Kekesalan Orang Surabaya karena Tingkah Warga Jogja yang Terkesan Merendahkan, Mending Chill Ketimbang Adu Argumen

Merantau dari Surabaya ke Jogja. MOJOK.CO

Ilustrasi - kecewa merantau dari Surabaya ke Jogja karena upah kecil. (Ega Fansuri/Mojok.co)

Pertama kali menginjakkan kaki di Jogja untuk merantau, Dea* (23), warga asli Surabaya sudah merasa jengkel. Bagaimana tidak, bukannya mendapat dukungan dari orang sekitar, pilihan Dea selalu dipertanyakan bahkan dari orang yang tidak ia kenal.

“Kenapa kok pilih kerja di Jogja? Bukannya kerja di Surabaya lebih ‘sejahtera’?” tanya seorang sopir ojek online yang berusaha ramah terhadap penumpangnya, tapi malah bikin Dea kesal.

“Ya mungkin karena rezekinya di sini,” jawab Dea nyengir, tanpa ingin memperpanjang pembahasan. 

Sementara, saya yang duduk di bangku belakang hanya menyungging senyum mendengarkan percakapan antara Dea dan Pak sopir. Pada Senin malam (17/2/2025), saya memang bertugas menjemput Dea dari Stasiun Lempuyangan, Jogja untuk menginap sementara di kosan saya, hingga ia menemukan kosan yang srek di hatinya.

Saya yang juga warga asli Surabaya paham betul, betapa dongkolnya Dea pada saat itu, meski ia sendiri tahu jika sang sopir tidak bermaksud meremehkan. Namun, bagi Dea, pertanyaan itu begitu menohok hatinya.  

Ia merasa tersinggung sebab keputusannya merantau ke Jogja tergolong sulit. Ia telah mengorbankan banyak hal. Bukannya lebih semangat ketika sudah ada di Jogja, pertanyaan dari Pak sopir justru membuatnya ragu untuk “menetap”.

“Rasanya ingin pulang saja, tapi ya aku tahu percakapan tadi cuman basa-basi,” ucap Dea.

Apa yang dilalui Dea juga pernah saya alami. Ada saja warga Jogja yang menanyakan, kenapa saya tidak memilih bekerja di Surabaya, alih-alih memilih Jogja. Jawaban saya pun sama seperti Dea: mungkin kesempatan saya memang di sini. Saya tidak ingin bercerita panjang lebar.

Merantau bukanlah keputusan asal-asalan

Padahal, Dea baru saja mendapatkan kerja di Kota Pelajar, setelah menolak beberapa tawaran di Kota Pahlawan. Jadi, keputusannya merantau bukan tanpa alasan tapi penuh pertimbangan. 

Sopir ojek online tadi sebetulnya tidak sepenuhnya salah. Ia memang tidak tahu tentang kejadian yang baru saja Dea alamai. Hampir dua bulan, sebelum Dea diterima di perusahaan yang ada di Jogja. Dea baru saja terkena layoff dari tempat kerjanya yang ada di Surabaya.

Padahal, ia baru saja mendaftar kuliah dan berencana membayar biaya pendidikannya dari sana. Namun, hidup memang kadang-kiding. Apa yang sudah Dea rencanakan jadi berantakan. 

Belum selesai soal putus kerja, ia juga putus cinta. Pengalamannya menggambarkan jelas paribahasa sudah jatuh tertimpa tangga. Ia harap, jarak yang semakin jauh dengan sang mantan dapat mengobati hatinya.

Lak jare konco-koncoku, yoman. Yo opo maneh (kalau kata teman-temanku, yoman. Ya sudah, mau bagaimana lagi),” ujarnya.

Oleh karena itu, awal tahun 2025 adalah waktu yang krusial baginya untuk mengambil keputusan, termasuk saat menerima tawaran untuk bekerja di Jogja. Ia pun sempat menimbang-nimbang jumlah gaji yang didapat dengan biaya kebutuhan hidup saat merantau. Tak bisa dipungkiri, jika UMR Jogja lebih kecil dua kali lipat dari UMR Surabaya. 

Namun, bagi Dea, ada nilai lebih saat ia memutuskan merantau dan bekerja di sebuah agensi di Jogja. Ia juga sempat berdebat dengan orang tuanya perihal keputusannya tersebut. Meski ada rasa berat di hati orang tuanya, Dea tetap ingin membuktikan bahwa pilihannya datang ke Jogja tidak salah. 

Kalaupun gagal, itu urusan nanti. Setidaknya ia sudah mencoba. Oleh karena itu, tak seharusnya warga Jogja sekonyong-konyong bertanya, kenapa Jogja? Terlebih pada hal-hal yang sudah jelas minusnya, yakni perkara UMR.

