Merantau adalah fenomena lumrah di Indonesia. Juga sama lumrahnya ketika perantau rindu pulang kampung dan ingin kembali menetap di desa asal. Kelumrahan lain, ketika pulang, keresahan mulai muncul. Rasa-rasanya ada begitu banyak masalah di desa asal. Namun, jika ingin membuat perubahan, harus mulai dari mana?
Itulah yang dihadapi Rasmadi Didik Aryadi, sekarang Kepala Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Ia sudah 30 tahun merantau ketika akhirnya pulang pada 2019 silam. Dengan tidak disengaja, jalan hidupnya berubah dari pekerja konstruksi menjadi kepala desa yang punya ide mewujudkan sistem pengelolaan desa berbasis… ehem… big data.
Mungkin ini akan terdengar seperti jargon politisi. Simpan dulu sangkaan itu sampai kamu selesai membaca kisah Desa Rahtawu ini.
***
Desa tempat Didik berasal bernama Rahtawu, letaknya di ujung paling utara Kabupaten Kudus, hanya deretan Pegunungan Muria dengan Kabupaten Jepara. Berada pada ketinggian 500 hingga 1.600-an meter di atas permukaan laut, perbukitan menjulang tinggi mengelilingi desa, hawa sejuk berembus ke seantero desa, sungai-sungai jernih dan dingin dari mata air Pegunungan Muria mengalir membelah desa, menjadi sumber air bersih bagi sekira 5.000 penduduk.
Pertanian dan perkebunan menjadi pekerjaan utama penduduk desa. Jagung, tebu, singkong, padi, dan empon-empon menjadi tanaman semusim yang biasa disemai warga. Kopi, randu, dan beberapa jenis buah-buahan menjadi komoditas andalan dari sektor perkebunan.
Sudah sejak lama Desa Rahtawu kerap dikunjungi orang-orang dari luar desa. Mereka datang terutama untuk mengunjungi petilasan pertapaan yang banyak terdapat di Rahtawu. Berdasarkan pendataan terbaru yang disusun oleh tim Geographic Information System (GIS) desa ini, ada sekira 55 petilasan dan pertapaan besar di Rahtawu yang sekarang masih rutin dikunjungi peziarah. Jika digabung dengan petilasan dan pertapaan kecil-kecil yang banyak tersebar di desa, jumlahnya lebih dari 100. Puncak kunjungan peziarah ke Desa Rahtawu terjadi pada 1 Suro. Di malam 1 Suro tahun lalu saja jumlah peziarah yang didata mencapai 70 ribu orang, padahal dalam suasana pandemi.
Kondisi ini membikin Desa Rahtawu jauh-jauh hari sudah ditetapkan sebagai desa rintisan wisata. Tahun lalu status desa rintisan wisata itu berubah menjadi desa wisata lewat surat keputusan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.
Tanah yang subur, bentang alam yang indah, desa yang hampir selalu ramai dikunjungi para peziarah yang secara langsung menggerakkan perekonomian desa—semua itu tak berhasil menahan Didik tetap tinggal di Rahtawu. Selepas lulus SMP ia malah merantau ke Demak untuk jadi nelayan.
Memasuki usia 17 tahun, Didik memberanikan diri merantau ke Jakarta. “Kerja apa saja yang memungkinkan dan halal saya coba. Jadi pedagang asongan pernah, kerja di konveksi pernah, kerja di pabrik minuman limun pernah, yang paling lama ya di bidang konstruksi, mulai dari paling awal jadi kuli bangunan,” Didik mengenang masa lalu ketika kami mengobrol beberapa waktu lalu.
Ia sempat pulang sebentar usai menikah dengan seorang perempuan sekampung. Usai menikah, ia bekerja menjadi pebalok, mengangkut kayu-kayu dari hutan untuk dibawa ke desa, ke gudang-gudang kayu milik pemodal di desa. Kurang dari satu tahun tinggal di Rahtawu, Didik kembali merantau ke Jakarta, kali ini fokus di bidang konstruksi.
Mulanya ia menjadi kuli, kemudian naik tingkat menjadi kenek, lantas menjadi kepala tukang, kemudian dipercaya menjadi subkontraktor, hingga akhirnya berhasil meningkat menjadi kontraktor. Proses dari kuli hingga menjadi kontraktor ia tempuh selama sekira 11 tahun, mulai dari 1994 hingga 2004.
