Pengalaman Pertama ke Borobudur Sendirian terasa Aneh, tapi Berkat “Orang Baru” Perjalanan Saya Jadi Berkesan

Ilustrasi - pengalaman pertama berkunjung ke Candi Borobudur. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Saya hampir tak melihat wisatawan yang datang ke Candi Borobudur, Magelang sendirian. Malah, pengunjung lain merasa aneh saat melihat saya datang tanpa teman, saudara atau keluarga. Beberapa dari mereka bertanya bahkan hampir tak percaya.

Barangkali, seorang perempuan dari Jogja yang datang sendiri ke tempat wisata bersejarah seperti Borobudur, Magelang masih dianggap tabu. Saya pun mewajarinya setelah melihat suasana dan kondisi sekitaran candi yang ramai pengunjung. 

Nyaris tak ada yang sendiri. Kalaupun ada yang berniat solo traveling, mereka masih tetap berjalan rombongan dan akhirnya mengenal satu sama lain, meski sebelumnya tak kenal. Itupun, kebanyakan berasal dari turis asing.

Siang itu saya duduk di bangku yang berada di sekitaran Candi Borobudur, sambil mengamati para bhikku yang menempel sebuah stiker lingkaran merah di pinggir-pinggir pedestrian. Nantinya, stiker itu dipakai untuk mengukur jarak tempat duduk pengunjung saat perayaan Waisak pada Senin (12/5/2025).

Selain bhikku, saya juga melihat segerombolan siswa karyawisata berseragam olahraga warna hijau. Jika ditengok dari bajunya, mereka berasal dari sekolah di Sleman, Jogja. Ada juga turis asing yang berkumpul di bawah pohon rindang. Atau sekelompok keluarga yang sekadar menikmati libur panjang mereka.

Candi Borobudur.MOJOK.CO
Panitia Waisak 2025 mengklaim persiapan agenda di Candi Borobudur sudah 80 persen. (Mojok.co/Aisyah A. Wakang)

Tak lama setelah mendengarkan briefing dari tour guide, mereka bersiap naik ke lantai tiga Candi Borobudur. Sementara saya masih tak punya niat untuk naik. Takut pingsan sebelum sampai puncak, apalagi melihat cuaca di Magelang yang amat panas. 

Di tengah-tengah lamunan tersebut, seorang petugas peminjaman payung duduk di samping saya karena di lantai bawah pengunjung mulai sepi. Pengunjung sudah menaiki anak tangga dari 10 menit yang lalu.

Sendirian ke Magelang terasa aneh

“Mbaknya nggak ikut naik?” tanya seorang petung peminjaman payung bernama Mukhlas (50) kepada saya di sekitar Candi Borobudur, Magelang pada Kamis (8/5/2025).

“Oh nggak Pak, masih ngumpulin niat hehe. Panas banget soalnya,” jawab saya.

Saya pikir Mukhlas akan langsung menawarkan payungnya agar saya tidak kepanasan di atas, tapi ia justru menyemangati saya. Mukhlas yang sudah 30 tahun lebih “berdagang” di sekitaran Candi Borobudur menyarankan saya agar naik sebelum di pukul 12.00 WIB sebelum matahari benar-benar di atas kepala.

Namun, jam di gawai saya sudah menunjukkan pukul 11.47 WIB. Bikin saya makin urung untuk naik, karena kalau saya berangkat sekarang kemungkinan sampainya ya di jam 12.00 WIB. Seperti kata Mukhlas, panasnya nggak ketulung.

“Saya takut nyasar, Pak nggak tahu pintu keluar,” kelakar saya karena benar-benar tak punya semangat untuk naik.

Candi di lantai tiga. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Melihat saya yang masih bergeming, entah kenapa, dia makin berambisi. Setidaknya, agar saya mau naik tangga sampai pelataran candi. Untungnya saya tidak kesal. Itung-itung ada teman ngobrol. Rupanya Mukhlas penasaran karena melihat saya sendirian. Jarang-jarang, kata dia, ada pengunjung indo yang sendiri.

“Saya orang Surabaya, Pak. Baru beberapa bulan merantau ke Jogja. Ini juga pertama kali ke Candi Borobudur.” tutur saya.

“Sendirian?” tanya warga asli Kabupetan Borobudur, Magelang tersebut.

“Nggih, Pak.”

Tenan tho? (beneran kah?) Ada tugas kuliah po? Bek ne (barangkali) saya bisa bantu.”

“Enggak, Pak. Liburan saja.”

“Oooh. Naik saja lah Mbak kalau gitu, sapa tahu ketemu jodoh,” kelakar pria baruh baya tersebut. Saya pun hanya tertawa hingga obrolan kami mengalir begitu saja.

Baca Halaman Selanjutnya

Amanat dari warga lokal Magelang 

Amanat dari warga lokal Magelang

Melihat segerombolan pengunjung berbaju putih dan terlihat masih muda seperti anak kuliah, Mukhlas segera berdiri. Ia pamit ke saya untuk kembali bekerja. Pria asal Kabupaten Borobudur, Magelang itu berdiri tengah jalan sambil menawarkan payung yang ia gantung di lengannya.

