Mbah Wahadi (79), setiap hari mengayuh sepeda belasan kilometer di Yogyakarta, menjajakan Burger Dinar. Pemilik usaha burger sampai membatalkan rencana menutup usahanya karena sosok Mbah yang jualan burger sejak 2004.
***
Bukan usaha milik Mbah Wahadi
Kisah Mbah Wahadi yang jualan burger keliling menggunakan sepeda di Yogyakarta mungkin sudah banyak diketahui oleh banyak orang. Namun, tidak banyak yang tahu, siapa sosok di balik usaha Burger Dinar yang dijajakan oleh Mbah Wahadi dengan sepedanya.
Mojok, berjumpa dengan drg Dian Nirmalasari, pemilik Burger Dinar dimana Mbah Wahadi bekerja. Ada beberapa cerita menarik dari drg Dian tentang sosok Mbah Wahadi. Termasuk saat ia tidak jadi menutup usaha burgernya di tahun 2011, demi Mbah Wahadi.
Namun, sebelum saya menceritakan bagaimana drg Dian dan Burger Dinarnya, saya akan menceritakan sosok Mbah Wahadi. Masih ingat betul, pertama kali bertemu Mbah Wahadi waktu saya masih menginjak semester awal di perkuliahan, sekitar 4-5 tahun yang lalu. Siang itu, saya cukup buru-buru untuk pulang ke rumah karena pagi tadi belum sempat mandi. Alasannya klise; kesiangan. Saya keluar kampus melalui gerbang utara Kehutanan UGM, di dekat bunderan kecil sebelah timur Sentra Gudeg Kocoran, Caturtunggal, Sleman.
Saya bertemu seorang kakek berpostur bungkuk duduk di samping sepeda yang sudah dirombak sebagai gerobak roda tiga berwarna kuning agak kusam. Terdapat sebuah kotak kaca penyimpan roti dan kompor kecil dengan satu teflon panggang. Pada bagian depan terdapat tulisan besar namun sudah pudar, “Burger Dinar”.
Saya mendekati kakek itu, ia memakai topi untuk melindungi kulit keriputnya dari sinar matahari yang terik. “Mbah, berapaan?” ucapan saya membuat kakek tua itu cukup terkejut, lalu dengan sigap langsung berdiri.
Ia tersenyum ramah, “Tujuh ribu aja,” balasnya.
Saya memesan satu porsi. Melihat makanan ini, saya langsung teringat jajanan favorit saya saat masih berseragam putih merah. Dulu, harganya masih tiga ribu. Bahkan bisa memesan seribu atau dua ribu dengan konsekuensi pengurangan jatah beef patty. Kadang cuma dapat setengah, atau bahkan seperempat. Nggak papa, bagi anak SD: yang penting bisa makan burger.
Entah sudah berapa lama saya tidak bertemu dengan penjual langganan saya dulu, tapi bertemu dengan Burger Dinar di depan kampus ini membuat saya senang. Akhirnya bisa nostalgia.
“Mbah namanya Mbah Dinar?” ucap saya di sela-sela suara percikan mentega yang mulai dipanaskan di atas kompor.
“Bukan, Dinar itu dari toko rotinya juragan. Saya Wahadi,” ia tersenyum sambil terus fokus membuat pesanan saya. Tangan tua nya masih telaten mengiris tipis timun dan tomat, walau terkadang meleset menjadi irisan agak tebal. Tak lama bagi Mbah Wahadi untuk selesai membuat satu burger yang agak gosong dengan banyak mentega, sesuai permintaan saya.
Setelah pertemuan pertama itu, beberapa kali saya membeli burger Mbah Wahadi di tempat yang sama. Atau kadang-kadang saya bertemu di sekitar Jl. Persatuan saat malam hari. Selang beberapa bulan, saya jadi jarang bertemu dengan Mbah Wahadi lagi.
Namun, suatu saat tiba-tiba saya melihat lagi burger ini. Bukan di tempat biasa, melainkan di Instagram. Wah, ternyata Burger Dinar mulai viral! Banyak akun-akun promosi makanan yang mengunggah dagangan Mbah Wahadi. Dan dengar-dengar, saat itu ia sudah pindah berkeliling di daerah Seturan dan Condongcatur. Yah, panteslah jarang ketemu.
Walau sudah tidak sesering dulu saya melihat postingan foto burgernya di sosial media, burger ini masih eksis. Akhir Agustus lalu, saya bertemu lagi dengan Mbah Wahadi di Jl. Kaliurang Km 6,2, lokasinya persis di depan Superindo Jakal.
“Mbah, berapaan?” ucap saya
“Sembilan ribu tanpa telur, kalau pake telur dua belas ribu aja,” jawabnya. Suaranya sudah tak sejelas dulu, agak serak.
“Wah sekarang ada yang pake telur ya, Mbah?” saya bertanya lagi. Seinget saya, dulu belum ada varian ini.
Mbah Wahadi tertawa kecil. “Iya, udah lama ini. Banyak yang minta,” Wah, berarti sudah lama sekali saya tidak jajan Burger Dinar ini!
