Drama Kesialan di Stasiun Lempuyangan: HP “Hilang” hingga Harus Minta Maaf pada Satpam

Stasiun Lempuyangan Jogja. MOJOK.CO

ilustrasi - pengalaman menyebalkan bersama petugas kemananan dan petugas parkir di Stasiun Lempuyangan, Jogja. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Setelah keriuhan awal tahun 2025, beberapa masyarakat yang liburan ke Jogja akhirnya pulang ke kediamannya masing-masing. Termasuk dua orang teman saya yang memutuskan balik ke Surabaya pada Sabtu (4/1/2025). Sore itu saya mengantar mereka ke Stasiun Lempuyangan, Jogja.

Kedua sahabat saya sudah empat hari berada di kota yang kata nya istimewa ini. Mereka ingin melepas penat sejenak sembari merefleksikan diri di tahun 2024. Sialnya, di hari kepulangan teman-teman saya itu, saya malah tertimpa musibah karena ketelodaran saya sendiri.

Kesedihan saya jadi menumpuk. Selain karena harus menjalani  hubungan jarak jauh lagi dengan mereka, saya hampir kehilangan telepon genggam di Stasiun Lempuyangan.

Berat hati melepas kepulangan ke Surabaya

Selama empat hari di Jogja, saya tidak bisa menemani kedua teman saya berkeliling karena sudah harus bekerja di awal tahun 2025. Namun, dua hari sebelum kepulangan mereka, kedua teman saya itu berkunjung ke kosan untuk sekadar bercengkrama dengan saya.

Malam itu kami membicarakan banyak hal, tentang hubungan teman saya yang kandas di akhir tahun 2024, hidup yang “gini-gini” saja, dan mimpi yang ingin mereka raih di tahun berikutnya. 

Satu malam itu rasanya tak cukup menampung cerita panjang kami, tapi saya tak tega menyuruh mereka balik tengah malam. Selain karena lokasi hotel dan kosan saya jauh, jalanan juga gelap dan dingin.

“Aku sudah di hotel,” tulis teman saya mengabari lewat pesan WhatsApp.

Sabtu (4/1/2025), mereka harus balik ke Surabaya. Merealisasikan rencana-rencana mereka di tahun 2025. Saya jadi sedih, karena lagi-lagi harus jauh dengan mereka. Tak apalah dibilang lebay, namanya juga rindu.

Buru-buru Mengantar ke Stasiun Lempuyangan

Entah mengapa Sabtu itu terasa cerah, padahal beberapa hari kemarin Jogja diguyur hujan seharian. Mulanya saya tidak berencana mengantar kedua teman saya. Terlalu berat bagi saya melihat mereka kembali ke Surabaya. 

“Nanti aku ikut pulang, terus nggak balik lagi ke Jogja,” ujar saya yang mengutarakan alasan konyol saat itu.

Padahal, semalaman tubuh saya sudah tidak enak. Flu menyerang selama dua hari ini. Maka saya memutuskan tidur dari siang hingga pukul 15.00 WIB. Saat saya bangun, saya langsung berubah pikiran. Saya ingin mengantar kedua teman saya di stasiun. 

Oleh karena itu, saya langsung mandi, salat, dan bersiap-siap. Perjalanan saya dari kosan ke Stasiun Lempuyangan sekitar tiga puluh menit, belum estimasi waktu yang dibutuhkan saat saya nyasar. Maklum, saya sulit menghafal jalan sehingga kalau kemana-mana harus memakai Google Maps. 

Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB, sedangkan kereta keberangkatan teman saya pukul 17.00 WIB. Saya buru-buru memanaskan sepeda motor dan tanpa sadar meninggalkan dompet di kosan.

Keteledoran yang hakiki

Setibanya di Stasiun Lempuyangan, Jogja saya buru-buru memarkirkan motor. Saat mengorek-ngorek tas saya, saya baru sadar bahwa dompet saya tertinggal. Sementara, petugas parkir sudah menariki saya: Rp2 ribu. 

Saya pun mengeluarkan telepon genggam dari tas, bermaksud mencari tempat yang sekiranya bebas parkir, misalnya Indomaret atau Alfamart terdekat. Namun, nihil karena lokasinya terlalu jauh. 

terpaksa hutang…

Akhirnya, saya terpaksa mengirim pesan kepada teman saya untuk berhutang. Karena terlalu fokus menyambut kehadiran teman saya, saya jadi lupa membawa telepon genggam yang saya letakkan di dasbor motor. Sungguh, sebuah keteledoran yang hakiki.

