Perantau Sumenep pilih tinggalkan warung Madura di Bekasi. Ia putuskan merantau kerja di Jogja gara-gara terpukau romantisme yang sering ia tonton di FTV. Jalani pekerjaan yang agak berbeda dari kebanyakan perantau Madura lainnya.
***
Pertemuan dengan Khoirul Rahman (28) menambah khazanah pengetahuan saya soal ketangguhan orang Madura di perantauan. Saya pernah wawancara dengan pengelola warung kelontong, penjual sate, penjual bubur kacang hijau, pemilik kedai kopi, dan beberapa profesi perantau Madura lain di Jogja.
Seperti saat mewawancarai beragam pelaku usaha di Jogja dari Pulau Garam lainnya, sosok yang akrab disapa Oman ini, menunjukkan keteguhan meski sempat gagal. Pantang pulang sebelum membawa hasil kerja di Jogja.
Setelah lulus pondok pesantren setara SMA pada 2017 silam, pikiran Oman hanya ingin segera merantau untuk bekerja. Tidak terpikirkan untuk kuliah.
Bermodalkan jaringan sesama perantau Sumenep, ia berangkat ke Bekasi untuk mengelola sebuah warung Madura. Di berbagai kota besar pulau Jawa, perantau dari Madura memang terkenal berjejaring berkat usaha toko kelontongnya yang buka 24 jam.
Oman, sapaan akrabnya, mengelola warung Madura milik seorang juragan dengan sistem bagi hasil. Namun, ternyata ia tidak terlalu cocok dengan pekerjaan yang menuntutnya harus banyak duduk di dalam ruangan sambil menanti pembeli. Tidak sampai setahun, ia sudah bosan dan memutuskan untuk kembali pulang ke Sumenep.
“Habis itu saya pulang Mas. Ya, sambil mikir mau ngapain setelah ini,” kata anak pertama dari dua bersaudara itu sambil memijat kaki saya pada Rabu (1/5/2024) lalu.
Ya, kini ia menjalani profesi sebagai tukang pijat panggilan. Namun, perjalanannya kerja di Jogja cukup panjang. Sebelum akhirnya yakin menekuni profesi yang tidak banyak dilakukan orang Madura di tanah rantau ini.
Saat orang Sumenep kepincut kerja di Jogja gara-gara keseringan nonton FTV
Di rumah, ia mengaku sempat bingung menentukan arah hidupnya setelah meninggalkan warung Madura di Bekasi. Banyak waktu yang ia habiskan di rumah. Menonton televisi. Salah satu program kesukaannya tentu program FTV di SCTV.
Program FTV memang kerap mengambil latar di Jogja. Banyak judul yang meromantisasi daerah tersebut, ada Gemulai Senja di Tanah Jogja, Terpikat Pesona Gadis Jogja, Cinta Mekar di Jogja, dan beragam judul lain yang meski tak menampilkan Jogja di judulnya tapi syuting di Kota Pelajar.
“Nah itu dia, FTV kan sering syuting di Jogja. Saya ini kok jadi kepikiran, kayaknya menarik kalau merantau kerja di Jogja. Kotanya ini seperti syahdu dan tentram,” katanya antusias.
Tercetus lah ide merantau ke Jogja. Pada 2018, ia pun berangkat dengan modal nekat untuk bekerja. Sampai di Jogja ia dijemput oleh seorang kenalan dan langung bekerja di sebuah kedai kopi milik sesama orang Madura.
Lagi-lagi, Oman mengaku tak betah lama bekerja. Ia punya ide lain untuk bertahan hidup yakni dengan berjualan pentol Madura. Beberapa bulan tinggal di Jogja, ia melihat sangat jarang orang berjualan makanan itu. Padahal, di kota lain, perantau dari daerahnya lazim berjualan pentol.
Lagi-lagi, gara-gara FTV, ia menamai dagangannya secara cukup nyentrik. Namanya, “Pentol Cinta Entertainment”. Ia terbahak saat menceritakan masa lalunya, tanpa kehilangan fokus memijat badan saya.
“Nanti saya kasih lihat, ada di Facebook saya. Namanya ya kepikiran dari FTV. Logonya, pentol saya tambahin foto teman cewek saya yang cantik, saya izin ke dia dulu,” katanya terbahak.
Bisnis tanpa persiapan matang, ternyata membawanya kepada kegagalan. Dua bulan, modalnya perlahan habis untuk membeli bahan tanpa menghasilkan keuntungan.
Merasakan kelaparan dan tangis di perantauan
Akhirnya, usahanya resmi gulung tikar. Ada fase di mana ia benar-benar nyaris kehabisan uang. Harus menghemat demi bisa sekadar makan sehari sekali. Belum lagi, tanggungan untuk membayar sewa kos yang terus ditagih pemiliknya.
