Pekerjaan sebagai debt collector atau penagih utang identik dengan lelaki bertampang sangar dan suara yang lantang saat menagih utang. Di balik itu, mereka menyimpan kisah berat kehidupan. Dua mantan penagih utang berbagi cerita tekanan selama bekerja hingga seni menghadapi debitur bermasalah.
***
Lelaki dengan rambut semir pirang melambaikan tangan dari sisi timur Lapangan Minggiran, Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Kami sudah membuat janji di sebuah angkringan untuk berbincang. Namun, saya sedikit bingung titik angkringan yang ia maksud lantaran banyak tempat serupa di sekitar sini.
Saya lantas memacu motor mendakati lelaki yang sedang bercengkerama dengan buah hati kecil dan istrinya di bawah rindang pohon pinggir lapangan. Setelah saya memesan minuman, istri dan anaknya lantas izin pamit.
“Ya begini sekarang, kantor saya di angkringan bareng bapak-bapak ini,” ujar lelaki bernama Ami Nugroho (39) ini saat membuka obrolan. Ia mengaku hidupnya telah banyak berubah.
Sudah genap 10 tahun ia keluar dari dunia debt collector yang menurutnya cukup melelahkan. Pekerjaan itu ia lakoni sejak 2004 hingga 2014.
“Saya sampai di titik memegang agensi di Jogja di mana saya mengoordinir belasan kolektor,” kenangnya sambil mengambil sebatang rokok.
Kehidupan jalanan debt collector
Sejak remaja, Ami sudah bergelut dengan kehidupan jalanan. Ia mengaku sempat bergabung dengan GMX. Sebuah geng yang cukup besar di Jogja medio akhir 1990-an pasca-era kejayaan Joxzin dan Qzruh.
Berkat kehidupan kerasnya di jalanan Kota Jogja, selepas SMA ia sudah punya pendapatan sampingan. Uang itu ia dapat dari jatah keamanan beberapa tempat di Jalan MT Haryono.
“Saya dulu sempat kuliah juga. Ambil manajemen apoteker karena ibu yang nyuruh,” paparnya.
Namun, kuliahnya pun tidak tamat karena uang semesteran ia larikan ke hal-hal lain. Baru tiga semester ia cabut.
Di sebuah tongkrongan, akhirnya ia bertemu dengan seorang rekan dari Medan yang sedang mengurus pendirian agensi debt collector di Jogja. Cabang dari PT Sarana Bina Yuangga yang berpusat di Surabaya.
Mengetahui rencana rekannya itu, Ami menawarkan diri untuk bergabung. Ia ingin bekerja lantaran tidak merasa nyaman bergantung dari uang jatah yang biasa ia dapat.
Pengalaman dan reputasinya di jalanan juga membuat Ami mudah mendapat penerimaan di profesi tersebut. Ia mengakui banyak di antara penagih utang yang berasal dari latar belakang yang sama dengan dirinya.
“Akhirnya beberapa hari berselang aku langsung disuruh kerja. Menagih kartu kredit macet. Padahal aku nggak paham sama sekali,” ujarnya tertawa.
Saking semangatnya, ia ingat, meski perintah berkumpul jam 7 pagi, setengah jam sebelumnya Ami sudah siap di tempat. Ia mendapatkan penugasan penagihan kartu kredit yang menurutnya punya tantangan tersendiri di kalangan kolektor.
Menagih utang kartu kredit
Menagih tunggakan kartu kredit berbeda dengan mobil atau motor. Pertama karena rata-rata orang yang punya kartu kredit kalangan menengah atas. Kedua, jika tagihan kendaraan punya jaminan fisik, maka tidak dengan kartu kredit. Sehingga penagih perlu punya kemampuan khusus.
“Kalau motor dan mobil ada barangnya, kartu kredit? Jaminannya ya nyawa mereka,” kelakarnya.
Berbekal surat tugas, ia berangkat ke rumah seorang debitur yang menunggak cicilan kartu kredit Rp7,5 juta. Nominal yang menurutnya lumayan banyak di era itu.
Mengingat tak ada jaminan, Ami mengaku melakukan pendekatan personal. Mencoba dekat dengan debitur dengan menanyakan kendala yang sedang ia alami. Setelah itu Ami juga menawarkan program diskon yang bank berikan.
Beberapa kali kunjungan dalam satu pekan, akhirnya ia berhasil meraih mencairkan tagihan tersebut. Kuncinya, membuat pengutang sadar akan kewajibannya. Jika sudah begitu, jalan semakin mudah.
“Saat itu bapaknya menjual satu-satunya aset yang ia punya yaitu motor. Motor Kaze R. Belum cukup tapi akhirnya anaknya juga nambahin,” kenangnya.
“Nagih itu kuncinya kulo nuwun. Datang baik akan dibales baik. Kalau Orang Jawa kan begitu,” imbuhnya.
Strategi menagih utang
Pengalaman pertama itu membuat Ami punya prinsip bahwa pekerjaan ini, lebih mengedepankan kemampuan pendekatan dan komunikasi, alih-alih sekadar kekerasan. Meskipun ketegasan dan keberanian tidak dimungkiri wajib jadi bekal bagi para kolektor.
