Ada banyak cerita yang masuk ke reporter Mojok (bisa dibaca di rubrik Liputan) perihal betapa kontradiktifnya kondisi anak yang kuliah dengan orangtuanya di rumah. Sang anak bisa tanpa beban mengejar gelar sarjana. Sementara orangtua harus hidup dalam “kepura-puraan” meski tertekan dari banyak sisi, dari urusan UKT, kiriman uang bulanan ke anak, hingga kesepian.
Dari sekian cerita, setidaknya beginilah kebohongan atau kepura-puraan orangtua demi mewujudkan keinginan anak menjadi seorang sarjana.
Pura-pura ikut gembira, padahal batin nelangsa
Pengumuman SNBP atau UTBK-SNBT menjadi momen paling dinanti oleh calon mahasiswa baru. Itu adalah hari ketika seorang anak bisa sangat gembira karena keterima di kampus impian atau galau setengah mati karena dinyatakan gagal.
Ketika dinyatakan lolos, yang terjadi jelas adalah kegembiraan. Juga perasaan tak sabar mengenakan almamater kampus, menyandang gelar mahasiswa, lalu kelak bisa berstatus sebagai sarjana.
Namun, orangtua bisa saja sebaliknya. Orangtua hanya bisa ikut pura-pura bahagia. Padahal, di lubuk hati terdalam, batin mereka benar-benar nelangsa. Dilema.
Di satu sisi, mereka senang karena anaknya lolos sekaligus bakal menjadi mahasiswa. Tapi di sisi lain, mereka harus berfikir keras: Cari uang dari mana lagi agar bisa membiayai kuliah sang anak sampai tuntas?
Pada akhirnya, mereka harus bekerja lebih keras. Sementara sang anak bisa menikmati kesibukannya menjadi mahasiswa dengan tanpa beban sama sekali.
Demi anak jadi sarjana: bilang sanggup bayar UKT padahal megap-megap
Mojok pernah berbincang dengan seorang bapak yang sedianya tidak cukup duit untuk menguliahkan sang anak. Akan tetapi, karena menjadi sarjana adalah impian sang anak, sang bapak tidak punya jawaban lain selain mengiayakan.
Alhasil, seorang bapak yang seorang sopir truk tersebut hanya bisa pura-pura punya uang tiap kali sang anak meminta kiriman uang bulanan atau jatah UKT. Padahal, aslinya, untuk mendapat uang tersebut, orangtua di rumah sampai harus ngutang sana-ngutang sini.
Tak hanya itu, orangtua di rumah juga harus hidup sangat prihatin. Uang yang mereka punya sudah dikirim ke sang anak (entah untuk kiriman uang bulanan atau UKT). Hanya tinggal sisa-sisa yang tak seberapa.
Dengan uang sisa itulah mereka bertahan hidup. Makan seadanya. Bahkan menahan laparpun tidak jadi masalah.
Baca halaman selanjutnya…
Minta anak jangan telat makan, padahal orangtua kelaparan
Minta anak jangan telat makan, padahal sendirinya kelaparan
Sering kali saat menelepon anaknya yang tengah kuliah di luar kota, setidaknya ada dua hal yang selalu ditanyakan paling pertama. Satu, kondisi sang anak sehat atau tidak? Dua, sudah makan atau belum?
Apapaun jawaban sang anak, orangtua akan memberi dua pesan utama pula. Satu, jagalah kesehatan. Dua, jangan sampai telat makan.
Bahkan, untuk pesan nomor dua, ada tipikal orangtua yang “sok” meminta agar sang anak tidak berhemat-berhemat amat. Jangan suka menahan diri jika ingin membeli sesuatu. Kalau uang habis bilang agar bisa lekas dikirim.
Padahal, berpesan demikian sama halnya dengan menimpakan beban berat di pundak sendiri. Sebab, jika pesan itu benar-benar dilakukan si anak, maka yang terjadi adalah keuangan untuk hidup di rumahlah yang akan makin menipis. Apalagi jika si anak mengabari kalau uangnya habis dan ingin dikirimi sebelum waktunya kiriman bulanan.
Mengaku baik-baik saja padahal kesepian
Kepura-puraan lain, lewat sambungan telepon, orangtua selalu menjawab dalam kondisi baik ketika ditanya kabar oleh si anak. Padahal, sebenarnya tidak baik-baik amat.
Perasaan paling “mak deg” adalah ketika si anak mengabari kalau dia belum bisa pulang kendati sedang libur panjang.
Orangtua mungkin akan menjawab tidak apa-apa. Akan tetapi, dada mereka tiba-tiba menjadi sesak bukan main. Pasalnya, momen libur kuliah biasanya sangat dinanti orangtua karena terlampau kangen dengan anak.
Seiring dengan kabar kalau si anak tidak bisa pulang, maka kangen itu masih harus mereka simpan lebih lama lagi.
Bahkan, jauh sebelum itu, ketika awal-awal anak hendak pergi meninggalkan rumah—untuk mengejar gelar sarjana—orangtua bisa tampak sangat tegar melepas kepergian si anak. Tapi setelahnya, hati mereka tiba-tiba terasa sangat kosong. Hanya bersisa kesepian yang teramat dalam.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Tinggalkan Skripsi Gara-gara Urusan Asmara, Berujung DO dan Sakiti Ibu hingga Susah Cari Kerja