Jangan tanya soal gaji

Baca Halaman Selanjutnya

 Jangan tanya masalah gaji Jogja vs Surabaya 

Mudik lebaran kali ini tentu terasa berbeda baginya. Untuk pertama kalinya, Dea war tiket libur lebaran dari Jogja ke Surabaya dengan kereta api. Yang lebih penting lagi, ia harus mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan dari keluarga besar.

Ia harus siap secara mental jika keluarganya masih mengungkit soal keputusannya merantau. Terutama saat ditanya soal gaji. Jujur saja, jumlah pendapatannya yang sesuai UMR Jogja ngepres sekali untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Selama satu minggu bekerja di salah satu perusahaan Jogja, Dea sempat bertanya ke rekan-rekannya, bagaimana cara mereka mengatur keuangan? Bukannya jadi lebih terarah, ia justru shock saat mendengar gaji karyawan selainnya yang juga baru masuk lebih dari tiga bulan dibandingkan dirinya.

“Ternyata gaji kami beda-beda dan hal itu seperti pantangan sebetulnya. Aku kapok bertanya soal keuangan,” ujar Dea, karena tak lama setelah peristiwa tersebut Dea merasa makin kikuk di tempat kerja.

“Kalau mengeluh ke orang tua, malah disuruh pulang, ‘wes ta? Sek kuat? (Sudahkah? Masih kuat?)’” ujarnya menirukan pertanyaan sang ayah saat mereka saling videocall, tapi ya sudahlah, Dea ingin menghadapinya dengan chill. 

Jogja darurat sampah itu permasalahan klise

Masalah lain yang membuat Dea dan saya dongkol sebagai warga asli Surabaya yang tinggal di Jogja adalah sampah. Di daerah tempat kosan saya, sampah menjadi perkara yang pelik. Bayangkan saja, asap hasil membakar sampah kadang langsung tercium saat keluar kosan. Perih!

Seketika saya membatin, apakah di Jogja tidak ada orang yang rutin mengangkut sampah? Sebab, selama saya tinggal di Surabaya, saya selalu melihat petugas kebersihan yang sudah rutin mengangkut sampah dengan gerobaknya, bahkan menyapa warga sekitar. 

Bukan ibu kos yang sedang membakar sampah di halaman kos sebelah. Sungguh, merusak suasana Jogja yang syahdu karena pemandangan sawah dan gunung. 

Dinas Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta mencatat sektor rumah tangga menjadi penyumbang sampah terbesar di Kota Jogja. Faktor yang bikin menumpuk, karena adanya pertumbuhan penduduk dan pariwisata. Sedangkan, pemerintah Jogja dinilai belum bisa mengelola sampah dengan efisien, belum lagi sampah plastik yang sulit terurai. Juga keterbatasan lahan untuk pengelolaan sampah. 

Dosen Departemen Teknik Kimia UGM, Chandra Wahyu mengatakan sudah banyak peraturan yang harapannya dapat menangani permasalahan tersebut, mulai dari Undang-Undang sampai Peraturan Daerah. Namun, sistem pengelolahannya masih jauh tertinggal dari negara lain.

“Statusnya sudah darurat, tapi masyarakat belum juga tumbuh kesadaran untuk minimal memilah sampah, jadinya malah muncul masalah baru seperti tiba-tiba ada titik baru yang dijadikan tempat pembuangan sampah ilegal,” tutur Chandra dikutip dari laman resmi UGM, Rabu (26/3/2025).

Klitih vs begal, kriminalitas yang ada di tiap daerah

Selain perbedaan UMR dan masalah sampah, saya merasa tak aman berkendara di Jogja terutama pada saat malam hari. Terutama kalau sudah masuk ke jalanan desa. 

Di Surabaya, saya tidak harus melewati jalanan gelap tanpa lampu jalan di tengah-tengah sawah. Yang ada justru lampu-lampu kota yang masih menyala dan kafe-kafe yang masih buka dan digandrungi anak muda. Walapun, beda tempat pasti beda suasana.

Tapi, sebagai perantau asal Surabaya yang baru tahu tentang maraknya klitih di Jogja, saya cukup was-was. Walaupun di Surabaya tingkat kriminalnya tidak jauh berbeda, kalau di sana sering disebut begal.

Namun, seperti yang saya katakan tadi, suasana jalanan malam di Jogja terasa lebih mencekam. Kalau biasanya saya bisa pulang sebelum lewat pukul 23.00 WIB di Surabaya, saya lebih memilih membatasi diri untuk keluar malam di Jogja karena jalannya yang sudah lengang dan gelap.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Ahmad Effendi

BACA JUGA: Perbedaan Pengemis Malang dan Jogja, Dua Kota yang Menjadi Surganya Pengemis Meresahkan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version