“Seharusnya proses itu bisa lebih cepat. Waktu saya jadi kuli baru setahun, bos konflik sama tetangganya karena rumahnya bocor dan bocornya sampai mengganggu rumah tetangga. Sudah beberapa tukang coba beresin kebocoran itu, tapi selalu gagal. Kebetulan pas saya coba, berhasil. Setelah itu akhirnya bos percaya ke saya, saya nggak jadi kuli lagi, langsung dikasih proyekan. Tapi namanya sedang di atas angin, ada saja cobaannya, belum genap setahun naik posisi, saya kena masalah, putus hubungan dengan bos, balik lagi jadi kuli. Pindah wilayah kerja ke Bogor, nggak lagi di Jakarta,” ujar Didik sembari membetulkan posisi masker hitam yang ia kenakan.
Begitu pekerjaannya makin mapan, Didik jadi lebih sering pulang ke Rahtawu. Sebelumnya ia pulang saat Lebaran saja. Ia juga mulai kerap memberi santunan untuk anak yatim di desanya serta mengirim bantuan untuk korban bencana saat desanya mendapat musibah. Di balik bentang alam yang indah, sistem pertanian di Rahtawu membuat desa ini rawan longsor dan banjir bandang saban musim hujan.
Beberapa tahun kemudian Didik berangkat haji dari Kudus. Momen itu membuatnya mengenal banyak orang baru dari desa lain di Kudus. Kelak, aktivitas sosialnya di desa serta kenalan-kenalan baru saat menunaikan ibadah haji ini berperan besar mengantar Didik menjadi kepala desa Rahtawu.
“Saya memang mau membangun desa saya, tetapi yang terpikir di kepala saya ya lewat kerja-kerja sosial seperti yang saya lakukan sebelumnya. Nggak pernah sekalipun terpikir buat jadi kepala desa. Terus seminggu sebelum pendaftaran kades ditutup, saya ikut ziarah ke makam sunan-sunan di Jawa. Pesertanya teman-teman saya pergi haji. Sekalian reunian. Sepanjang perjalanan mereka malah maksa-maksa saya buat ikut pilkades di desa. Habis ziarah, saya pulang ke Bogor, izin ke istri dan anak-anak buat daftar jadi kades di Rahtawu. Mereka ragu, tapi saya bismillah saja sudah.
“Orang tua saya sampai sehari sebelum pendaftaran ditutup masih belum mengizinkan saya daftar jadi calon kades. Sembari menunggu izin orang tua, saya nggak pulang ke Rahtawu, saya nunggu di Gripta (salah satu hotel di Kudus).”
Kamis malam, izin dari orang tua akhirnya keluar. Pada hari Jumat, hari terakhir pendaftaran calon kepala desa, Didik menjadi orang ke-12 yang mendaftar sebagai calon kades. Total, ada 13 orang yang mencalonkan diri. Ini jumlah calon kepala desa terbanyak di Provinsi Jawa Tengah pada 2019. Bisa jadi juga di Indonesia karena saat itu momen pilkades serentak.
Banyaknya calon kepala desa tak lepas dari permainan politik salah satu calon yang sangat berambisi menang. Butuh tulisan khusus untuk membahas perpolitikan desa terkait polemik, intrik, serta permainan politik sepanjang proses pencalonan ini. Intinya, usai mendengar cerita Didik saya jadi berpikir permainan politik ini justru menguntungkan Didik yang saat itu baru delapan bulan pulang kampung. Padahal ia adalah sosok yang tak sepopuler calon lain. Lha wong pada kampanye hari terakhir Didik mengadakan istigasah, beberapa warga malah menyangka Didik itu kiai yang akan mengisi karena tanpa sengaja pakaian yang mereka kenakan mirip.
Di hari pencoblosan Didik berhasil meraih 73 persen suara. Ia menang mutlak.
Kerja cerdas, jangan melulu kerja keras
Didik dilantik pada Desember 2019 untuk masa jabatan enam tahun. Begitu resmi jadi kades,
tanpa menunggu hari berganti Didik langsung menyambangi lawan-lawan politiknya di pilkades. Ia mengajak mereka semua untuk sama-sama membangun desa. Ada yang menyambut dengan baik, ada pula yang memilih menyingkir dari desa dan pindah menetap ke desa lain.
