardo Sanches on Unsplash

Namun, ia dengan gampangnya masih menyimpulkan bahwa Sri masih perpegang teguh pada perasaannya yang dulu. Mencintai Prayit. Dan akan terus begitu, meski tak ada konfirmasi yang jelas. Lebih tepatnya, tak dimintai kejelasan oleh Prayit.

Perasaan sakit dan goncangan jiwa remaja patah hati membuat Prayit mulai mengenal rokok. Kala itu rokok menjadi tempat pelampiasan dari perasaan yang tak karuan. Sampai ia lulus SMP dan melanjutkan ke SMA di kecamatan yang sama. Yang nahasnya, kembali satu sekolah dengan Sri.

Masa SMA tak berjalan lebih mudah bagi Prayit, usianya bertambah, namun ia masih tak punya keberanian untuk sekedar memastikan hubungannya dengan Sri. Jika dulu Sri sebatas dekat dengan lelaki lain, maka situasinya bertambah rumit kala gadis ini betul-betul menjalani status berpacaran dengan seorang lelaki, dan itu bukan Prayit.

Alih-alih berusaha memperjelas atau setidaknya mencari gandengan baru sebagaimana Sri melakukannya, Prayit lebih memilih pelampiasan lain. Jika dulu rokok, kali ini ia mulai bersentuhan dengan minuman keras. Hal yang kemudian membuat dirinya mulai hilang arah dan tujuan hidup.

Ditinggal menikah saat masih percaya cinta tak akan kemana

Prayit dan Sri lulus SMA di tahun 2007, keduanya sama-sama tak lanjut kuliah dan langsung bekerja. Selepas lulus, Prayit bekerja di berbagai bidang namun masih di Yogya. Mulai menjadi karyawan di rumah makan, buruh pabrik, hingga satpam. Sedangkan Sri, seingat Prayit, pernah merantau menjadi buruh pabrik di Tangerang. Kisah ini nampak usai, namun tak pernah betul-betul selesai di benak Prayit.

“Mas, masa sih gak pernah cari cewek lain pas SMA?” tanya saya.

“Ngelirik iya, tapi hati saya masih buat Sri, setiap hari lihat dia, dan itu bikin saya susah berpaling,” kata pria bertinggi sekitar 175 cm ini. Prayit menyandarkan tubuhnya ke pagar bambu di gazebo tempat kami duduk lesehan. Matanya sayu, sesekali memejam lama, dan kami akan melanjutkan kisah ke babak terberatnya.

Prayit mulai bekerja di pabrik alat pertanian pada tahun 2011. Kala mengadu nasib di pabrik yang terletak di Jalan Magelang ini, ia berkenalan dengan perempuan, dikenalkan oleh teman lebih tepatnya. Nama perempuan itu Sri Murni*, ada kemiripan dengan yang sebelumnya bukan? “Namamu mirip dengan mantanku, Dik,” katanya pada Murni.

Ada hal yang berubah pada hubungan ini dengan perempuan yang masih duduk di bangku SMA ini, Prayit yang sudah berusia 23 tak sungkan lagi untuk berlaku layaknya sepasang kekasih. Kencan, makan bersama, menghampiri ke sekolahnya yang terletak di Godean, dan berbagai hal lain yang tak ia lakukan dengan Sri.

Hubungan ini berjalan lancar di awal.  Namun kesibukan dan perbedaan  kehidupan yang dijalani, Murni sekolah dan Prayit bekerja penuh waktu, membuat komunikasi sedikit memudar. Berjalan setahun, dua tahun hubungan, komunikasi dan kabar jadi mulai jarang terdengar.

Lama-lama, hubungan ini menjadi mirip yang pernah terjadi sebelumnya antara Prayit dan Sri. Tanpa kepastian dan kejelasan. Murni jadi sulit dihubungi dan ditemui. Pikir Prayit, barangkali Murni sedang sibuk menjalani kehidupan akhir masa SMA yang penuh aktivitas ujian. Namun apa yang dipikiran Murni, tak ada yang mengetahui.

Hidup terus berjalan, Prayit pindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Berlabuhlah ia di sebuah pusat perbelanjaan elektronik, menjadi satpam. Berkenalan  dengan banyak orang baru, termasuk salah seorang karyawan bernama Naryo.

