Heran sama Latihan Pencak Silat yang Keras-kerasan hingga Jadi Biang Kerusuhan, di Tapak Suci Keras tapi Harus Empati

Tapak Suci, perguruan anti rusuh. MOJOK.CO

ilustrasi - latihan silat Tapak Suci. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Dari Tapak Suci, saya belajar bahwa bela diri bukan mengajarkan kekerasan, apalagi sekadar gaya-gayan. Namun, di perguruan silat Tapak Suci, pesilatnya belajar soal akhlak dalam kehidupan selain melatih fisik maupun mental.

***

Dalam latihan pencak silat atau jenis olahraga apapun, kami ditempa secara fisik maupun mental. Untuk menjadi atlet profesional, semua itu harus dilalui tanpa mengeluh. Saya memang bukan atlet profesional, tapi selama latihan pencak silat di perguruan Tapak Suci, saya jadi cukup mengerti esensi dari latihan bela diri.

Dibanding teman-teman silat saya yang lain, tubuh saya terbilang masih berisi tapi daya tahan saya cukup lemah. Misalnya saja, jika disuruh jogging satu putaran atau satu kilometer dalam waktu 6 menit, saya sudah ngos-ngosan nggak karuan. Kadang melebihi target yang ditentukan. Alhasil, saya harus menambah satu putaran lagi sebagai sanksi.

Tak hanya jogging, saya bahkan paling benci jika disuruh sprint. Selain karena selalu kalah jika diadu satu lawan satu, napas saya rasanya sesak setengah mati. Padahal saya nggak punya asma. Tapi namanya juga latihan, nggak mungkin untuk menghindar.

Dididik keras di Tapak Suci itu sudah pasti

“Ayo! Masih kurang itu, tambah lagi. Jangan lembek. Nggak boleh manja!” kata pelatih Tapak Suci saya berulang kali.

Namun, setelah itu kami selalu diberi motivasi. Saya ingat betul ketika latihan Tapak Suci saat kelas 6 SD sekitar tahun 2014. Ada sekitar 10 orang yang ikut latihan bersama saya. Kami pun dilatih secara fisik, mulai dari jogging, push up, sit up, naik turun kursi, dan sebagainya. 

Saat itu, latihan kami memang cukup intens mengingat ada turnamen Airlangga Cup khusus Tapak Suci di tingkat nasional. Kami pun berlatih secara maksimal. Dan gerakan-gerakan yang saya sebutkan tadi, kami harus lakukan secara runtut dan bergantian.

Sudah pastilah otot-otot kami memanas, keringat bercucuran, dan untungnya tidak sampai pingsan. Di sela-sela istirahat, pelatih saya malah melarang minum satu botol air mineral. Alamak, tersiksa sekali kami yang masih berusia 12 tahun pada saat itu. 

Tapak Suci mengajarkan kami empati

Tapi tentu saja, pelatih kami tak segalak itu. Ia memperbolehkan kami minum. Tapi satu botol air mineral harus dibagi ke 10 orang. Saat itu, saya masih belum tahu apa maksud dari ujian ini? Apakah ini termasuk metode latihan dari Tapak Suci?

Barulah saya tahu ketika setiap anak minum dari satu botol air mineral tersebut. Ada yang hanya minum satu tutup, ada yang dua teguk saja, ada yang benar-benar tidak memikirkan teman lainnya hingga menghabiskan air itu lebih dari setengah. 

Baca Halaman Selanjutnya

Latihan untuk membaca karakter

“Dari sini, saya bisa baca karakter kalian,” kata pelatih saya seketika usai botol minum itu habis, dan mulailah ia menceritakan alasannya mengapa kami harus minum satu botol air dan dibagi-bagi. 

Rupanya, ini juga bentuk sanksi kecil-kecilan untuk kami karena di antara kami ada yang tidak membawa botol minum. Padahal, air minum menjadi kebutuhan wajib yang harus dibawa saat latihan

“Kalian harus ingat untuk saling peduli. Saya yakin mungkin tadi ada yang ragu-ragu mau minum seteguk-seteguk tapi memutuskan minum cuman satu botol karena takut yang lain nggak kebagian,” kata pelatih Tapak Suci saya melanjutkan. Saya langsung melongo karena merasa ditunjuk sebagai orang itu.

“Tapi mungkin ada juga yang mbatin, karena ternyata ada teman kalian yang minum lebih dari setengah botol sangking hausnya. Tapi sekali lagi, saya salut karena kalian tidak marah. Mungkin saat melihat wajah pucat pasi teman kalian, kalian jadi ingin memberi lebih,” lanjutnya.

“Nah, itu yang saya inginkan. Anggaplah teman latihan kalian di sini sebagai saudara.”

Kok bisa teraniaya karena silat?

Jika saya pikir kembali, metode pelatihan coach kami memang sering begitu. Jika ada salah satu dari kami melakukan kesalahan, yang lain juga harus kena agar saling mengingatkan. Kecuali, kalau evaluasi secara individu. Pun jika ada yang gagal dalam pertandingan, yang lain harus menyemangati.

Oleh karena itu, saya cukup kaget saat melihat berita viral dari pesilat. Bukan karena prestasinya, tapi atas kegaduhannya. Misalnya, kejadian oknum pesilat dari Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) yang mengeroyok penjual nanas di Gresik hingga tewas.

Lalu, seorang pesilat Ikatan Pencak Silat Nahdlatul Ulama Pagar Nusa (PN) yang membacok sekelompok oknum perguruan Ikatan Keluarga Silat Putra Indonesia (IKSPI) Kera Sakti di Jombang.

Teranyar, seorang remaja berinisial MPS (17) asal Boyolali, Jawa Tengah yang tewas saat mengikuti latihan silat. Pemuda itu meninggal saat mengikuti latihan silat pada Kamis (22/5/2025) dini hari atau sekitar pukul 00.30 WIB di tempat latihannya. 

Polres Boyolali telah menetapkan seorang pelatih silat sebagai tersangka, karena menendang dada korban satu kali, sebelum korban meninggal. Menurut kesaksian teman-teman korban, korban sempat terjatuh dan meringis kesakitan sambil memegangi dada, hingga dibawa ke rumah sakit tapi nyawanya tidak tertolong. 

Miris. Batin saya saat itu. Karena, meski hanya mengikuti latihan Tapak Suci secara singkat, saya paham bela diri sejatinya mengajarkan kami soal akhlak bukan kekerasan. Seperti kata pelatih Tapak Suci, Bowo Saputro, yang pernah Mojok wawancara.

“Di perguruan kami, tidak mengejar banyak pendekar supaya terlihat ‘wah’. Lebih menekankan pemahaman gerak beladiri yang matang dan juga akhlaknya,” terangnya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza 

BACA JUGA: Kapok Berurusan dengan PSHT: Dihajar “Tanpa Ampun” saat Latihan, Babak Belur Dikeroyok Gara-gara Hal Sepele atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version