Persis 30 tahun usai merantau meninggalkan desa, Didik terpilih menjadi kepala desa. Kondisi ini membikin ia tidak lagi betul-betul mengenal desanya. “Tiga puluh tahun saya merantau, pulang paling sesekali saja, yang pasti waktu Lebaran. Tiap kali pulang nggak pernah lama-lama. Jadi dengan desa seluas ini, medan yang susah juga, sejujurnya saya nggak terlalu kenal desa saya lagi,” kenang Didik. Total luasan Desa Rahtawu sekira 2.000,7 hektare. Luas kira-kira setara dengan tiga ribu lapangan sepak bola dijejer-jejer. Sebanyak 1.611 hektare lahan desa adalah milik perorangan, lalu sisanya tanah Perhutani.
Untuk menyiasati minimnya pengetahuan tentang seluk-beluk desa yang ia pimpin, Didik membayangkan memiliki sebuah “big data” desa yang menghimpun seluruh informasi yang ia butuhkan. Lewat penelusuran di internet dan obrolan dengan pendamping desa, Didik menemukan solusi jitu untuk kebutuhan “big data” yang ia bayangkan. Solusi itu berupa data berbasis spasial bernama Geographic Information System (GIS).
“Ketika terpilih jadi kades, saya membayangkan punya big data tentang Rahtawu. Fungsi utama big data itu dua: satu, sebagai bahan utama bagi saya untuk kenal desa saya secara utuh. Dua, sebagai alat untuk menemukan permasalahan-permasalahan yang ada di desa, mengurai permasalahan-permasalahan itu, lalu menyusun program-program kerja yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang dihadapi desa ini. Kalau permasalahan-permasalahan itu selesai, selanjutnya saya dan aparat akan lebih mudah menyusun program-program untuk membangun desa ke depannya.”
“Di bidang pariwisata misalnya, sudah cukup lama desa ini masuk kategori desa rintisan wisata, kemudian naik tingkat jadi desa wisata. Nyatanya pengunjung belum banyak tertarik ke sini. Setelah kita punya big data, kita akhirnya tahu permasalahan yang menyebabkan desa wisata ini seperti jalan di tempat. Ada permasalahan kepemilikan lahan wisata di sana, permasalahan sampah yang menghambat wisata, dan tata kelola area wisata yang dikuasai perorangan sehingga masyarakat banyak tidak dapat jatah kue pariwisata ini. Itu kami temukan usai Tim GIS bekerja dan mengumpulkan data-data. Big data ini memungkinkan kami untuk kerja cerdas, bukan melulu kerja keras.”
Ada banyak sekali definisi GIS yang dikemukakan oleh para ahli dan pengguna sistem ini. Salah satu definisi GIS yang saya kira sangat mewakili dengan apa yang dikerjakan Didik di Rahtawu adalah definisi yang dirumuskan oleh Murai pada 1999: GIS adalah sistem informasi terkomputerisasi yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan, memanggil kembali, mengolah, menganalisis, dan menghasilkan data berbasis geografis atau data geospasial untuk mendukung pengambilan keputusan dalam perencanaan dan pengelolaan penggunaan lahan, sumber daya alam, lingkungan, transportasi, dan fasilitas publik serta pelayanan umum lainnya.
Tiga bulan Didik jadi kepala desa, Indonesia dihantam pandemi Covid-19. Skema penganggaran yang sudah disusun langsung berantakan. Ini terjadi karena banyak pos-pos pendanaan yang fungsinya diubah dan dialihkan untuk penanganan pandemi di desa. Mulanya ini betul-betul mengganggu kinerja Didik dan aparat desa yang baru terpilih. Tetapi pada akhirnya Didik bisa memanfaatkan momen pandemi ini untuk bisa segera mewujudkan big data yang ia butuhkan.
Ia lalu memutuskan menetapkan tahun 2020 sebagai tahun perencanaan. Tahun di mana perencanaan-perencanaan program desa disusun dengan dua cara: dengan matang atau dengan sangat matang. Tak ada kerja-kerja lain kecuali fokus menyusun perencanaan dan kerja-kerja pelayanan kepada masyarakat di balai desa. Ini di luar program bantuan-bantuan yang menyertai program penanggulangan pandemi Covid-19 yang berlaku nasional.