Rahasia stamina roso Mbah Wahadi
Banyak yang menanyakan mengapa Mbah Wahadi sampai sekarang masih mau berjualan. Bahkan tak sedikitpun yang dibuat heran, memang kemana keluarganya?
Mbah Wahadi tertawa, “Saya punya anak tiga, ada yang kerja di toko sama narik ojek online,” ucapnya. Istrinya pun memiliki toko suvenir wayang yang ada di dekat rumah. Dulu sempat ramai. Namun, selama pandemi toko menjadi sepi. Barang dagangan pun tak banyak di stok karena takut rusak jika disimpan terlalu lama.
Tempat tinggal Mbah Wahadi sebenarnya ada di Bantul, dekat Makam Raja-Raja di Imogiri. Tapi beberapa tahun belakangan ini ia sudah pindah ke daerah Sleman atas. Alasannya, supaya dekat sama tempatnya biasa mengambil roti untuk burger.
“Waktu masih di Imogiri, jam 11 malem mangkal di Tugu. Jam 1 di Titik Nol, baru ke Alun-alun karena masih rame. Nah, jam 5 pagi itu baru pulang ke Imogiri lewat Jalan Bantul,” cerita Mbah Wahadi, tangannya lincah membalik roti pesanan orang agar tidak gosong. Lalu menoleh ke saya.
“Capek banget, Mbak. Seharian langsung tidur, besok kerja lagi,” ia tertawa, menampilkan gigi- giginya yang sudah ompong. Kalau sekarang, ia hanya libur di hari Minggu saja.
Setiap dua minggu sekali, kakek penyuka buah sawo ini juga menyempatkan diri untuk pulang ke Bantul menjenguk keluarga.
Tahun 2018, Mbah Wahadi pernah kecelakaan ditabrak motor dari belakang yang saat itu sedang melaju kencang. Lukanya cukup parah, sempat patah tulang di bagian iga. Beberapa hari pun ia rawat inap di rumah sakit yang ada di Kabupaten Bantul. Bersyukurnya, seluruh tanggungan pengobatan pada saat itu ditanggung oleh si penabrak dan donatur.
“Sekarang udah sehat. Cuma batuk-batuk aja, udah tua,” Mbah Wahadi tertawa renyah, tiba- tiba berhenti dan batuk-batuk sedikit, keselek katanya.
Mbah Wahadi mengungkapkan alasannya mengapa di usianya yang sudah tua masih jualan. “Lha saya ini seneng jualan. Kalau disuruh di rumah aja malah stress. Kan sekalian olahraga, to?” katanya tertawa kecil.
Kakek di hadapan saya ini sebenarnya bisa-bisa saja berdiam di rumah. Tapi, ia tak mau. Bosan, katanya. Selagi bisa bekerja, pasti ia tetap akan bekerja. Sampai kapannya pun, ia tak tahu. “Semua rahasia illahi,” katanya.
“Lagian kalo capek tinggal ke apotek, beli minyak gosok. Kalau nggak ya beli hot cream, lima belas ribu bisa habis sebulan,” jawab Mbah Wahadi tertawa sambil memberi plastik burger yang saya pesan. Kakek ini malah tak terlalu suka datang ke tukang pijet, katanya buang-buang waktu. Kalau pake minyak kan tinggal oles lalu tidur, besoknya rasa pegal sudah hilang.
“Kalau jamu, Mbah?” saya bertanya lagi.
“Walah! Saya malah nggak suka jamu. Kurang mantep. Dulu pernah pendarahan karena keseringan minum jamu,” ujarnya. Tiba-tiba ia jongkok, mengambil sesuatu dari laci gerobaknya. Rupanya satu buah botol berisi the yang tinggal seperempat.
“Yang penting banyak minum air putih dan saya setiap hari pasti sangu dua botol teh dari rumah. Teh tubruk, bukan celup, loh ya!” ujarnya.
Bagi Mbah Wahadi, segalanya tidak terlalu dipikir berat. Ia sedari dulu memang terbiasa bersepeda ataupun jalan jauh. Semasa muda, ia suka pergi keliling luar kota. Biasanya ia pergi ke Demak, mencari rongsokan besi untuk dijual. Sekaligus jalan-jalan buat lihat masjid. Lumayan, zaman dulu harga rongsokan besi ini mahal karena di Jogja jarang ada.
Kalau sekarang usianya sudah tua, pasti akan cepat capek. Tapi, kalau capek ya tinggal istirahat. Kalau sakit ya diobati. “Gitu kok repot,” katanya. Sama seperti pandemi yang tak kunjung usai ini membuat pendapatannya menurun. Pernah suatu hari, ia hanya berhasil mendapat uang Rp40 ribu saja dalam sehari.
“Ya gimana nggak turun, semua pembeliku disuruh di rumah aja, kok!” begitulah gerutuan Mbah Wahadi kepada saya. Selama ini, pembelinya memang didominasi oleh para mahasiswa yang hobi jajan. Sekarang, mahasiswa banyak yang pulang kampung.