“Sulit, kerja di Jogja ternyata nggak seromantis FTV. Selama seminggu setelah gagal bisnis benar-benar kehabisan uang. Sehari makan sekali, itu pun mie instan. Sampai nangis itu saya di kos,” kenangnya.
Namun, solidaritas sesama perantau dari Madura ternyata kembali menyelamatkan lelaki Sumenep ini. Di saat sedang benar-benar kepepet, ada tawaran untuk bekerja di Jogja sebagai tukang masak sebuah kedai kopi. Tawaran yang tak bisa ia tolak.
Di kedai kopi itu, ia bertahan cukup lama. Bisa memenuhi kebutuhan hidup meski serbaterbatas, hingga akhirnya Oman terbesit untuk kuliah. Saat itu, alasannya sederhana, ia melihat ada temannya yang datang ke kedai kopi bersama kedua orang tua yang ke Jogja karena acara wisuda.
“Itu ya, saya langsung kepikiran, kayaknya kok menarik kalau orang tua saya bisa datang dari Sumenep ke sini untuk menghadiri wisuda saya,” kelakarnya.
Awalnya, Oman mencoba untuk daftar di UGM. Meski sempat ditertawakan temannya, ia tetap mencoba belajar dan mengikuti ujian.
Pada UTBK 2019, ia percaya diri memasukkan Jurusan Hukum dan Psikologi sebagai pilihannya. Namun, ternyata ia tak diterima di dua jurusan itu.
Temannya lantas menyarankan untuk mendaftar di UIN Sunan Kalijaga. Betul saja, ia akhirnya bisa lolos seleksi. Ia lalu menjalani kehidupan kerja sekaligus kuliah yang cukup menantang.
Baca halaman selanjutnya…
Banting setir jadi tukang pijat, pendapatannya bisa nabung nikah
Banting setir kerja di Jogja jadi tukang pijat
Di masa awal kuliah, Oman sempat kembali pindah tempat kerja. Namun, masih sama-sama di kedai kopi milik bos asal Madura.
Tanpa bekerja, Oman memang tak bisa menutupi kebutuhan hidupnya. Namun, lama-lama ia mengaku kewalahan. Selain kuliah dan kerja, ia juga aktif di organisasi teater kampusnya. Ketiganya, sama-sama punya jadwal yang padat.
Lelaki Sumenep ini mulai berpikir keras, cara untuk bisa tetap bertahan di perantauan tapi bisa sedikit mengurangi bebannya. Lalu, mulailah ia merencanakan untuk menekuni kemampuan memijatnya.
“Sebenarnya sejak awal kerja di Jogja, oleh teman-teman, saya sudah dianggap pintar memijat. Nenek saya memang tukang pijat juga. Tapi, di awal saya cuma mijat teman dengan bayaran seikhlasnya,” kata dia.
Ia pun mengambil keputusan berani dengan keluar dari kedai kopi dan menyeriusi jasa pijatnya. Bukti keseriusan itu, ia mulai membranding jasanya dengan nama Pijat Sehat Warisan Leluhur (PSWL). Lalu, mematok tarif sesuai harga pasaran di Jogja. Saat ini, tarifnya Rp100 ribu per jam dan Rp140 ribu untuk 90 menit. Oman juga mengikuti sertifikasi supaya bisa menyasar pasar tamu-tamu hotel.
Sukses dari jasa
Gencar promosi dan pelayanan yang prima, membuat jasanya cepat dikenal. Pendapatanya perlahan melampaui gajinya saat kerja. Dan, ia memutuskan untuk benar-benar hidup dengan jalan sebagai tukang pijat.
“Tahu nggak Mas? KTP saya sekarang profesinya sebagai tabib,” kata dia seraya tertawa.
Kini, berkat jasa pijat yang ia jalankan, bukan hanya memenuhi kebutuhan pribadi, Oman sudah bisa rutin membantu keluarga di rumah hingga menabung untuk menikah. Sebelum punya calon istri, ia mengaku masih menerima panggilan pijat dari perempuan.
“Sejak ada calon, saya sudah menolak atau mengalihkan ke teman lain kalau ada pesanan dari perempuan,” kelakarnya.
Sudah dua kali, saya dipijat oleh perantau Sumenep ini. Pijatannya bertenaga dan membuat badan saya lebih rileks. Apalagi, di akhir, ia punya metode hipnoterapi. Saya dipegang lehernya, lalu seperti terlelap beberapa detik. Ketika tersadar, badan rasanya tambah segar.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News