Awal mula penyusunan perencanaan itu, tentu saja kebutuhan mengumpulkan big data tadi. Didik kemudian menyewa jasa konsultan ahli di bidang GIS, merekrut 18 orang pemuda Karang Taruna yang sudah lama mati suri, kemudian meminta tenaga ahli melatih 18 orang pemuda itu untuk mengerjakan kebutuhan sistem informasi desa berbasis GIS. Agustus 2020 kegiatan ini dimulai. Sebanyak 18 orang itu dibagi menjadi empat kelompok: (1) Sarana dan Prasarana, (2) Profil Desa, (3) Pariwisata, dan (4) Pemberdayaan.
Kelompok Sarana dan Prasarana bertugas memetakan seluruh sarana dan prasarana yang ada di Rahtawu, mulai dari jalan desa, jalan tani, bangunan-bangunan pemerintahan, fasilitas umum, hingga jembatan-jembatan yang ada di desa. Selain memetakan titik-titik geografis, kelompok ini juga mendata panjang jalan, luas bangunan, kondisi fisik jalan dan bangunan, kondisi fisik fasilitas umum dan jembatan dan data-data lain yang sangat diperlukan pemerintah desa.
Kelompok Profil Desa bekerja mendatangi satu per satu rumah yang ada di Rahtawu, mendata kondisi rumah, luasan rumah, berapa jumlah penghuni rumah beserta informasi mendasar dari tiap-tiap penghuni rumah semisal usia, pendidikan, pekerjaan dan lainnya. Mereka juga mendata listrik yang digunakan tiap rumah, sumber air, kondisi WC, dan data-data lain serinci-rincinya dari tiap-tiap rumah yang ada di Rahtawu.
Seperti namanya, Kelompok Pariwisata mengerjakan proses pemetaan dan pendataan seluruh lokasi wisata serta potensi-potensi wisata. Lebih dari itu, tim ini juga dipercaya merancang perencanaan pengelolaan wisata Desa Rahtawu ke depannya. Yang terakhir adalah Kelompok Pemberdayaan. Kelompok ini memetakan batas-batas wilayah desa, batas-batas wilayah lahan-lahan strategis yang potensial sebagai lokasi wisata, menghubungi pemilik lahan tersebut untuk diajak bekerja sama mengembangkan pariwisata di desa dan mencari solusi atas permasalahan-permasalahan yang muncul akibat sengketa batas wilayah.
Sekira enam bulan tim ini bekerja dan berujung dengan tersedianya big data yang dibutuhkan Didik untuk menemukan permasalahan, mengurainya, mencari solusi, dan menyusun program desa ke depan.
Saat ini Desa Rahtawu menjadi satu-satunya desa di Kabupaten Kudus yang memiliki sistem informasi desa terkomputerisasi berbasis GIS. Sebuah prestasi yang layak dibanggakan karena selain menjadi satu-satunya di Kudus, proses pengerjaannya dikerjakan langsung oleh pemuda-pemuda desa, bukan oleh tenaga ahli dan tenaga bayaran profesional spesialis GIS berbiaya mahal yang biasa disewa aparat desa untuk mengerjakan sistem informasi desa berbasis GIS.
SPORT untuk mengelola sampah rumah tangga
Memasuki tahun 2021, tahun kedua sebagai kepala desa, Didik mulai tancap gas. Tahun perencanaan sudah dilalui, kini saatnya tahun-tahun mengerjakan perencanaan-perencanaan yang sudah disusun dengan basis big data dari GIS yang dikerjakan para pemuda Karang Taruna.
Desa Rahtawu dialiri Sungai Gelis dari sisi utara ke selatan desa. Sungai ini seakan membelah desa menjadi dua bagian, barat dan timur sungai, pun begitu dengan keseluruhan Kabupaten Kudus. Di bagian Rahtawu, ada puluhan anak sungai yang bermuara di Sungai Gelis untuk kemudian melalui liku-liku Sungai Gelis mengalir terus ke arah selatan. Hampir seluruh anak sungai terutama yang melintasi wilayah permukiman merupakan tempat sampah bagi warga untuk jangka waktu lama.
Selain anak-anak sungai, Sungai Gelis sebagai sungai utama juga tak luput dari tempat pembuangan sampah warga. Di Kabupaten Kudus sendiri, Kali Gelis mungkin adalah tempat sampah terpanjang. Setiap harinya berton-ton sampah masuk ke kali, didominasi sampah rumah tangga.
