Dua orang meninggal gantung diri. Beberapa pasang pasutri cerai karena masalah ekonomi. Jual tanah buat bayar utang, sudah jadi hal yang tak tabu lagi. Parahnya, rangkaian peristiwa ini terjadi hanya dalam waktu enam bulan. Penyebabnya, judi online (judol) slot yang terus memakan korban masyarakat perdesaan.
***
Libur lebaran kemarin seakan menjadi penyadaran bagi saya. Slot, judol yang makin digandrungi masyarakat perkotaan, juga menular di tempat kelahiran saya–sebuah desa kecil di sisi selatan Kabupaten Wonogiri.
Kalau biasanya saya menyaksikan muda-mudi Jogja, para mahasiswa, memutar mesin slot mereka di coffee shop, kampus, atau “tongkrongan skena” lain; kemarin saya menyaksikannya di pinggir sawah, pos ronda, bahkan di rumah warga yang tengah menggelar tahlilan.
Tak cuma tidak mengenal tempat, muda-mudi di desa memainkan slot juga tak mengenal waktu. Sepulang kerja, di sela-sela kegiatan mencari rumput di sawah atau kebun, bahkan di sepertiga malam menjelang waktu Salat Subuh.
“Biar berkah,” kata Petruk, bukan nama sebenarnya, warga desa di Wonogiri yang baru mengenal slot setahun kebelakang tapi rasa cintanya sudah nggak ketulungan.
“Jelang subuh begini malaikat gampang mengabulkan doa-doa,” imbuhnya, sambil terus menatap gawainya, berharap Tuhan memudahkan langkahnya mengais duit-duit panas dari Dewa Zeus. Ironis sekali.
Siapa yang membawa “budaya” slot ke desa?
“Lima puluh ribu lagi dong,” ucap Petruk kepada saya. Itu adalah kali keempat ia meminta transfer uang Rp50 ribu malam itu. Dalam sekejap, uang-uang yang saya transfer kepadanya raib oleh mesin slot di gawainya.
“Janji. Ini yang terakhir.” Saya menolak dengan alasan tak memiliki cukup saldo lagi untuk dipinjamkan kepadanya. Saya pikir dia akan berhenti. Namun, ia malah menghubungi orang lain untuk meminjam uang.
Tindakan Petruk itu mengherankan saya. Bagaimana tidak, enam bulan lalu–terakhir kami bertemu–ia masih menjadi “mas-mas biasa”: pagi kerja, sore mencari pakan ternak, malam ngumpul bareng teman atau keluarga. Ideal.
Namun, di malam kemarin, saya tak melihat karakter lama dari lelaki yang bekerja di kantor pemerintahan desa itu. Petruk, yang selama ini saya anggap sebagai orang paling kritis, berilmu, dan cakap di desa, nyatanya kalah juga oleh pengaruh slot.

Mojok sendiri telah banyak menuliskan soal cerita-cerita orang kota, terutama di Jogja, yang hidupnya hancur karena judol. Kalian bisa baca di sini. Namun, yang membuat saya kaget, tokoh di desa yang boleh dibilang “patron pemuda karang taruna” pun malah ikut menggali kuburnya sendiri.
Yang bikin lebih heran lagi, dari mana budaya ngeslot ini masuk? Sebab, desa saya ini cukup pelosok–butuh waktu 30 menit menuju jalan besar kecamatan. Sampai ada guyonan: Jogja sudah 2025, desa kami masih terjebak di 2020.
Karang Taruna isinya sekumpulan pecandu slot
Saya pun berbincang dengan Pujantoko (38), kepala desa di tempat kami. Dia satu dari sedikit orang yang juga kesal dengan budaya ngeslot pemuda desa. Sayangnya, berbagai upaya yang dia lakukan malah mental. Mulai dari cara baik-baik, sampai yang sedikit keras.
“Di pendopo (kantor pemerintahan desa) ada WiFi 24 jam nyala, biasa buat nongkrong anak muda sekaligus ronda. Tapi sejak WiFi itu dibuat ngeslot, saya matikan, hanya menyala di jam kerja saja,” ujarnya ketika berbincang dengan saya, Jumat (4/4/2025).
“Niatnya biar mereka berhenti ngeslot. Tapi yang namanya sudah kecanduan, pasti tak kurang akal buat main,” imbuhnya.
Baca halaman selanjutnya…
Rapat ngeslot. Kerja bakti ngeslot. Tahlilan pun tetap ngeslot.
Alhasil, Pujantoko pun menyerah. Ia pun mulai permisif dengan perilaku pemuda desa yang doyan judol. Dengan catatan: tahu tempat dan tahu waktu.
“Maksudnya kalau lagi kumpulan pemuda, mbok ditahan dulu ngeslotnya. Atau kalau lagi kerja bakti, fokus kerja dulu, ngeslotnya nanti.”
Namun, apa daya, budaya slot sudah telanjur menjadi candu. Pemuda desa yang memainkan gawai dengan muka cemas, diikuti suara spin yang khas, terjadi di mana-mana. Di pos ronda, masjid, kebun, bahkan pabrik.
“Karang Taruna isinya pecandu slot,” ujarnya. “Kemarin, di acara tahlil; di dalam rumah orang-orang melantunkan ayat suci, sementara yang di luar pada sibuk ngeslot.”
Apa yang sebenarnya mereka buru?
Baik saya maupun Pujantoko sama-sama heran dan tak menemukan jawaban soal pertanyaan: “apa yang sebenarnya mereka buru?”. Sebab, jika dijawab: “memburu kemenangan”, sudah jelas itu omon-omon saja.
“Yang mati gantung diri, ada. Malah dua orang. Apa karena slot? Ya nggak tahu, tapi yang pasti dia abis kalah slot,” jelasnya.
“Yang cerai gara-gara banyak utang, juga ada. Sampai jual tanah, jual motor, sampai nggak ada yang tersisa. Lebih banyak contoh orang yang kalah daripada menang, cuma herannya masih saja diikuti,” imbuh sang kepala desa.
Saya pun sebagai orang yang lahir dan besar di desa kecil di Wonogiri ini, seolah sudah kehilangan semuanya. Kehangatan warganya, keceriaan anak-anak kecil, maupun kekompakan pemudanya.
Sebab, selama seminggu saya habiskan waktu libur lebaran di rumah, tak ada cerita lain yang bisa saya potret selain pemuda-pemuda yang sibuk ngeslot. Di manapun dan kapanpun, umpatan-umpatan karena kekalahan juga lebih sering saya dengar ketimbang tawa.
Pada akhirnya, saya tersadar kalau judi online bernama slot ini memang tak pandang bulu dalam mencari korban. Namun, masyarakat desa dengan perekonomian yang rentan adalah mangsa empuk.
Mengutip kata Pujantoko, kepala desa yang mengutuk keras budaya ngeslot ini: “terkutuklah pejabat-pejabat yang makin kaya karena uang haram judi, sementara orang-orang di desa makin miskin dibuatnya.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Selamat Datang, Post-Truth: Era di Mana Influencer Problematik Promotor Judol Lebih Dipercaya Ketimbang Ahlinya Ahli atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.