Tumbuh besar di panti asuhan, tanpa ayah dan ibu, tak membuat mahasiswi yatim piatu asal Aceh ini berkecil hati untuk meraih mimpi-mimpinya. Dengan segala kepedihan dalam hidupnya, ia berhasil menjadi sarjana meski sempat terancam berhenti kuliah lantaran jurusannya ditutup oleh pemerintah.
Kisah ini datang dari Nurhazizah Nasution (25) pada 2022 lalu, sesaat setelah ia wisuda dari UIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Tepatnya pada Rabu, (24/8/2022). Mahasiswi yatim piatu itu lulus dari prodi Ilmu Perpustakaan Fakultas Adab dan Humaniora dengan IPK 3,35.
Nurhazizah memang tidak lulus tepat waktu. Ia lulus di semester 10. Meskipun juga tidak telat-telat amat. Namun, perempuan asal Kota Meulaboh, Aceh Barat itu tetap patut merayakan gelar sarjananya.
Sebab, Nurhazizah harus melalui perjalanan penuh kepedihan sebelum akhirnya bisa menjadi seorang sarjana.
Jadi mahasiswi yatim piatu usai ayah meninggal, ibu pergi tanpa kabar
Kepedihan Nurhazizah bermula saat ia masih berusia empat tahun. Sang ayah meninggal dunia. Otomatis, kondisi ekonomi keluarganya pun ikut carut-carut. Kata Nurhazizah, untuk makan saja benar-benar susah.
Keadaan tersebut disinyalir membuat ibu Nurhazizah meninggalkannya tanpa kabar. Entah ke mana.
“Saya bersama abang dan adek tinggal dengan nenek (setelah ayah meninggal dan ibu pergi),” ungkap Nurhazizah seperti yang termuat dalam website resmi UIN Ar-Raniry.
Sejak saat itu, bisa dibilang status Nurhazizah tidak lagi yatim, tapi juga yatim piatu. Sebab, meskipun sang ibu masih hidup, tapi ia seperti tak memiliki ibu karena meninggalkannya begitu saja.
Masuk panti asuhan
Karena sang nenek juga bukan orang berpunya, tentu sulit untuk menanggung tiga anak sekaligus: Nurhazizah beserta abang dan adiknya. Apalagi untuk menyekolahkannya. Makan saja susah, mana ada biaya untuk sekolah.
Oleh sebab itu, sang nenek pun memutuskan untuk menitipkan Nurhazizah ke panti asuhan, tepatnya di Panti Asuhan SOS Childrens Village Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Dengan berat hati dan nelangsa, Nurhazizah pada akhirnya tak punya pilihan lain. Kondisi memaksa ia harus terpisah dengan keluarganya. Ia mencoba menikmati kehidupan di panti asuhan, sebagai seorang anak tanpa orang tua (kandung).
Akan tetapi, dari panti asuhan itu Nurhazizah mendapat akses pendidikan yang memadai dari jenjang ke jenjang melalui SOS Social Center. Sebuah program dari SOS Childrens Village Meulaboh dalam rangka penguatan bagi keluarga, penyuluhan kesehatan, dan konsultasi psikologi.
Program ini dirancang untuk memastikan anak-anak memiliki akses ke pelayanan penting, seperti akses pendidikan kesehatan dan mendapatkan dukungan secara psikologi.
Melalui program tersebut Nurhazizah menempuh pendidikan dari SD Negeri 5 Meulaboh, lanjut ke SMP Negeri 3 Meulaboh, SMK Negeri 3 Meulaboh, hingga kemudian ke perguruan tinggi.
“Usai tamat di SMK Negeri 3 Meulaboh, pihak yayasan menawarkan dua pilihan bagi anak-anak yang tinggal di panti, mau melanjutkan kuliah ke jenjang D-III atau kerja,” kenang Nurhazizah.
“Aku memilih kuliah D-III Ilmu Perpustakaan di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry. Ada beasiswa, tapi sampai semester 6,” imbuh mahasiswi yatim piatu asal Aceh tersebut.
Hanya saja, hidup lagi-lagi memberi kejutan tak terduga pada Nurhazizah. Ia terancam berhenti kuliah padahal sudah masuk semester 5.
Baca halaman selanjutnya…
Mahasiswi yatim piatu korban penutupan jurusan
Ketika sudah memasuki semester 5, tiba-tiba Prodi Diploma III Ilmu Perpustakaan ditutup berdasarkan kebijakan Menteri Agama RI.
Sontak saja hal tersebut membuat Nurhazizah sempat drop sederop-dropnya. Ia mengaku sangat frustasi.
Bagaimana tidak, beasiswa yang ia dapat dari SOS Childrens Village hanya berlaku hingga semester 6. Sementara prodinya tutup saat ia sudah masuk semester 5, tinggal satu semester lagi. Terbayang betapa frustasinya Nurhazizah waktu itu.
“Sesuai kesepakatan awal, pihaknya hanya membantu biaya kuliah hanya 6 semester untuk jenjang Diploma,”kata Nurhazizah.
Berhenti kuliah karena tak ada biaya
Mahasiswi yatim piatu asal Aceh itu pun mengaku sempat dalam ambang batas keputusasaan. Ia tak terbayang, bagaimana nasibnya setelah itu. Masa depan di matanya tampak begitu gelap dan suram.
“Saat proses perpindahan dari DIII ke S1 Ilmu Perpustakaan, saya harus berhenti kuliah. Karena tidak mungkin melanjutkan tanpa ada beasiswa dari Yayasan SOS Childrens Village,” ungkapnya.
Namun, Nurhazizah tak mau berlarut-larut. Ia bertekad bahwa ia harus sukses, ia harus bisa kuliah, harus bisa menjadi seorang sarjana.
Tekadnya tersebut berbuah manis. Nurhazizah akhirnya resmi menjadi seorang sarjana pada Rabu, (24/8/2022) lalu.
“Alhamdulillah saat kuliah UKT saya Rp900 ribu. Tanpa sponsor dari orang tua,” ujarnya.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Agung Purwandono
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News