“Payungnya Kak, payung. Biar nggak panas,” ucapnya berkali-kali, tapi tak satupun orang menggubris dan hanya melewatinya.

Mukhlas berujar sudah sekitar 30 tahun ini ia menjadi petugas peminjaman payung di sekitar Candi Borobudur. Satu payung ia patok seharga Rp10 ribu tanpa batas jam. Namun, masih ada saja pengunjung yang kadang lupa mengembalikan atau meletakkannya di atas.

Biasanya, petugas peminjam payung lain akan meminta payung yang sudah pengunjung pakai di pintu keluar. Sebab, kerja petugas peminjam payung bersifat kelompok. Nantinya, upah yang didapat dibagi-bagi oleh petugas lainnya.

“Ya kadang seharian bisa saja nggak dapat Mbak, tapi daripada saya nganggur di rumah,” kata Mukhlas tadi sebelum pamit.

Keramahan para turis di Candi Borobudur

Hampir 30 menit berlalu dan saya masih duduk di bangku sekitaran Candi Borobudur. Seorang lansia kemudian duduk di samping saya sembari menyapa. Sama dengan saya, ibu itu memilih tidak naik tangga. Ia lebih baik menunggu anaknya di bawah.

“Saya ke sini berdua dengan anak. Dia mau kuliah S2 di Universitas Diponegoro jadi kami liburan dulu, saya temani dia,” ujar Supirah (62).

Relief candi yang berisi ajaran nilai-nilai universal. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Perempuan asal Klaten itu berujar baru pulang ke tanah Jawa setelah 25 tahun merantau di Sorong, Papua Barat Daya untuk bekerja menjadi penyuluh tani. Mumpung kembali ke Jawa Tengah, ia ingin pergi wisata di Candi Borobudur.

Tak terasa, hampir satu jam saya dan Supirah mengobrol. Waktu sudah menunjukan pukul satu lebih. Saya pun akhirnya memutuskan naik ke candi sampai pelataran saja. Hampir 30 menit saya mengililingi empat sisi candi yang terasa sama pemandangannya. 

Tanpa sadar, saya mengilinginya dua kali hingga kembali di sisi gerbang masuk. Padahal, pintu keluar ada di sisi lain. Saya memutuskan duduk untuk beristirahat sejenak. Lagi-lagi, beberapa orang yang saya temui selalu bertanya, “Sendirian?” dan saya hanya mengiyakan karena sudah kehabisan tenaga.

Di sela-sela istirahat tersebut, saya melihat seorang turis asing juga duduk sendirian. Gerombolan anak SMA pun menghampirinya. Salah seorang anak menanyakan namanya dengan Bahasa Inggris yang medok.

Saya melihat keduanya pun saling tertawa. Si bule juga mampu menyederhanakan komunikasinya. Sementara sang anak sibuk mencatat perkataan si bule. Sepertinya, itu untuk tugas sekolah

Selamat dari kesasar dan perasaan aneh

Di sekitar situ, segerombolan bule juga baru turun dari lantai tiga Candi Borobudur, Magelang. Seorang tour guide berujar kini mereka bebas jalan-jalan karena tugasnya sudah selesai. Saat mata kami bertatapan, ia tersenyum dan saya pun mengikutinya. 

“Bapak, pintu keluar di sebelah mana ya?,” tanya saya sembari buru-buru mengejarnya karena jarak kami mulai agak jauh.

“Mbaknya ketinggalan rombongan?” tanya Darto.

Pengunjung yang ada di pelataran candi. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Oh nggak, Pak. Saya memang sendirian,”

“Oh gitu, kalau pintu keluar perlu jalan lagi ke sisi sana, tapi agak jauh.”

“Kalau mau ke pintu 7, Pak? Supaya dekat lewat mana ya? ”

“Turun lewat tangga arah gerbang masuk sebetulnya lebih dekat. Bareng saya saja karena pengunjung biasanya wajib lewat pintu keluar,”

“Boleh Pak? Terima kasih, ya.”

Lagi-lagi obrolan kami mengalir begitu saja hingga tak terasa kami sampai di lantai bawah tanpa cegatan. Saya pun mengucapkan terima kasih dan izin pamit. Dari perjalan tersebut, saya jadi sadar mungkin ini alasan masyarakat Indonesia terkenal ramah. 

Melansir dari akun Instagram Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), Indonesia menjadi salah satu negara teramah di dunia. Survei Local Friedliness 2024 menyebut keramahan masyarakat lokal dengan sesama dan orang asing menempati posisi kedua.

Oleh karena itu, saya tak lagi merasa aneh pergi sendirian liburan di tempat wisata, terutama di Candi Borobudur, Magelang. Berkat cerita dari Mukhlas, Supirah, turis asing yang bercengkrama dengan siswa SMA, dan Darto saya banyak belajar tentang kerja keras, pertemuan, perpisahan, dan hidup saling menolong.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Life Hack Liburan ke Candi dengan Budget Murah dan Nggak Bikin Kamu Bosan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.

Exit mobile version