Sebagai warga Surabaya yang merantau ke Jakarta untuk pertama kalinya, saya merasa terbantu dengan adanya commuter line atau Kereta Rel Listrik (KRL). Biayanya terjun bebas jika dibandingkan dengan ojek online. Namun, agaknya saya harus belajar lebih dulu sebelum tersesat dari Stasiun Tanah Abang menuju Stasiun Pasar Senen.
***
2023 lalu, saya mendapat panggilan kerja di Jakarta. Saya nekat melakukan wawancara sendiri tanpa tahu jalanan kota Megapolitan tersebut. Rupanya, tak cukup jika hanya bermodal Google Maps. Saya harus belajar peta rute KRL jika ingin berhemat, karena belum punya kendaraan pribadi.
Saya harus mempelajari rute tersebut dari awal, karena di Surabaya tak ada KRL. Belajar rute KRL lewat peta pun ternyata masih tak cukup. Saya harus beberapa kali mencoba langsung alias trial and error sebelum benar-benar paham. Jika tidak begitu, saya bakal nyasar dan ketinggalan kereta. Apalagi, kalau diburu waktu.
Lebih murah dengan KRL, Hanya Rp3 ribu
Sebagai seorang perantau asal Surabaya, yang baru dua kali ke Jakarta, saya belum begitu hafal seluk beluk jalanan ibu kota. Kebetulan, kantor tempat saya interview berada di kawasan Palmerah, Jakarta Barat. Jaraknya kurang lebih 10 kilometer dari Stasiun Pasar Senen, pemberhentian terakhir saya di Jakarta dari Surabaya.
Mulanya, saya menggunakan jasa ojek online untuk mencapai lokasi tujuan. Tarif yang saya keluarkan bikin kaget: sekitar Rp40 ribu. Angka ini cukup besar mengingat Rp340 ribu sudah saya habiskan untuk tiket kereta, belum termasuk pulang-pergi.
Setelah merampungkan proses interview di kantor daerah Palmerah tersebut, saya memutuskan kembali ke Surabaya untuk menunggu pengumuman lebih lanjut. Tujuan saya berikutnya pun adalah Stasiun Pasar Senen. Namun, mengingat besarnya biaya yang dikeluarkan untuk ojek online, saya pun memutuskan menggunakan moda transportasi lain.
Alhasil, KRL pun saya pilih mengingat tarifnya yang hanya Rp3.000 untuk sekali naik. Jauh lebih murah ketimbang harus mengeluarkan uang puluhan ribu untuk ojol. Namun, mengingat jarak kantor tempat saya interview dengan stasiun terdekat, yakni Stasiun Palmerah cukup jauh, saya harus berjalan kaki selama 15 menit.
Sialnya, pengalaman pertama saya menggunakan KRL ini cukup mengesalkan. Berkali-kali saya harus naik-turun kereta karena salah jalur. Padahal, kalau melihat dari peta jalur di aplikasi Commuter Line, saya merasa sudah benar.
Riuh ramai Stasiun Tanah Abang
Setelah 15 menit berjalan kaki, saya tiba di Stasiun Palmerah. Dari sana, saya menggunakan Kereta Rangkasbitung menuju Stasiun Tanah Abang pukul 12.00 WIB. Secara teori ini cukup mudah, tapi sejujurnya kondisi di stasiun membuat saya kebingungan sendiri, khususnya di Stasiun Tanah Abang sebagai tempat transit.
Kondisi Stasiun Tanah Abang sangat ramai, apalagi di jam-jam tertentu seperti saat orang berangkat kerja atau pulang kerja. Saat kereta listrik berhenti di Stasiun Tanah Abang lima menit berselang, saya turun bersama ribuan penumpang lain.
Sebagai informasi, untuk berpindah jalur, penumpang harus naik eskalator. Kala itu, suasana eskalator sudah sangat padat merayap sehingga orang-orang harus antre untuk turun. Sementara di peron seberang, KRL yang saya kira rute Tanah Abang-Cikarang (via Pasar Senen) sudah menunggu.
Saya pun makin terburu-buru untuk berebut ruang. Sayangnya, ketika sudah berada dalam kereta, saya baru menyadari kalau KRL yang saya naiki keliru. Ternyata, ini adalah kerete rute Tanah Abang-Cikarang (via Manggarai).
