Kalau saja hidupnya nggak neko-neko, para pekerja sebuah rumah makan di Solo bisa hidup serba berkecukupan. Upah harian besar, tersedia tempat tinggal, makan sudah ditanggung. Bahkan, tiap kali penjualan mencapai target, bonus juga melimpah. Sialnya, gara-gara judi slot privilese tadi seakan tak berarti. Yang tersisa dari para perantau ini cuma kecanduan dan kekalahan yang berjalan berdampingan.
Ketika libur lebaran kemarin, saya pulang ke desa. Biasanya, tiap momen lebaran para pegawai rumah makan tersebut mudik. Sebagai informasi, mayoritas pemuda di desa saya–kawasan paling selatan di Kabupaten Wonogiri–bekerja untuk rumah makan terkenal di Solo.
“Kok mereka nggak kelihatan mudik ya?,” tanya saya kepada salah satu tokoh desa saat melangsungkan tahlilan di rumah warga, Jumat (4/4/2025) lalu. Saya bertanya demikian karena para pekerja memang rutin pulang seminggu atau dua minggu sekali untuk bertemu istri, keluarga, atau kerabat.
“Katanya nggak libur. Lebaran begini rumah makan sedang ramai-ramainya,” jawabnya.
Jawaban itu cukup melegakan, meskipun aneh juga karena pada lebaran tahun-tahun sebelumnya mereka selalu pulang. Bahkan, sampai bikin acara syawalan; hahal bihalal antarperantau.
Lantas, keanehan tersebut menjadi-jadi ketika saya menyaksikan pemuda desa yang hadir di acara tahlilan sibuk main judi slot di ponsel mereka. Dari yang saya dengar, “budaya ngeslot” itu ditularkan oleh para perantau di Solo. Pikiran saya makin berkelana kemana-mana.
Gaji bersih Rp2,5 juta tak bersisa karena slot
Soal kebiasaan warga desa yang mulai ngeslot, sebelumnya pernah saya tulis dalam artikel “Gara-gara Slot, Suasana di Desa Tak Sehangat Dulu Lagi”. Di situ saya gambarkan bagaimana “kehancuran demi kehancuran” dialami para pemuda akibat judi slot.
Mulai dari jual tanah buat bayar utang, cerai dengan istri karena masalah ekonomi, sampai ada yang gantung diri karena depresi berat. Pendeknya, dampak judi slot terhadap pemuda desa benar-benar merusak.
Namun, cerita para perantau di Solo yang juga hancur karena judol memang agak lain. Sebab, selama ini mereka bisa melakukan apa saja dari kerja di rumah makan tersebut. Membeli sepeda motor baru, ponsel mahal, membangun rumah, sampai menyekolahkan adik-adiknya.
Bagaimana tidak. Para perantau ini digaji Rp110 ribu per hari. Mereka bekerja lima hari dalam seminggu. Untuk yang bekerja di tanggal merah, gajinya mencapai Rp150 ribu sehari. Dengan demikian, dalam sebulan rata-rata mereka mengantongi Rp2,5 juta.
Itu pun menjadi uang bersih. Sebab, bos sudah menyediakan mess sebagai tempat tempat. Makan juga sudah ditanggung, sepuasnya.
Maka dari itu, tak heran mengapa tiap pemuda desa sini yang baru lulus SMA, selalu merantau ke Solo untuk bekerja di rumah makan tersebut. Sampai ada istilah, mereka sudah dikader sejak masih kelas 1 SMA. Sialnya, judi slot telah mengubah semuanya.
Istri cuma dijatah 100 ribu seminggu
“Kemarin ada yang sudah pisah ranjang, digugat cerai, gara-gara seminggu cuma menjatah istri 100 ribu,” ucap Pujantoko (38), kepala desa yang saya temui malam itu, Jumat (4/4/2025) di acara tahlilan.
“Itu baru yang digugat cerai. Ada juga yang kabur ke Sumatera, soalnya bawa duit bosnya buat main slot. Makanya, kalau mau jujur, banyak perantau Solo nggak pulang bukan karena sibuk kerja, tapi nggak punya duit aja.”
Cerita sang kepala desa kembali bikin saya kaget. Tak terbayangkan berapa uang yang mereka habiskan tiap hari buat main slot, sampai-sampai untuk kebutuhan keluarga saja tak ada.
Seumur-umur hidup di desa, ini pertama kalinya saya merasakan situasi segenting ini. Taraf kehidupan mereka yang sempat upgrade berkat merantau ke Solo, kini kembali terperosok gara-gara kecanduan judol.
Tak heran, ketika saya pulang kampung setelah terakhir enam bulan lalu, cerita-cerita miring soal pemudanya lebih dominan ketimbang kabar baik. Perceraian, terlilit utang, sampai bunuh diri. Semua gara-gara judi.
Hidup sudah hancur, tapi masih setia mengabdi ke bandar
Pada Sabtu (5/4/2025), saya juga berbincang dengan Akmal (25), pemuda desa yang sudah tak bekerja lagi di rumah makan Solo tersebut. Dua bulan lalu ia resign. Alasannya karena sudah tak cocok. Namun, dari cerita yang saya dapat dari Pujantoko, Akmal doyan utang dan diusir ke teman-temannya karena sudah meresahkan.
Saat saya mengobrol dengannya, jari-jari di tangan kirinya tengah mengapit kretek, sementara tangan kanan sibuk dengan gawai. Ia tak fokus mengobrol, sebab matanya tak bisa berpaling dari layar ponsel. Ya, ia sedang main slot.
“Sudah kalah berapa?,” tanya saya basa-basi.
“Abis njedot [kalah besar],” ujarnya singkat.
Dari obrolan kami yang terkesan searah itu, Akmal terang-terangan mengakui kalau hidupnya benar-benar kacau akibat slot. Motornya sudah dijual buat bayar utang. Pinjaman ke teman-temannya sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Kini ia pun cuma bisa kerja serabutan; biasanya kerja ngglidig (pembelah batu) yang diupah Rp50 ribu sehari.
Namun, ia mengaku tak bisa berhenti slot lantaran sudah kalah besar. Baginya, kekalahan besar itu cuma bisa dibayar dengan kemenangan besar pula. Caranya, menurut dia, dengan tidak berhenti bermain.
“Sudah habis-habisan tapi tetap yakin,” ujarnya. Ibarat kata, hidupnya sudah hancur tapi masih saja setia mengabdi ke bandar.
Kalau kata Pujantoko, sang kepala desa: “ngomong sama orang ngeslot kayak ngomong sama batu. Mereka baru mau berhenti kalau sudah mati.”
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Gara-gara Slot, Suasana di Desa Tak Sehangat Dulu Lagi: dari Ronda Malam sampai Tahlilan, Tak Pernah Absen Main Judol Jahanam atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.