Tanpa sadar, saya meninggalkan telepon genggam tersebut selama tiga puluh menit di parkiran. Saya asyik bercengkerama dengan kedua teman saya hingga jadwal keberangkatan kereta api semakin dekat. Mereka harus bergegas naik kereta.

Saya pun mengucapkan selamat tinggal kepada keduanya dan ingin mengabadikan momen tersebut dengan gawai saya. Saat itulah saya baru sadar, telepon genggam saya hilang. 

Mencari gawai di sekitar Stasiun Lempuyangan 

Saya mencoba tidak panik dengan mencari gawai saya di sekitaran Stasiun Lempuyangan. Saya menyusuri parkiran di area pintu keluar dan bertanya ke petugas parkir saat itu, tapi dia bilang tidak ada.

“Oh nggak ada sih Mbak, saya tadi nggak lihat. Area sini biasanya aman, jarang ada yang mencuri,” kata petugas parkir tersebut.

Saya mencoba mencari lagi dari tempat parkir menuju pintu masuk, hingga pintu pemeriksaan tiket. Namun, nihil. Gawai saya tidak ketemu.

Tanpa pikir panjang saya mengadu ke petugas keamanan. Kebetulan ada tiga orang petugas yang sedang berkumpul di dekat pintu pemeriksaan tiket. Mulanya, mereka sudah putus asa duluan untuk mencari gawai saya.

“Aduh, kalau telepon genggam hilang itu sudah susah Mbak carinya,” kata salah satu petugas.

Namun, saya tidak menyerah. Saya minta tolong ke petugas tersebut untuk melacak telepon genggam saya lewat aplikasi di gawai miliknya. Untung saja saya ingat email dan password saya.

Memburu gawai yang hilang

Bak seorang detektif, saya dan dua orang petugas keamanan tadi berjalan menyusuri tempat-tempat yang saya kunjungi sebelumnya. Kami mengikuti lokasi gawai yang rupanya masih berada di tempat.

Lokasi gawai menunjukkan berada di luar Stasiun Lempuyangan, tak jauh dari tempat parkir motor saya tadi. Seorang petugas yang mengikuti saya kemudian mengabari petugas lainnya menggunakan walkie talkie.

“Mohon diamankan, saya dan mbaknya sudah mau sampai di parkiran,” ucap petugas yang membantu saya. 

Anehnya, saat hendak tiba di parkiran saya merasa seperti diarak. Orang-orang di sekitar Stasiun Lempuyangan melihat ke arah saya. Saya sudah berpikir macam-macam: Apakah telepon genggam milik saya dicuri? Apakah pencurinya tertangkap? Atau bagaimana?

Terpujilah bapak tukang parkir 

Untuk yang ketiga kalinya, saya kembali lagi ke parkiran dekat pintu keluar Stasiun Lempuyangan. Petugas parkir yang saya tanya sebelumnya tiba-tiba berteriak.

“Nahhh, ini lo Mbaknya!” ucap petugas parkir tersebut. “Minta maaf Mbak, minta maaf,” lanjut bapak itu. 

Saya kebingungan dan tidak paham. Apa maksudnya? Sementara orang-orang yang berada di sekitar Stasiun Lempuyangan juga ikut kebingungan menatap saya. 

Petugas parkir itu pun menjelaskan kalau ada petugas parkir – selain dirinya yang berjaga di lokasi tersebut. Nah, petugas parkir itulah yang menyimpankan gawai saya.

“Bapak itu yang ada di sana, sekarang kamu ke sana, minta maaf. Lain kali jangan teledor ya mbak ya,” ucap petugas parkir kepada saya.

Yah, saya tidak bisa mengelak karena ketelodoran saya memang sudah di luar nurul. Yang penting telepon genggam saya ketemu. Saya menghampiri bapak-bapak yang ditunjuk petugas parkir tadi. 

Sementara, dua orang petugas keamanan dari KAI yang mengikuti saya tadi sudah menghilang. Ya sudahlah, padahal saya belum sempat mengucapkan terima kasih.

Saat saya mendatangi petugas parkir lainnya, saya melihat bapak itu juga menghampiri saya menggunakan motornya. Dia mengenalkan diri sebagai Basuki. Kepada saya dia bilang untuk hati-hati, sembari memberikan gawai milik saya.

“Terima kasih, Pak,” kata saya menahan malu.

Penulis: Aisyah Amira Wakang 

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Jembatan Lempuyangan Jogja: Jembatan yang Dibangun untuk Merekam Kebahagiaan Sekaligus Kebencian Warga Kota Jogja atau liputan Mojok lainnya di rubik Liputan

Exit mobile version