Alhasil, setelah melewati dua stasiun, Karet dan Sudirman, saya memutuskan turun di Stasiun Manggarai karena banyak penumpang lain juga turun. Di sini, saya merasakan kepanikan. Sebab, kereta yang akan membawa saya dari Stasiun Pasar Senen ke Surabaya berangkat pukul 14.30 WIB.
Kelimpungan di Stasiun Manggarai
Di Stasiun Manggarai, orang-orang tampak sibuk untuk transit ke kereta lain, tapi saya tampak tak peduli. Sebab, jika melihat peta KRL di aplikasi, saya seharusnya naik kereta dari stasiun tersebut menuju ke Matraman, kemudian transit di Jatinegara. Barulah dari Jatinegara kereta berjalan menuju Pondok Jati, Kramat, Gang Sentiong, baru kemudian sampai di Stasiun Pasar Senen.
Tapi, untuk memastikan asumsi tersebut, saya pun bertanya kepada petugas, “kalau mau ke Pasar Senen, naik kereta arah mana?”
“Seharusnya kakak tadi naik via Pasar Senen,” ucap petugas itu. “Lebih cepat, dan nggak bingung turunnya,” lanjutnya.
Jawaban ini tak terlalu memuaskan. Namun, saat ingin bertanya lebih lanjut, petugas itu malah meninggalkan saya. Dia terlihat sibuk mengurus penumpang lain. Saya yang panik karena takut ketinggalan kereta, malah naik jalur via Manggarai lagi–mengikuti asumsi saya di awal.
Sayangnya, perasaan saya tiba-tiba jadi tak tenang saat kereta berhenti di Stasiun Jatinegara. Bukannya melaju ke arah Pasar Senen, kereta malah berjalan ke rute sebaliknya: Stasiun Klender, Buaran, Klender Baru, Cakung, dan seterusnya–yang jika diteruskan akan berhenti di Cikarang.
Saya pun merasa ada yang tidak beres. Jam di gawai juga sudah menunjukkan pukul 14.15 WIB, alias 15 menit lagi kereta saya dari Pasar Senen ke Surabaya sudah berangkat. Di tengah ketidakpastian ini, saya pun memutuskan turun di Stasiun Cakung. Lalu, menggunakan aplikasi ojek online menuju Pasar Senen.
Sayangnya, saya sudah terlambat. Kereta saya sudah berangkat 7 menit yang lalu. Alih-alih ingin berhemat menggunakan KRL, saya malah merogoh kocek lebih besar menggunakan ojek online dan membeli tiket kereta baru. Sungguh sial.
Saran untuk pengguna KRL pertama
Berdasarkan pengalaman saya tersebut, sebaiknya para pengguna KRL tidak malu bertanya, baik kepada petugas maupun penumpang lain yang lebih paham. Jika hanya mengandalkan peta dalam aplikasi, tapi tidak paham rute hasilnya tetap saja nyasar.
Bagi saya, pengalaman ini adalah manifestasi yang sebenarnya dari pepatah “Malu bertanya sesat di jalan”. Sebab sebetulnya, ada banyak petugas yang berjaga dan dapat dimintai tolong. Jangan menyerah bertanya hanya pada satu petugas!
Sebagai informasi, bagi kalian yang ingin menggunakan KRL untuk pertama kalinya ada banyak fitur yang bisa digunakan. Misalnya, menggunakan Gojek. Kamu bisa memakai fitur go transit dan menggunakan go pay untuk pembayaran. Sebelum masuk ke stasiun kamu bisa melakukan scan barcode yang ada di aplikasi gawai milikmu.
Selain itu, ada metode lain yang bisa digunakan untuk pembayaran, misalnya Kartu Multi Trip (KMT), Commuterpay, Uang Elektronik Bank, atau aplikasi yang menyediakan fasilitas scan barcode. Pastikan saldo mencukupi.
Saya sendiri pengguna Kartu Multi Trip (KMT). Kartu ini saya buat langsung dari mesin yang ada di stasiun. Sementara, saldonya bisa diisi di loket stasiun, Vending Machine, dan channel top up lain yang bekerjasama dengan PT Commuter Indonesia.
Kartu itu kemudian ditempel di bagian depan stasiun sebelum gate in. Tunggu hingga lampu indikator berubah menjadi hijau, baru bisa masuk.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: 5 Cara Bertahan dalam Huru-Hara KRL yang Mirip Pertarungan Hidup dan Mati atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.