Sepi, akhirnya kerkeliling lagi menjajakan burger
Seharusnya, setelah pulih dari kecelakaan, Mbah Wahadi tak berkeliling kota seperti sedia kala. Melainkan hanya mangkal di depan Superindo Jakal dari jam 11.00- 16.00 WIB. Katanya, ingat umur dan gampang capek.
Awal tahun ini, tepatnya 4 Januari 2022, setelah 3 bulan praktik lapangn di Sumatra, saya ingin merampungkan tulisan tentang Mbah Wahadi. Saya bergegas ke Superindo, Jalan Kaliurang. Namun, sosoknya tak saya temukan.
Baru di hari berikutnya saya tidak sengaja bertemu dengannya di sekitaran Terminal Condongcatur. Ia masih mengayuh sepedanya di pinggir dengan hati-hati dan pelan.
“Mbah!” panggilan saya membuat Mbah Wahadi menoleh, lalu berhenti.
“Lha kok keliling lagi e, Mbah? Kemarin saya cari di Jakal nggak ada,” ucap saya.
“Lha wong sepi, mosok ning kono terus,” kata Mbah Wahadi tertawa.
Sudah beberapa hari semenjak awal tahun ini, ia memaksakan diri untuk berkeliling lagi. Paling- paling di sekitaran Condongcatur-Gejayan- Selokan Mataram- barulah kembali pulang melewati Jl. Kaliurang.
“Tapi sekarang udah mau habis, tinggal dua,” ucapnya menghibur diri. Padahal di dalam lemari kacanya, masih ada dua plastik penuh berisi roti burger yang tersisa.
Naik-Turun Telah Ia Rasakan, tapi Tetap Setia membuat Burger
Mbah Wahadi, satu-satunya penjual Burger Dinar keliling yang tersisa
Penasaran dengan siapa orang yang punya Burger Dinar dan mengapa masih mempekerjakan Mbah Wahadi, saya pergi ke Jalan Kaliurang Km 12. Tempat outlet Burger Dinar berada.
Banyak orang yang mengenal Mbah Wahadi sebagai Mbah Dinar. Tapi sebenarnya, nama Dinar berasal dari pemiliknya. Sekitar tujuh belas tahun yang lalu, Burger Dinar mulai dirintis oleh seorang dokter gigi, namanya Dian Nirmalasari (50). Yogya bukanlah kota kelahiran Burger Dinar, melainkan Magelang. Baru setelah beberapa bulan, Dian memutuskan untuk meluaskan pasar ke Yogya.
“Di Magelang pernah punya outlet, tiba-tiba sepi. Ternyata ada pesaing yang keliling, yaudah saya nyediain gerobak untuk keliling,” ucap Dian Rabu (5/12/2021) saat ditemui di tempat praktiknya yang bersebelahan dengan outlet Burger Dinar, Jl. Kaliurang Km 12.
Keputusan itu menjadi keputusan yang tepat bagi Dian, ia sempat memiliki 25 orang penjual keliling yang menjajakan Burger Dinar setiap hari di beberapa kota, 13 penjual diantaranya berada di Yogya.
Sayang, saat ini hanya tersisa satu orang penjual keliling Burger Dinar, yaitu Mbah Wahadi. Bahkan tahun 2011, Dian berniat untuk menghentikan bisnisnya karena suatu hal.
“Udah mau tutup, tapi karena Mbah Wahadi nggak mau berhenti, yaudah. Saya tetep bikinkan burger aja, sekalian bikin satu outlet di Jakal ini,” kata Dian.
Dian mengaku, kegigihan Mbah Wahadi ini membuatnya salut, walaupun terkadang gemas. Ia ingat, setelah kecelakaan itu, Dian menjenguk Mbah Wahadi yang masih dirawat di rumah sakit.
“Ha niki lho, Bu. Mbah Wahadi langsung pengen dodolan meneh, mbenjang,” ucap istri Mbah Wahadi ketika Dian baru saja membuka pintu ruangan.
“Mboten mbenjang to, mbah. Sembuh dulu,” jawab Dian waktu itu sambil terheran-heran. Mbah Wahadi hanya cengar-cengir di atas tempat tidur.
Selang beberapa bulan, Mbah Wahadi tak terlihat lagi. Dian berpikir, mungkin ia ingin berhenti dan istirahat di masa tuanya. “Tapi tiba-tiba, 3-6 bulan ya…Simbah telepon saya, katanya mau jualan lagi,” aku Dian.
Kakek yang lahir di bulan Agustus itu sempat bercerita pada Dian, ia tetap ingin bekerja. Tak mau berdiam diri saja dan menyusahkan keluarga hanya untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Walaupun sempat mendapat donasi setelah kecelakaan, uang tersebut ia jadikan tabungan untuk kebutuhan-kebutuhan di masa depan nanti.
Reporter : Rahma Ayu Nabila
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Seporsi Sego Godog Pak Pethel untuk Mengusir Masuk Angin dan liputan menarik lainnya di Susul.