Jika ingin meneruskan status Rahtawu sebagai desa wisata, keadaan ini sama sekali tidak bisa didiamkan. Dan ini benar-benar disadari oleh Didik. Maka salah satu program kerja awal yang ia kerjakan setelah melalui tahun perencanaan adalah pengelolaan sampah terpadu di desa.
Didik kemudian mendatangi pengajian-pengajian yang diikuti ibu-ibu di desa, menyosialisasikan terkait bahaya buang sampah di sungai, lantas mengajak mereka semua untuk menghentikan aktivitas buang sampah di sungai yang sudah berlangsung puluhan tahun. Di luar sosialisasi keliling kampung, Didik menyiapkan sebuah sistem pengelolaan sampah terpadu yang mangkus, sangkil, dan terutama solutif. Sistem pengelolaan sampah terpadu itu ia beri nama SPORT, akronim dari “Sampah, Pilah, Olah, Rupiah, Tambah berkah”.
Ia kemudian merekrut lima orang petugas pengelolaan sampah desa, membangun ruang pengelolaan sampah hanya jaraknya hanya 200 meter dari balai desa tempat ia berkantor, membeli kendaraan roda tiga untuk alat angkut sampah, serta membeli ragam bentuk peralatan lain yang dibutuhkan untuk mengelola sampah desa. Yang paling menarik dari rangkaian persiapan ini adalah temuan mesin penggiling sampah yang kini digunakan di desa.
Didik menemukan mesin ini dari YouTube. Ia kemudian mengajak ahli mesin dan tukang las di desa memproduksi sendiri mesin penggiling sampah. Caranya, dengan memodifikasi mesin-mesin berdasarkan panduan di internet dan YouTube. Mesin itu akhirnya jadi, berkapasitas 1 ton sampah per hari.
Mesin itu, mesin temuan Didik dan tim, bekerja dengan sistem yang cukup sederhana. Bahan bakarnya solar. Ia mampu menggiling sampah rumah tangga yang diproduksi penduduk Rahtawu tanpa perlu memisahkan sampah organik dan non-organik. Sebab, mesin inilah yang akan memisahkan sampah organik dan non-organik lewat sistem sederhana.
“Saya sadar sampah ini masalah utama di desa. Penyebab kekumuhan, mengganggu pemandangan, dan penyebab bencana juga di bawah sana. Jadi ini yang mesti segera ditangani. Saya tidak bisa menunggu bantuan orang lain, dinas lingkungan hidup, atau siapa pun itu untuk membantu kami di Rahtawu menangani sampah ini. Dengan kemampuan dan dana seadanya, kami mesti segera mulai program pengelolaan sampah ini,” kata Didik.
Terkait mesin yang mereka bikin, ia berujar, “Perkembangan sistem informasi mempermudah kita menemukan itu. Baca banyak informasi, lihat video YouTube, kemudian modifikasi seperlunya sesuai kebutuhan, alhamdulillah jadi. Setelah diujicoba, mesin penggiling itu bisa bekerja dengan baik. Alhamdulillah.”
Ketua tim pengelolaan sampah yang biasa disapa Pak Har bercerita kepada saya bagaimana sulitnya membangun dan menjalankan sistem pengelolaan sampah desa. Kesulitan itu terutama datangnya dari warga yang enggan ikut program pengelolaan sampah. Apa lagi alasannya jika bukan karena berbayar. Sebab sebelumnya, selama puluhan tahun mereka membuang sampah ke sungai secara gratis.
“Susah sekali mengajak warga. Awalnya saya menyosialisasikan program ini ke pengajian-pengajian rutin bapak-bapak. Di sana mentah karena mereka menganggap bayar Rp10.000 per bulan itu berat. Berat karena sebelumnya memang kami buang sampah tidak perlu bayar, tinggal buang saja ke kali. Di tiap pengajian bapak-bapak yang saya datangi dan coba mengajak mereka ikut program ini, saya merasa selalu tertolak. Tapi saya tidak menyerah, saya beralih ke pengajian ibu-ibu, menyosialisasikan program ini dari satu pengajian ke pengajian lainnya, hingga akhirnya ibu-ibu di 300-an rumah di satu dusun, Dusun Krajan, bersedia mengikuti program ini. Sejak Februari tahun ini akhirnya program ini mulai berjalan dengan uji coba di 300-an rumah itu ditambah 13 warung makan yang ada di sekitar dusun Krajan,” jelas Pak Har.
