Di Balik Kemudi Bus Eka ‘Belahan Jiwa’, Teman Para Pejuang Rupiah

Bus Eka "Belahan Jiwa" mojok.co

Bus Eka "Belahan Jiwa" (IG @dennyboy859)

Bus Eka “Belahan Jiwa” bukanlah sekedar nama. Ia meninggalkan kesan di mata penumpangnya. Tak sedikit para pejuang rupiah menitipkan mimpi dan harapan di atas roda-rodanya.

***

“Pak, nanti saya naik dari Pekalongan, ya?”

“Ya Mas, nanti kalau mau masuk Pemalang saya hubungi lagi ya.”

“Siap pak, nanti saya tunggu di pintu keluar tol Pekalongan, nggih? Maturnuwun.

Demikian percakapan saya dengan kru bus Eka “Belahan Jiwa” saat hendak naik busnya dari Pekalongan menuju Solo. Bus tersebut berangkat dari Bandung dengan tujuan akhir Surabaya.

Untuk diketahui, pemesanan tiket bus Eka rute tersebut masih bisa dilakukan secara konvensional, langsung menghubungi kru yang sedang bertugas atau agen resmi di masing-masing kota. Model ini tentu saja berbeda jika dibandingkan dengan pemesanan tiket pesawat atau kereta api yang dilakukan secara online.

Biasanya, bus Eka “Belahan Jiwa” akan tiba di Pekalongan sekitar pukul 20.30-21.30 WIB. Bus dengan ciri khas warna putih dengan livery perpaduan orange dan merah ini bisa dikatakan sebagai bus dua dunia: siang dan malam. Sebab, berangkat dari terminal pertama di Cimahi (Bandung) pukul 12.00 WIB dan tiba di Surabaya kurang lebih pukul 04.00 WIB esok harinya.

Rute membelah Jawa

Minggu (10/04/2022) pukul 21.15 WIB, setelah menunggu di exit tol Kota Pekalongan, bus Eka “Belahan Jiwa” akhirnya tiba juga. Saya langsung masuk dan duduk di kursi yang sudah ditunjukkan oleh kru. Posisinya berada di depan dekat dengan sang sopir.

Dalam perjalanannya, bus Eka “Belahan Jiwa” melewati berbagai kota yang terbentang dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur via jalur Pantai Utara (Pantura). Kota yang dilalui dari arah barat ke timur antara lain: Cimahi–Cicaheum–Cileunyi-Sumedang–Cirebon–Tegal–Pemalang–Pekalongan–Weleri (Kendal)–Semarang–Salatiga–Solo–Madiun–Surabaya dan sebaliknya kalau dari arah timur ke barat.

Tarif tiket dari Bandung–Surabaya atau sebaliknya dipatok dengan harga Rp240.000. Namun, jika naik di tengah perjalanan seperti saya maka akan dikenakan tarif Rp70.000. Tergantung dari kota mana Anda naik. Harga tadi belum termasuk uang makan. Jika ingin mendapatkan fasilitas makan, maka harus merogoh uang tambahan sebesar Rp15.000.

Sembari menikmati perjalanan, saya berbincang dengan sopir bus Eka “Belahan Jiwa” malam itu. Kebetulan saya kenal karena beberapa kali disopirinya. Ia adalah Denny Suwoto (43). Saya ngobrol dengannya perihal pengalaman saat sedang bertugas mengendalikan “Belahan Jiwa”. Saya biasa memanggilnya Mas Denny.

Dilihat dari penampilannya, Mas Denny terlihat masih muda. Gaya rambutnya saja two blocks. Tak kalah dengan artis K-Pop. Sebagai sopir bus, Mas Denny tergolong sopir “zaman now” karena aktif di media sosial, mulai dari Instagram hingga Tiktok.

Waktu menunjukkan pukul 01.00 dini hari. Bus melaju cukup kencang di jalan tol Salatiga–Kartasura. Sambil melihat lincahnya tangan Mas Denny memutar setir dan mendengar suara klakson yang bersahutan, saya membuka obrolan.

“Mulai belajar mengemudikan bus tahun 1999, Mas. Awalnya dulu otodidak. Ya, dulu saya dan kadang sama teman-teman itu meminjam bus lalu sedikit-sedikit saya coba kemudikan. Akhirnya karena sering berlatih, lama-lama bisa,” ucap Mas Denny mengawali kisahnya.

