Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) sering diplesetkan sebagai Universitas Anak Jutawan Yogyakarta. Ini tak lepas dari stereotip mahasiswa yang kuliah di sini merupakan anak-anaknya orang kaya. Padahal nggak juga.
***
David tak henti menyeka keringatnya sembari sesekali menggerutu karena paket Shopee Express yang hendak ia antarkan ternyata salah alamat. Akibatnya David harus berbalik arah dan kembali bertarung dalam perjalanan di teriknya Kota Yogyakarta.
David Agusta (23) adalah mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta yang memilih untuk bekerja sampingan sebagai driver Shopee Food. Saya menemuinya di sela-sela pekerjaannya.
Sejak menetapkan diri berkuliah di UAJY, cap ‘kaya raya’ sudah menempel pada David, mengingat biaya masuk ke universitas tersebut memanglah tidak sedikit.
Acap kali diplesetkan sebagai Universitas Anak Jutawan Yogyakarta, stigma negatif seperti manja dan hedon pun tak jarang ditujukan pada mahasiswa yang berkuliah di sana.
Saya pun sebagai mahasiswa UAJY sering mendengar stereotip seperti itu. Padahal nggak sepenuhnya benar. Yang jelas, mahasiswa di perguruan tinggi swasta terbaik ke-3 di Indonesia versi Scimago Institutions Rankings sangat beragam latar belakangnya.
Selama saya berkuliah di UAJY, yang saya temukan justru sangat berbeda dengan omongan orang-orang di luar sana.
Soal gaya hidup, memang betul, tidak sedikit mahasiswa-mahasiswinya yang bergaya hidup hedon, menggunakan outfit mahal kemana-mana, atau ada juga setiap libur semester bepergian ke luar negeri.
Tapi berdasarkan pengalaman saya, justru lebih banyak mahasiswa maupun mahasiswinya yang bergaya hidup biasa-biasa saja. Sama seperti kebanyakan mahasiswa di Jogja yang makan di warmindo, nongkrong di angkringan, dan jajan di Alun-alun Selatan.
Mahasiswa yang tak mau menuruti gengsi
Tidak sedikit pula mahasiswa UAJY yang punya kerja sampingan untuk membayar kuliahnya atau sekadar untuk tambahan uang jajan. Paling banyak yang saya tahu adalah kerja sampingan jadi barista. Selain karena mendapatkan gaji tetap, juga bisa terlihat keren ketika mampu membuat latte art.
David Agusta yang saya temui, termasuk mahasiswa yang nyambi kerja. Ia memilih kerja sebagai driver Shopee Food sejak tahun 2021. Alasannya, ia membutuhkan uang tambahan untuk keperluan pribadi tetapi tidak enak kalau harus meminta terus ke orang tua.
Ayah David bekerja sebagai personal trainer di sebuah gym di Jogja. Sedangkan ibunya karyawan rumah sakit swasta di Jogja.
Cerita David menjadi sanggahan bagi stigma yang ada, ia tak sungkan-sungkan untuk mencari rezeki di jalanan. Meski mengaku sedikit malu di awal, tapi David tak berhenti begitu saja. Baginya, menjadi produktif dan menghasilkan uang di usianya yang sekarang lebih baik ketimbang menuruti gengsi tapi tidak menghasilkan apa-apa.
“Bosen karena pandemi juga jadi salah satu faktor aku daftar shopee sih. Awalnya kan pengen punya sampingan tapi bingung kerja apa. Nah pas itu Shopee Food Jogja masih baru buka, jadi aku coba daftar,” ucap David menjelaskan alasan lain mengapa ia memilih menyambi bekerja.
Dukungan penuh orang tua
Apabila melihat lebih dalam lagi mengenai kampus UAJY, maka dapat ditemukan banyak sekali mahasiswanya yang memilih untuk bekerja sambil kuliah.
Meltinda Amara (22) adalah salah satu mahasiswi yang juga memilih kuliah sembari bekerja dengan membuka bisnis sendiri. Ia merupakan mahasiswi asal Pontianak, Kalimantan Barat.