Pada 2006 ia mendapat amanah untuk memimpin cabanga agensi ini di Jogja. Ia mulai mendapat wewenang untuk merekrut kolektor.
Kendati begitu, Ami mengaku selektif. Tidak merekrut sembarangan orang yang punya pengalaman hidup di jalan. Sebab menagih beragam karakter nasabah butuh kemampuan pengendalian emosi yang baik.
“Nasabah itu ada tiga karakter, pertama dia emang orangnya nakal, kedua ekonomi tidak stabil, ketiga ketakutan,” katanya.
Baginya, kolektor punya fungsi untuk menjembatani antara kreditur dan debitur di lapangan. Tidak sekadar menagih, mereka harus menimbulkan rasa tanggung jawab di benak pengutang. Hal itu tidak bisa sekadar dengan memberikan ancaman.
Salah satu strategi yang Ami lakukan adalah bertandem dengan rekan yang punya karakter berbeda. Ia selalu datang berdua, Ami mengambil peran pendekatan halus dan rekan satunya untuk memberikan tekanan.
“Ada temenku namanya Anton Wijaya. Dia tinggi besar, pokoknya medeni orangnya. Kalau ada nasabah yang mblenjani dia yang tak suruh kencang aku nanti bagian soft. Akhirnya debitur luruh dan nanti bayarnya ke aku,” kenangnya, sambil menyesap rokoknya lamat-lamat.
Perawakan Ami memang tak terlalu besar. Badannya juga tak bertato sehingga jauh dari kesan sangar. Kendati begitu, ia menuturkan bahwa sangar hanyalah penampakan badan. “Utamanya ya kendel. Berani itu beda sama sangat yang cuma tampang doang,” paparnya.
Menghindari memberikan tekanan berlebih buat debitur, ia punya trik untuk memberikan dampak sosial. Selepas buntu karena penghutang tidak bisa ia ajak berdiskusi, ia biasanya mampir ke warung terdekat. Lalu menceritakan kondisi utang kepada tetangga debitur itu. Hal itu bisa memberikan efek malu sehingga tergerak membayar kewajibannya.
“Sayangnya kadang kan kolektor tidak kepikiran cara-cara seperti ini. Ada siasat supaya tidak perlu keras-keras,” katanya.
Beda kota lain karakter
Pendekatan halus Ami lakukan di Jogja karena sesuai dengan karakter masyarakatnya. “Beda dengan Surabaya atau Semarang. Di sana lebih keras. Saya sampai kaget di sana,” paparnya.
Suatu waktu ia pernah dinas di kantor pusat Surabaya. Ia menemani rekannya menagih hutang Rp35 juta di sebuah rumah yang terbilang cukup besar. Tampak dari halaman depannya yang tertutup pagar besi.
Ami kaget, saat tiba di depan rumah itu, rekannya langsung menggedor gerbang dengan telapak tangan. Ia mengaku sampai langsung naik lagi ke motor dan terpikir dan terpikir hendak meninggalkan rekannya.
“Asem tenan, kaya gitu kalau di Jogja bisa kena amuk massa,” ujarnya tertawa.
Di Jogja, ia pernah punya pengalaman apes saat menugaskan salah satu kolektornya menyambangi rumah seseorang yang telah lama menunggak. Ia memberi instruksi pada rekannya untuk datang pagi hari setelah subuh. Jika hari mulai cerah dan rumah itu mematikan lampu, maka sudah pasti ada orang di dalam.
Namun, saat rekannya mengetuk gerbang berulangkali, rumah itu hening. Akhirnya kolektor itu nekat memanjat pagar dan berakhir mendapat laporan ke RT. Kasus itu pun berlanjut ke Polsek terdekat.
Ami pun turun tangan memberikan penjelasan kalau sudah ada tiga surat peringatan yang ia sampaikan ke pengutang. Namun, tidak ada itikad baik.
“Tapi aku tetap meminta maaf untuk persoalan manjat pagar. Itu memang kelewatan,” cetusnya.
Menagih motor ketemu teman sendiri
Sepanjang kehidupan menjadi kolektor, Ami memilih tidak banyak mengambil tugas untuk menagih kredit motor. Ia memang sempat membantu penagihan di perusahaan leasing Wom Finance namun hanya sebentar.
“Lha kalau nagih motor itu banyaknya kan orang-orang kecil. Ketemunya teman atau kenalan. Saya kan jadi agak beban. Kalau kartu kredit relatif aman,” ungkapnya.
Menurutnya, bisnis agensi debt collector sempat berada di masa-masa berjaya. Sampai terjadi kasus kematian nasabah Citibank pada 2011. Nasabah tersebut meninggal saat diinterogasi di salah satu kantor Citibank Jakarta.
Sejak saat itu, menurut Ami jasa ini jadi agak surut. Para penagih jadi lebih berhati-hati di lapangan.
Selain itu juga muncul beberapa regulasi yang mengatur kerja debt collector. Lewat Surat Edaran Bank Indonesia (SE BI) Nomor 14/17/DASP Tahun 2012 tentang Penagihan Utang Kartu Kredit, para penagih hanya bisa menagih tunggakan macet lebih dari enam bulan.
“Sebelumya kan yang belum nunggak banget sudah bisa kami kerjakan juga,” kata Ami.