Setelah itu, lelaki asli Surabaya tersebut mulai mendapatkan pekerjaan sebagai sopir bus pariwisata. Dan tepat pada tahun 2012, Mas Denny bergabung dengan PO. Eka Mira Prima Sentosa sebagai sopir bus semi—artinya bisa sebagai sopir bus pariwisata atau bisa sopir reguler (penumpang).

Buat yang belum tahu, PO. Eka Mira Prima Sentosa adalah perusahaan otobus yang jadi pemain tetap untuk trayek dari kota-kota di Jawa menuju Surabaya. Perusahaan ini berbasis di Mojokerto dan mempunyai pool yang pusatnya ada di Sidoarjo.

Tiga tahun menjalani profesi sebagi sopir bus di PO. Eka Mira, pada tahun 2015, Mas Denny memutuskan istirahat sejenak. Ia ingin mencoba peruntungan menjadi mitra taksi online. Wajar saja, karena ia melirik pendapatan dan bonus yang besar ketika pertama kali taksi online marak beroperasi di Indonesia.

Namun, ia memilih untuk kembali bekerja kembali menjadi sopir bus Eka pada tahun 2019. Mulai saat itu, Mas Denny mulai sering mendapatkan tugas untuk bus reguler dibandingkan pariwisata. Puncaknya, Mas Denny mendapatkan prestasi sebagai salah satu sopir terpilih dalam Abdi Yasa Teladan tingkat nasional pada tahun 2020—sebuah penghargaan yang diinisiasi oleh Kementerian Perhubungan setiap tahunnya untuk para pengemudi transportasi umum.

Sopir pilihan

Trayek bus Eka rute Bandung-Surabaya lewat Pantura baru berjalan kurang lebih selama 1 tahun. Sebelum ini, Mas Denny menggawangi rute dari kota-kota di jalur selatan Jawa Tengah ke Surabaya. Seperti Cilacap, Purwokerto, Kebumen, Purworejo, dan Jogja.

Sebetulnya, ada dua bus asuhan PO. Eka Mira Sentosa di trayek jalur selatan menuju Surabaya. Dua bus tersebut adalah bus Eka dan Mira. Jika kalian sering melewati jalur Solo–Klaten-Jogja, maka kalian tidak akan asing dengan nama bus tersebut.

Perbedaannya, bus Eka menyediakan kelas non-ekonomi sedangkan bus Mira dikhususkan hanya untuk kelas ekonomi. Harga yang diberikan tentunya berbeda. Selain itu, konon kabarnya bus Mira lebih cepat sedangkan bus Eka lebih santai.

Denny Suwoto berpose di balik kemudinya. (IG @dennyboy859)

Kini, untuk memenuhi kebutuhan penumpang dan mengembangkan sayap perusahaan, jalur Bandung-Surabaya pun dioperasikan. Hal tersebut membuat Mas Denny menjadi salah satu sopir yang dialihkan untuk ‘dinas’ di jalur tersebut. Migrasi ini tidak hanya membawa diri Mas Denny saja. Namun juga armada andalannya “Belahan Jiwa”.

“Tidak tahu kenapa saya termasuk sopir yang ditugaskan untuk trayek Bandung-Surabaya ini. Saya ikut instruksi dari manajemen saja. Kurang tahu alasannya, yang jelas, tidak semua sopir mendapat kesempatan untuk beroperasi di trayek ini,” ucap Mas Denny.

Tentang ‘Belahan Jiwa’

Saya penasaran soal nama “Belahan Jiwa” yang disematkan kepada bus bermesin Hino RN 285 yang saya tumpangi malam itu. Dari mana asal nama itu? karena bus yang diberi julukan menurut saya adalah hal yang unik.

“Nama ‘Belahan Jiwa’ memang ide saya. Nama itu sudah ada sejak bus ini jalan di trayek Cilacap-Surabaya. Sebenarnya sih agar beda saja, jadi meninggalkan kesan di hati masyarakat,” ucap Mas Denny.

Ya, meninggalkan kesan di hati penumpangnya, seperti saya, yang mengandalkan bus ini sebagai teman dalam berjuang saat mencari nafkah. Saat harus bola-balik Pekalongan-Solo untuk menjemput rezeki, saya selalu mengandalkan bus ini.

Pun demikian juga dengan Warnoko (53), penumpang yang duduk di sebelah saya. Ia berasal dari Tegal dengan tujuan Surabaya untuk urusan pekerjaan. Ketika saya tanya apakah sering naik bus Eka, beliau mengiyakannya.

