Perayaan Mati Rasa menggambarkan keresahan dari Ian Antono yang diperankan oleh Iqbaal Ramadhan sebagai anak pertama. Beban dan tanggungjawabnya dalam keluarga, mimpinya membahagiakan mereka, bahkan perasaan kalah terhadap dirinya sendiri.
Film bertema keluarga ini diproduksi oleh Sinemaku Pictures. Dari nama rumah produksinya saja, kita sudah bisa menduga topik-topik apa saja yang akan diangkat oleh Umay Shahab–sutradara film ini.
Menengok dari garapan film Umay sebelumnya yang tayang di layar lebar, seperti Kukira Kau Rumah (2021) atau Ketika Berhenti di sini (2023), film ini tak jauh berbeda dengan tema tersebut. Yakni tentang keresahan gen Z, isu kesehatan mental, hingga konflik antar anggota keluarga.
Mengambil konsep laut lepas
“Zona Abisal,” kata Ian membuka monolognya dalam film Perayaan Mati Rasa. Suaranya datar. Nyaris tanpa emosi, tapi dari kalimat tersebut kita diajak tenggelam bersama sosoknya yang merasa terasing dari dunia.
Sebagai pembuka, Umay juga menggunakan lagu band fiktif dari film tersebut yakni Midnight Serenade yang berjudul “Laut”. Di band indie tersebut Ian berperan sebagai gitaris. Band itu ia bentuk bersama tiga orang temannya, Ray (Devano Danendra), Dika (Randy Nidji), dan Saka (Dul Jaelani).

Ian selalu sibuk berlatih dengan bandnya. Sampai-sampai, saat ayahnya, Satya (Dwi Sasono) pulang ke rumah hanya untuk beberapa hari, Ian seolah tak peduli. Oleh karena itu, keluarganya menganggap Ian mulai menjauh. Sibuk dengan dunianya sendiri.
Maklum, ayah Ian adalah seorang pelaut yang sering berlayar di laut lepas. Oleh sebab itu, ayahnya jarang pulang bahkan hingga berbulan-bulan. Sementara, ayahnya selalu berpesan, agar Ian bisa menjadi anak sulung yang dapat diandalkan. Di sisi lain, Ian merasa tak pernah diberitahu caranya. Ia pun mulai kebingungan.
Dari situ terlihat kedekatan emosi antara Ian dan ayahnya merenggang. Terlebih, kepercayaan dirinya makin memudar ketika melihat adiknya, Utha (Umay Shahab) lebih sukses darinya.
Utha, mahasiswa akhir yang masih menggarap skripsi sudah bisa bersinar berkat menjadi podcaster. Alih-alih ikut bangga, Ian justru merasa “kalah”, sebab bandnya tak kunjung bersinar. Padahal, mereka sudah sering berlatih dan mengikuti audisi, tapi lagu-lagu bertenaga mereka kurang populer.
Makna tenggelam dari Perayaan Mati Rasa
Sejak awal, film ini sudah mengundang emosi sedih, marah, dan hampa bercampur aduk. Namun, perasaan penonton masih harus dikoyak saat Ian menjumpai zona batial. Zona laut yang tidak bisa ditembus oleh sinar cahaya matahari.
Di sini, keluarga Ian mengalami tragedi bertubi-tubi. Untuk menggambarkan tragedi tersebut, Junisya Aurelita, Santy Diliana, Rezy Junio, dan Umay Shahab selaku pembuat naskah, hanya memerlukan satu kata “tenggelam”.
Alih-alih menggunakan baris kalimat yang berlebih, Umay berfokus pada ekspresi para pemainnya. Maka tak jarang, sering ada teknik pengambilan gambar berupa close-up.
Di beberapa scene, teknik pengambilan tersebut berhasil. Iqbaal sebagai tokoh protagonis dalam film tersebut berhasil menunjukkan keputusasaan seorang Ian, tangis berupa sesak yang menunjukkan penyesalan, dan kebingungan harus bagaimana menjalani kehidupan selanjutnya.
Menyajikan visual yang hangat
Secara visual, Perayaan Mati Rasa memberikan kesan hangat kepada penonton. Di sisi lain, sang sutradara juga tak lupa menambahkan teknik wide shot dengan menampilkan keseluruhan subjek.
Penggunaan teknik ini bisa dilihat saat Iqbaal berdiri sendirian di atas kapal, di antara kapal-kapal besar, menatap laut lepas di depannya. Ia menyadari bahwa kebohongan-kebohongan yang selama ini ia lakukan terhadap ibunya, Dini (Unique Priscilla) justru memperkeruh keadaan.
Selain Iqbaal, akting Unique Priscilla berhasil menjadi penggerak emosi utama di babak ketiga, yakni zona neritik. Zona yang bisa menemukan Ian dengan sinar cahaya matahari. Perbatasan pasang surut terluar. Di sana, Ian seolah bisa bernapas lega di antara sesaknya kehidupan.
Siapkan tisu untuk menonton Perayaan Mati Rasa
Butuh waktu cukup lama hingga Ian tiba di zona litoral. Di mana, air laut tetap mengalami pasang surut. Menggenang ketika pasang naik, dan menyebabkan batas wilayahnya tidak pasti.
Scene ini digambarkan dengan epik saat Dian berdiri sendirian di tepi pantai, lalu Ian dan Utha menghampirinya. Ketiganya berpelukan dan saling memaafkan. Ian mulai sadar ternyata hidup adalah keseimbangan.
Hanya saja, sebelum sampai ke sana, film berdurasi 2 jam 5 menit ini butuh waktu terlalu lama hingga ke menu utama, yakni usaha Ian dan keluarganya menghadapi duka. Sebab, terlalu banyak jumping yang memaksa penonton untuk merasa sedih kembali bahkan terasa hambar.
Dengan kata lain, terlalu banyak porsi adegan flashback, seperti saat Ian menonton vlog lama ayahnya atau saat ia teringat masa kecilnya. Di mana, ayahnya mengajak mereka berkeliling ke kapal yang akan ia nakhodai.
Selain itu, ada adegan yang menyentil agensi industri musik. Selain sedikit keluar dari tema, adegan itu malah menjadi boomerang. Sebab, alih-alih mengingatkan bahwa ada agensi yang menjual kesedihan dari sebuah cerita, bukankah film Perayaan Mati Rasa juga sama?
Sebelum film ini tayang pada Rabu (29/1/2025), Sinemaku Pictures bahkan sudah melakukan promosi besar-besaran dengan membuat social experiment di Youtube. Tayangan itu berisi cerita sedih dari orang-orang yang berusaha untuk pulih.
Terlepas dari itu, Perayaan Mati Rasa berhasil menjadi katarsis bagi orang-orang yang memendam luka dan merasa tenggelam dalam hidupnya. Film ini mengajarkan bahwa untuk sembuh dari luka itu, seseorang butuh kejujuran untuk menghadapinya.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Keluhan Terpendam dari Anak Pertama untuk Ibu yang Tak Pernah Mengajaknya Ngobrol atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.