Ia berteman di sosial media dengan banyak karyawan di tempatnya bekerja. Dan dari sebuah unggahan foto, Prayit tahu bahwa Naryo masih kerabat Murni. Kala itu Prayit menanyakan pada Naryo, “Njenengan kenal Murni niki to Pak?”

“Iya ini masih saudaraku,” kata Naryo. “Itu dekat dengan saya Pak, pacaran, tapi sudah lama susah dihubungi,” sahut Prayit.

“Lho, ini bocahnya barusan nikah habis lulus SMA,” ucap Naryo. Ucapan yang membuatnya Prayit benar-benar terguncang.

Lagi-lagi, saya menyela cerita Prayit, “Mas, njenengan kok bisa ndak dikabari kalau nikah? Dulu sebenarnya sudah putus belum?”

“Saya orangnya percayaan Mas, saya percaya Murni. Dia susah dihubungi pun saya kira kita masih sepakat saling mencintai,” ungkap Prayit. Naif sekali, batin saya. “Terus bagaimana selanjutnya? Mas menghubungi Murni?” tanya saya. Prayit pun melanjutkan kisahnya.

Mendengar penjelasan dari Naryo, Prayit pasrah. Buat apa memastikan sesuatu ke Murni. Toh dia sudah jadi istri orang lain, pikirnya. Sakit hati jelas dirasakan Prayit, kali ini begitu dalam. Inilah kali pertama Prayit ditinggal menikah oleh orang yang ia kasihi.

Seperti sebelumnya, ia lampiaskan resahnya pada tegukan-tegukan minuman keras. Di jembatan Kali Code timur Tugu Yogya, ia kerap menghabiskan malam-malam yang muram dengan motol miras di tangan.

Cinta masa SMP yang kedaluwarsa

Di tengan keputusasaan, ia kembali memikirkan cinta lamanya. Sosok yang tak pernah benar-benar ia lupakan. Perempuan pertama yang membuatnya jatuh cinta dan patah hati, Sri. Namun Sri sudah bukan lagi Sri yang dulu dengan mudah bisa Prayit temui. Sri, sebagaimana Prayit, bekerja dari satu tempat ke tempat lain demi hidup yang tiada pasti.

Barulah pada 2014, setahun setelah ia menjadi satpam, sebuah kesempatan berjumpa dengan Sri terwujud. Kala itu, ia berbincang panjang, menanyakan kehidupan saat ini. Kesempatan itu tak disia-siakan oleh Prayit, kali ini ia harus bisa membuat kejelasan pada orang yang pernah dan masih ia cintai ini.

“Sri, dulu kita pernah pacaran pas SMP, aku bener-bener cinta sama kamu, kamu masih ada perasaankah ke aku?” tanya Prayit sungguh-sungguh. “Yit, dulu tu ya aku cuman mainan, kita masih bocah pas itu,” jawab Sri dengan ringan.

Jawaban ini selain tak mengenakkan hati, jelas membuat Prayit tak puas. “Terus dengan situasi saat ini, aku dan kamu, yang sudah berubah dan punya hidup masing-masing, mau gak kamu menjalani hidup bareng aku?” tekan Prayit.

“Kita ini udah dari kecil bareng, sekolah bareng, tetanggaan, sudah kaya gini saja lebih baik,” tukas Sri. Dan begitulah Prayit mendapatkan jawaban yang tertunda bertahun-tahun lamanya. Namun, tak memuaskan seperti yang diharapkannya.

Beberapa bulan setelahnya, Prayit dihadapkan pada situasi berat yang pernah ia alami sebelumnya. Namun, kali ini benar-benar harus ia hadapi tanpa bisa menghindar. Pernikahan Sri yang dihelat di kampungnya. Yang mau tak mau harus ia hadiri. Bukan saja karena diundang, tapi juga karena masih tetangga sendiri.

Jatuhlah Prayit pada jurang frustasi yang mendalam. Patah hati yang menumpuk tinggi. Dengan kondisi seperti ini, Prayit merasa butuh pelampiasan yang lebih lagi. Ia mulai mengonsumsi pil sapi (Trihexyphenidyl). Pil ini membuatnya senantiasa senang dan tegar untuk berdiri di depan sebagai satpam, meski hatinya sedang diporakporandakan kemalangan.