“Ya sering. Alasannya karena lebih cepat. Ada banyak pilihan bus sebetulnya, tapi banyak yang lama jalannya. Kalau bus ini cepat, pagi buta itu sudah sampai Surabaya. Jadi saya ada waktu untuk istirahat dan persiapan berangkat kerja,” terangnya.

Tagline ‘Cepat’ memang tertulis besar di depan kepala bus Eka “Belahan Jiwa”. Persona ini memang sering kita dengar. Ya, bus Eka dan Mira memang terkenal dengan karakteristik wus-wus di jalan.

Saingannya adalah bus dari Sumber Group macam Sugeng Rahayu yang dulu sempat ‘kondang’ dengan nama Sumber Kencana yang sama kencangnya. Bahkan, ketiga bus ini sempat terlibat kecelakaan di jalan raya Ngawi yang menyebabkan 11 orang terluka pada hari Selasa (17/04/2018) silam.

Tetapi jangan khawatir, demi keselamatan penumpang, bus-bus ini pastilah berbenah dari waktu ke waktu. Untuk bus Eka “Belahan Jiwa” khususnya, sudah dilengkapi dengan alarm pengingat untuk memperingatkan sopir agar laju bus tidak melebihi kecepatan 95 km/jam.

Aktif di media sosial

Seiring dengan kiprahnya di dunia transportasi umum. Bus Eka “Belahan Jiwa” ternyata mempunyai akun Instagram sendiri. Saat ini, akun tersebut mempunyai 1.946 pengikut.  Seakan tidak mau kalah, sang juru mudi, Mas Denny, juga turut aktif membuat berbagai macam konten di akun Instagramnya @dennyboy859.

Kedua akun Instagram di atas berisi seputar informasi perjalanan, foto bus dari berbagai sumber, dan video pendek kreatif. Saya lantas bertanya alasan kenapa aktif bersosial media. “Awalnya mengalir aja, Mas. Tidak ada maksud khusus. Tetapi lambat laun banyak yang follow dan suka. Ya, sudah saya teruskan saja,” jawab Mas Denny.

Aktifnya Mas Denny berbagi konten di media sosial secara tidak langsung membangun engagement antara kru bus dan penumpang. Hal ini seolah mematahkan anggapan bahwa bus dan sopirnya itu kaku dan tak mengikuti perkembangan zaman.

Mas Denny dengan “Belahan Jiwa”-nya bahkan pernah diliput oleh seorang trip vlogger kenamaan, Andriawan Pratikto, yang videonya kini sudah ditonton sebanyak 1 juta kali sampai detik ini.

Mas Denny mengakui bahwa salah satu musuh dalam pekerjaannya adalah rasa jenuh. Sharing momen di media sosial bisa jadi obat dari kepenatannya. “Jadi sopir kaya gini itu tidak hanya capek fisik saja. Tetapi juga capek pikiran. Berada di jalanan terus bisa membuat jenuh. Kalau dirasakan, capek pikiran itu malah lebih melelahkan,” ujarnya.

Di sisi lain, pekerjaannya ini juga tak jarang memberikan kebahagiaan. Salah satunya adalah ketika dirinya bisa mengunjungi tempat-tempat baru sekalian wisata. Lalu berkesempatan untuk mewakili perusahaan pada beberapa acara penting.

“Ya, alhamdulillah kemarin pas pandemi masih diberi kesempatan untuk jalan-jalan. Maksud saya masih diminta perusahaan untuk ke karoseri dan bawa bus,” imbuh Mas Denny.

Selain itu, tentu saja, kebahagiaan besar baginya adalah ketika bisa mengantarkan penumpang ke tempat tujuannya dengan selamat. Salah satunya adalah saya, pejuang rupiah yang diantarkan tepat waktu sampai tujuan.

Tidak terasa saya sudah sampai di Terminal Tirtonadi, Solo, pukul 01.30 WIB dinihari. Kedatangan bus Eka “Belahan Jiwa” malam itu memecah kesunyian di Terminal Tirtonadi. Rupanya bus ini sudah ditunggu para penumpang. Mereka berdiri dan menyambut sang “Belahan Jiwa”.

Reporter: Deddy Perdana Bakti
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Haji Tembakau: Pagi Macul di Sawah, Malam Macul di Langit dan liputan menarik lainnya di Susul.

Exit mobile version