Saya melihat sistem pengelolaan sampah di Rahtawu sebagai lompatan besar. Jika diibaratkan pada kajian sejarah peradaban manusia ada tahapan-tahapan mulai dari masyarakat pemburu-meramu, meningkat menjadi masyarakat petani, kemudian masuk era masyarakat modern, sistem pengelolaan sampah di Rahtawu ini seumpama lompatan dari masyarakat pemburu meramu ke peradaban modern tanpa melalui tahapan masyarakat pertanian.
Bisa jadi kurang tepat, tetapi seperti itulah gambaran yang bisa saya tangkap. Dari membuang sampah begitu saja, sistem kelola sampah Rahtawu kini sudah mendekati “nol sampah” dengan modal mesin bikinan sendiri dan lima orang pekerja pengelola sampah. Memang baru 300 rumah yang ikut program ini, tapi dalam setahun ke depan, mereka bertekad bisa mengajak semua penduduk desa ikut program berbiaya murah namun dengan sistem kelola efisien ini.
Berdasar penuturan Pak Har, sistem kerja pengelolaan sampah di desa dimulai dari rumah tangga. Di tiap rumah tangga, sampah dipisah. Bukan berdasar kategori organik dan non-organik, tetapi mana sampah yang laku dijual dan tidak. Sampah yang tidak laku dijual menurut pemilik sampah itu kemudian diambil oleh petugas kebersihan tiga kali dalam sepekan, tiap Senin, Rabu, dan Sabtu.
Jumlah sampah terbanyak selalu Senin, kira-kira setengah ton banyaknya. Ini terjadi karena pada akhir pekan desa didatangi ratusan pengunjung yang berwisata ke desa. Sementara pada pengambilan hari Rabu dan Sabtu, jumlah sampah yang diambil petugas kebersihan separuh hari Senin.
Sampah yang diambil petugas kebersihan kemudian dibawa ke gudang penampungan. Di gudang penampungan sampah-sampah itu kemudian dipilah-pilah lagi oleh petugas kebersihan. Pemilahan ini lagi-lagi berdasar pertimbangan laku dan tidak laku dijual. Setelah dipilah, sampah langsung masuk mesin penggiling sampah hari itu juga. Mesin bekerja menggiling sampah serta memisahkan sampah organik dan non-organik berupa residu-residu plastik multilayer, semisal wadah sabun, wadah kopi sachet, karet popok, dan plastik-plastik tak berharga lain. Sampah residu itu langsung keluar ke arah penampungan sampah residu. Sementara sampah organik digiling menjadi bubur sampah organik.
Bubur sampah organik itu kemudian digunakan untuk dua keperluan: pupuk organik dan media pengembangbiakan maggot, sejenis belatung yang bisa jadi pakan ternak. Sejauh ini, dari 200 gram bibit maggot yang digunakan sebagai pemacu awal pengembangbiakan maggot, setiap dua pekan pengelola sampah mampu memanen 80 kilogram maggot. Maggot itu kemudian digunakan untuk pakan 50 ekor ayam kampung petelur dan 4.000 ekor lele yang semuanya juga dikelola oleh petugas kebersihan. Sebagian kecil maggot dijual dengan harga jual per kilogram antara Rp35.000 hingga Rp50.000.
Sejauh ini, pemuda-pemuda karang taruna dan segelintir orang seperti Pak Har lah yang menjadi andalan Didik untuk menyukseskan program-program yang ia jalankan. Sementara aparat desa lain yang menjadi staf di kantor desa masih belum bisa diajak bergerak dengan pola kerja Didik karena sebagian besar aparat yang menjabat di desa kini masih warisan dari kepala desa sebelum Didik menjabat sebagai kades.
“Mungkin mereka masih kaget dengan perubahan pola kerja yang sangat drastis ini. Tapi pelan-pelan saya akan coba merangkul mereka dan mengajak mereka berubah. Kalau tidak mau berubah, ya desa juga nggak akan berubah, begini-begini saja, nggak akan ada kemajuan berarti,” ujar Didik menutup perbincangan kami pada hari pertama puasa tahun ini, dua hari setelah ia resmi mendapat gelar sarjana hukum dari salah satu sekolah tinggi hukum di Bogor.
BACA JUGA Seorang Ateis dari Keluarga Religius, Ingin Bersenang-senang dan liputan menarik lainnya di Mojok.