Kami berhenti setelah bagian ini. Sama-sama menyeruput kopi dan kembali menyalakan rokok yang entah batang keberapa. “Lalu Mas Prayit benar-benar begitu terus (minum miras dan ngepil) sampai berapa lama?” tanya saya.

“Sampai 2016 Mas, menghabiskan kontrak sebagai satpam, sampai akhirnya kerja di sini, di kedai kopi ini,” katanya sambil membenarkan ikatan rambut gondrongnya.

Jangan ragu meminta kepastian

Sejak bekerja di kedai kopi, Prayit mulai banyak memperbaiki diri. Bertemu dengan sosok pemilik usaha yang banyak memberikan pelajaran hidup baginya. Ia berhenti ngepil dan minum miras. Ia juga mulai sibuk beraktivitas di alam. Sebab di tempatnya saat ini, selain kedai kopi, ada pula paket outbond yang ditawarkan. Dan Prayit mulai sibuk dengan hal-hal baru, menjaga kedai dan mendampingi peserta kegiatan alam.

Namun, nyatanya belum usai kisah kandas dalam kehidupan Prayit. Prayit menyebut nama Rasya, nama yang saya dengar dari celotehan perempuan-perempuan yang dihampiri Prayit sebelum singgah ke tempat duduk saya. “Mereka memberikan kabar terbaru Rasya Mas, itu teman-teman Rasya yang pernah dekat dengan saya,” katanya. Prayit kembali meneruskan ceritanya.

Rasya adalah perempuan yang kerap berada di kedai kopi tempat Prayit bekerja. Kedekatan mereka terjadi secara natural saja. Prayit sebagai pria yang mudah bergaul dan pendengar yang baik, kerap dijadikan tempat curhat Rasya. Lambat laun, Prayit pun merasa nyaman. Kenyamanan itu kemudian tumbuh menjadi benih-benih suka yang dengan segera berusaha Prayit tahan. Sebab jauh di Jakarta, Rasya telah memiliki kekasih yang mapan dan siap meminangnya.

Kisah ini tak berlangsung lama. Namun beberapa teman Prayit yang juga mengenal Rasya, paham bahwa ia sempat memendam rasa pada perempuan yang telah punya kekasih itu. Dengan Rasya, Prayit tak berani beranjak lebih jauh, ketimbang berakhir dengan rasa sakit yang seperti sebelum-sebelumnya.

Tak berselang lama, Prayit kembali mendapat undangan. Hal yang sudah ia yakini akan datang dari Rasya.

Selepas bercerita, Prayit menunjukkan beberapa foto. Mulai dari foto Sri yang kini sudah bersuami seorang ASN dan kemudian foto Rasya. Ia berusaha mencari-cari foto Murni, namun saat dibuka kontaknya, nampak nomor Murni tidak tersambung WhatsApp. Barangkali sudah berganti nomor dan tak mengabari Prayit.

Prayit belajar banyak dari pengalaman dan kesalahan yang ia lakukan berulang-ulang hingga ditinggal menikah. “Jangan pernah ragu untuk memastikan Mas, tak bisa modal keyakinan doang. Saya menyesal begitu mudah percaya dengan seseorang. Perasaan yang ada di hatinya itu tidak ada yang tahu, kecuali kita pastikan sendiri,” jelasnya.

Ia tak sampai mengalami trauma menjalin hubungan. Namun sudah sungkan untuk mencari-cari. Kalau ada ya akan datang sendiri, katanya. “Tuhan sudah menetapkan semua, saya fokus memantaskan diri,” jelasnya dengan yakin.

Hubungan yang serius tak menjamin naik ke pelaminan

Photo by Scott Webb on Unsplash

Itulah kisah Prayit, seorang lelaki yang berulang kali patah hati sebab ditinggal menikah. Namun sejatinya urusan ditinggal menikah bukan hanya milik lelaki. Perempuan pun begitu. Dengan mudah kini bisa kita temui perempuan-perempuan yang mengekspresikan patah hati melalui lagu-lagu Didi Kempot, Nella Kharisma, serta penyanyi dangdut maupun campursari lainnya.

