Mahasiswa KIP asal Bangkalan Madura berbagi ceritanya yang hanya punya uang saku 50 ribu seminggu. Mahasiswa UNESA ini harus putar otak agar uangnya bisa cukup untuk seminggu.
***
Ketika saya dengar Mas Rohman berkata bahwa uang sakunya hanya 50 ribu per minggu (06/05/2024), saya tercengang dan menanyakan ulang. Dan, ya, benar, uang sakunya seminggu hanya 50 ribu.
Rohman (23) adalah mahasiswa UNESA asal Bangkalan Madura. Beliau berstatus sebagai pemegang KIP, dan itu sudah menjelaskan kenapa uang sakunya sedikit. Belakangan memang santer terdengar mahasiswa KIP gadungan yang aslinya kaya, tapi Mas Rohman bukan.
Rohman bercerita bagaimana dia bisa bertahan dengan uang saku yang sedikit itu. Baginya, uang saku itu cukup, meski memang harus berusaha dengan amat keras untuk berhemat. 25 ribu untuk bensin, 25 ribu untuk ngopi dan nugas. Bagaimanapun yang terjadi, itulah angka yang harus dia jaga.
Rohman sebenarnya juga merasa berat dengan uang saku ini. tapi untunglah dia diberi uang tambahan jika harus mengurus skripsi ke Surabaya. Kadang dia mendapat uang saku 100, itu pun masih tak cukup jika dia bisa tiga kali bolak-balik Bangkalan-Surabaya. Dia harus mengisi bensin sebesar 20 ribu rupiah jika harus PP Bangkalan-Surabaya. Lebih dari separuh uangnya sudah habis untuk bensin. Untuk keperluan lain, dia memilih untuk menahan diri.
“Pokoknya saya membatasi ke Surabaya maksimal 3 kali seminggu, Mas. Acara apa aja, kalau sudah keitung 4 kali, saya tolak, Mas.”
Rohman tak jarang kehabisan uang. Tak jarang juga dia kehabisan bensin, ban kempes, padahal masih di tengah perjalanan dan uang sudah menipis. Kalau sudah seperti itu, barulah dia minta tolong. Rohman mengaku, dia tak enakan orangnya, jadi dia meski tahu uangnya tak cukup, tetap berusaha ke Surabaya dengan apa yang dia punya. Misal adanya tinggal 20 ribu, ya sudah, berangkat. Dia hanya mau meminta bantuan saat benar-benar kepepet atau saat benar-benar tak bisa berusaha lagi.
Mahasiswa Bangkalan bergantung pada bantuan KIP
Untuk sekarang, Rohman melakukan apa yang dia bisa untuk menambal keuangan yang bolong sana-sini. Dia sempat mengajar TK. Kini, dia ikut Kampus Mengajar. Katanya lumayan untuk tambah uang saku, meski skripsinya jadi terbengkalai. Tapi itu semua baru bisa dia lakoni di semester 8. Selama tujuh semester sebelumnya, ya dia mau tak mau harus membatasi perjalanannya keluar dari Bangkalan.
Sebagai mahasiswa KIP, Rohman jelas bergantung pada bantuan yang pemerintah berikan. Saat KIP-nya cair itulah, dia merasa bisa lebih produktif dan tidak kebingungan dalam perkara keuangan. Dikutip dari Puslabdik Kemendikbud, bantuan untuk mahasiswa dengan skema KIP Kuliah Merdeka besarannya lumayan, dan tergantung dari klaster daerah. Bantuan terendah berkisar di angka 800 ribu hingga 1.4 juta rupiah.
Angkanya lumayan, tapi tak berarti menghilangkan rasa-rasa tak menyenangkan di hati Rohman.
Baca halaman selanjutnya
Berandai-andai
Berandai-andai punya kehidupan yang lebih baik selalu terlintas di kepala Rohman. Mahasiswa asal Bangkalan Madura ini kerap berandai-andai punya keuangan yang lebih baik, dia bisa punya banyak pilihan dalam hidup. Jika kondisi keuangannya sekarang saja dia bisa kuliah di UNESA, apalagi kalau lebih baik. Pasti dia bisa tembus UNAIR atau kuliah di top 10 universitas terbaik di Indonesia.
Tapi bukan berarti Rohman menderita, hanya saja, dia mengaku kecewa dengan hidup.
“Mungkin yang menderita orang tuaku sih, Mas. Bapak saya rombeng. Dia kan kalo keliling cari rongsokan itu ke perumahan-perumahan orang cina ya mas. Dan sering banget denger cerita dari orang cina kalo anak2 mereka tuh kuliah di UNAIR, ITS, atau UGM. Makanya ortuku tuh juga cukup semangat biayain saya sekolah.”
Rohman mengaku, Bapaknya masih belum move on dari kampus top, salah satunya UNAIR. Padahal Rohman, mahasiswa asal Bangkalan ini tahu betul, keuangan keluarganya tak mampu.
“Bayar SPP SMK saya sebesar 100 ribu per bulan aja usahanya mati-matian, Mas.”
Menerima takdir, meski kecewa pada hidup
Kehidupan, semengerikan apa pun, harus diterima. Hidup harus tetap berjalan, apa pun yang terjadi.
Rohman, mahasiswa UNESA asal Bangkalan Madura ini, menerima takdir, sekalipun kecewa dengan hidup. Lahir dari keluarga miskin juga bukan kesalahan. Besar dari keluarga yang harus mati-matian dari segala hal (ekonomi dan pendidikan) itu lebih menantang, baginya. Setidaknya, dia nantinya bisa mengapresiasi apa pun yang telah capai, karena dia memulainya benar-benar dari nol.
Pengalaman hidupnya yang harus memutar otak bagaimana bisa cukup dengan uang 50 ribu seminggu bikin dia paham, untuk bersyukur, tak melulu melihat ke atas. Sebab, dia mengaku, banyak yang tak seberuntung dirinya. Ada yang tenggelam lebih dalam ketimbang dirinya, ada yang tak melihat cahaya matahari sebanyak dirinya.
Rohman berharap apa yang dia alami bisa jadi perhatian untuk pemerintah. Dia berharap agar program pemerintah bisa diakses kaum-kaum menengah tak sampai seperti dirinya. Kajian tak melulu ke atas, tapi juga perlu liat di bawah. Sebab, nyatanya, banyak yang tak punya akses.
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.