Meltinda mulai merintis bisnis kecil-kecilannya sejak tahun 2020 dengan berjualan minuman boba. Namun, sejak awal tahun ini, ia berganti menjual berbagai macam cemilan.
Sama dengan David, Meltinda mengaku bekerja sembari kuliah untuk memenuhi kebutuhan pribadi karena takut merepotkan orang tua apabila meminta uang terus menerus.
Dukungan penuh dari orang tua juga menjadikan Meltinda semakin percaya diri untuk menjalankan bisnisnya sendiri.
“Orang tua tau-tau aja sih, sejauh ini mereka support apapun yang aku mau, jadi gapapa, asal kuliahnya lancar,” jelas Meltinda yang orang tuanya bekerja sebagai PNS.
Penghasilan dari keringat sendiri
Terkait keuntungan yang didapat, David tidak menyebutkan nominal persisnya karena pendapatan yang tidak menentu, tergantung dari orderan yang ia terima pada hari itu.
Berdasarkan pengalamannya, ia pernah mendapatkan 17-18 orderan dalam sehari apabila sedang berada pada peak hours traffic.
“Kalau pas rame orderan tuh gacor banget orderannya, bisa nyambung terus, misal habis nganterin makanan di daerah Jakal terus nyantol resto deket sana, terus nganterin ke Maguwo langsung nyantol lagi resto deket sana. Jadi nggak perlu nunggu di resto yang biasanya buat nunggu gitu,” terangnya.
Sedangkan waktu paling sepi menurutnya adalah ketika perkuliahan sedang libur semester. Dirinya seringkali mendapat sedikit orderan, bahkan tak jarang tidak mendapat orderan sama sekali dalam sehari.
“Dulu pas liburan mahasiswa itu sepi banget, soalnya customer sebagian besar tuh dari mahasiswa, jadi kalo mahasiswa se-Jogja banyak yang libur tuh jadi sepi orderan,” ujar David.
Jualan yang lagi viral
Sedikit berbeda dengan David, Meltinda menyebutkan keuntungan bersih yang ia dapat adalah kisaran 1 juta rupiah per hari untuk minuman boba saat ia jual pada tahun 2020 lalu.
Untuk bisnis cemilannya saat ini, ia bisa meraup keuntungan bersih dari mulai 500 ribu rupiah sampai 1 juta rupiah per harinya, tergantung dari seberapa ramai pembeli pada hari itu.
Alasannya memilih bisnis tersebut pun sederhana, jadi dengan membaca pasar yang ada, maka ia membuat bisnis yang sesuai dengan pasar tersebut.
“Alasan milih bisnis ini soalnya paling gampang di-upgrade dan bisa ngikutin zaman gitu loh. Jadi jual apa aja yang lagi viral, kalau udah gak viral, ya udah nanti ganti lagi,” ujar Meltinda yang kini selain buka usaha di Jogja juga buka di Pontianak.
Meltinda juga mengaku tidak malu untuk berkuliah sembari bekerja kendati kampusnya memiliki cap ‘elite’ di kalangan mahasiswa.
“Gak malu sih, aku juga gak jualan di kampus, pasarku di daerahku kan, jadi ya udah deh. Lagian kita usaha ini, jadi gak perlu gengsi juga kalau mau sukses,” jelasnya.
Dari penghasilan tersebut, David dan Meltinda sama-sama menggunakan uangnya untuk keperluan pribadi. Sedangkan untuk keperluan kuliah seperti uang kuliah tunggal (UKT) masih orang tuanya yang membiayai.
Meski begitu, David menyatakan bahwa dirinya pernah membantu orang tuanya dalam membayar SPP (sumbangan pembinaan pendidikan) dengan uang hasil dari pekerjaannya tersebut.
“Pernah waktu itu aku nambahin pake uangku sendiri buat tambahan bayar SPP tetap, tapi tetep sebagian besar masih ortu yang bayarin,” ujarnya.