Seperti kisah yang saya dengar dari perempuan bernama Tya (23), lantunan lagu koplo bernuansa cidro menemaninya di hari-hari ketika ia ditinggal menikah sang mantan. “Seharian saya di kos dengerin lagu cidro-cidro, nangis terus dan gak punya tenaga untuk beraktivitas,” kenangnya.

Pernikahan mantan kekasihnya dilangsungkan di awal pandemi 2020 lalu. Situasi itu membuat prosesi sakral itu tanpa hajatan dan tak mengundang banyak orang. “Saya ingat itu awal-awal suasana lockdown, andai  diundang saya akan datang, kalau tak diundang dan tidak pandemi, saya tetap ingin datang,” katanya dengan nada sumbang.

Bagi Tya, hubungan yang pernah terjalin dengan sang mantan merupakan yang paling berkesan seumur hidupnya. Ikrar keseriusan dan ajakan untuk melangkah ke tahap pernikahan sudah pernah terjalin di antara mereka. Bahkan keduanya telah sama-sama mengenal masing-masing orang tua.

“Kita sih gak ada status pacaran, tapi masnya sudah menyampaikan itikadnya untuk serius. Saya ingat betul momen itu, dinner dengan meja tertata dan ada lilinnya, seperti di film-film itu lah,” tambah lulusan UGM ini.

Sang mantan berujar, kala memutuskan hubungan, bahwa ia tak bisa dengan situasi LDR yang kelak akan dijalani bersama Tya. Keduanya memang terpaut jarak, Jakarta dan Yogya. Namun Tya meyakini ada alasan lain yang menyebabkan hubungan keduanya kandas. “Saya tahu ada alasan lain, itu saya dengar dari cerita teman yang kenal dengan mantan saya,” ujarnya.

Hal itu sayangnya tak pernah dijelaskan langsung oleh si mantan, barangkali untuk menjaga perasaan Tya. Selepas pertemuan terakhir, tak pernah ada sedikitpun kabar yang disampaikan langsung, termasuk tentang rencana sang mantan mempersunting kekasih barunya. Justru kabar dan ucapan maaf disampaikan oleh ibu mantannya.

“Mbak, mohon maaf ya dulu anak saya pernah menyakiti hati. Semoga mbak bisa menemukan jodoh terbaiknya kelak,” jelas Tya menirukan pesan teks yang dari mantan calon mertuanya itu.

Sakit hati pernah betul-betul merasuki diri Tya. Namun kini ia bisa merasakan kebahagiaan ketika melihat sang mantan mengunggah momen kemesraan bersama istrinya. Di lain sisi, Tya pun merasa bersyukur karena momen itu telah melecutnya menyelesaikan studi dan menjadi perempuan yang lebih berdaya.

“Aku sekarang sudah bisa menjalin hubungan dengan orang baru. Tapi jelas, semakin hati-hati dengan embel-embel keseriusan. Sebagai perempuan yang pernah ditinggal menikah, aku termotivasi untuk jadi perempuan yang mapan dan tak terlalu bergantung dengan laki-laki. Aku layak untuk diperjuangkan,” tegasnya.

***

Dua orang yang saya temui merupakan sosok yang tegar. Prayit tak pernah lari dari undangan mendatangi hajatan menikah mantan. Tya pun demikian dengan caranya sendiri. Ditinggal menikah memang bukan perkara mudah. Grace Larson, peneliti dan mahasiswi doktoral Northwestern University, menjelaskan bahwa pengalaman putus cinta bisa memicu timbulnya stres bahkan depresi klinis. Kehilangan sumber afeksi secara fisik, intimasi, dan kepedulian yang timbal balik  jadi penyebab utama tekanan mental itu.

*)Nama-nama dalam artikel ini menggunakan samaran atas permintaan narasumber. Juga untuk menjaga kenyamanan pihak lain yang bersangkutan. Nama dua mantan prayit memang memiliki kemiripan, namun nama sesungguhnya bukan Sri.

BACA JUGA Seorang Ateis dari Keluarga Religius, Ingin Bersenang-senang dan Mati Muda dan liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version