Berharap Berkah Bende Becak Peninggalan Sunan Bonang

Berharap Berkah Bende Becak Peninggalan Sunan Bonang

Berharap Berkah Bende Becak Peninggalan Sunan Bonang

Setiap 10 Dzulhijjah atau bertepatan dengan Hari Raya Iduladha, masyarakat Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah memiliki tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun sejak tujuh abad silam. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Penjamasan Bende Becak, pusakan peninggalan Sunan Bonang. 

Yaitu ritual pembasuhan dan penggantian kain kafan pusaka peninggalan Sunan Bonang berupa gong kecil atau dalam bahasa masyarakat Bonang lebih dikenal dengan sebutan bende. Dalam momen perayaan Hari Raya Iduladha tahun 1442 H/2021 M ini, Mojok.co berkesempatan untuk menghadiri langsung upacara Penjamasan Bende Becak dan mengulik beberapa fakta unik mengenai salah satu tradisi ikonik masyarakat Bonang, Lasem tersebut.

***

Seminggu jelang lebaran kurban, kabar mengenai pelaksanaan Penjamasan Bende Becak sebenarnya masih simpang siur. Beberapa orang yang saya temui mengatakan, khusus tahun ini kemungkinan besar ritual penjamasan ditiadakan karena terbentur PPKM Darurat. Belum lagi dalam beberapa kesempatan sebelumnya, Bupati Rembang Abdul Hafidz melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kabupaten Rembang telah mewanti-wanti agar masyarakat meniadakan dulu segala kegiatan seni, kebudayaan, dan keagamaan. Sementara itu dari pihak juru kunci situs makam dan pusaka Sunan Bonang belum memberikan pernyataan resmi.

Sampai akhirnya, Senin (19/7/2021), Kepala Desa Bonang, Muhammad Hasan Bakhri (Pak Bakhri) mengonfirmasi bahwa esok paginya usai salat Iduladha pihak juru kunci dan masyarakat Bonang sepakat akan tetap menggelar ritual Penjamasan Bende Becak, meskipun harus secara terbatas dan mendapat penjagaan ketat dari petugas. “Masalahnya ini adalah tradisi yang sudah turun-temurun, tidak pernah tidak dilaksanakan. Kalau sekali saja berhenti, rasanya takut kualat sama leluhur,” ujarnya kepada saya.

Maka pada hari Selasa (20/7/2021), setelah mengikuti salat Iduladha di masjid rumah, saya pun bergegas menuju lokasi penjamasan digelar. Tepatnya di kediaman sang juru kunci, sebelah selatan area makam Sunan Bonang.

Berlangsung sejak abad ke-16

Saya tiba di lokasi sekitar pukul 08.00 WIB, beberapa orang sudah berkumpul di depan halaman rumah juru kunci yang ternyata sudah diberi pagar pembatas dari bambu, agar masyarakat tidak terlalu berjejalan masuk ke rumah sang juru kunci sebagaimana tahun-tahun yang sudah lewat.

Setelah memarkir motor di bawah pohon mangga tidak jauh dari area rumah sang juru kunci, saya melenggang santai sambil mengeluarkan smartphone dari tas kecil saya, lalu memotret beberapa gambar. Pagi itu masyarakat yang hadir benar-benar tidak bisa terlalu leluasa. Pasalnya, ada puluhan petugas gabungan Polsek, Koramil, Satgas Covid-19, dan sekelompok pemuda Karang Taruna yang berjaga, mengawasi gerak-gerik warga, menegur yang tidak mengenakan masker atau yang tampak berkerumun.

Saya sendiri sempat ditegur salah seorang petugas agar tidak mendokumentasikannya di media sosial. Tapi belum juga saya menunjukkan identitas, Pak Bakhri menghampiri saya dan langsung menjelaskan kepada petugas kalau saya hadir dengan keperluan untuk meliput. Akhirnya saya diizinkan mengambil gambar dengan catatan, tidak boleh memfoto jika ada warga yang berkerumun. “Itu nanti yang repot kami, Mas, dianggap tidak menjalankan tugas dengan baik,” ujar petugas tadi. Saya lantas mengacungkan jempol tanda mengerti.

Di tengah lantunan salawat dan hiruk-pikuk warga yang berkumpul di lokasi penjamasan, saya mencoba mengulik informasi dari Pak Bakhri, sambil menunggu proses penjamasan dimulai. Kepala Desa Bonang tersebut menjelaskan, tradisi penjamasan sudah berlangsung turun-temurun sejak zaman dulu. Bahkan kemungkinan sudah ada sejak abad ke-16.

“Sejak masih kecil tradisi ini sudah ada, Mas. Berarti kan sudah dari zaman mbah-mbah kita dulu setelah masa hidupnya Kanjeng Sunan Bonang di Lasem ini. Nanti selesai acara bisa sampeyan konfirmasikan ke juru kunci. Atau coba sampeyan cari sendiri, sampeyan kan sarjana Sejarah Kebudayaan Islam, to?” ujarnya sambil sesekali memberi isyarat tangan kepada warga agar tidak berkerumun.

Bende Becak, peninggalan Sunan Bonang. Foto oleh M Aly Reza/Mojok.co

Jike ditelisik, merujuk penuturan Pak Bakhri, bisa dimungkinkan tradisi Penjamasan Bende Becak sudah dilakukan masyarakat Bonang sejak abad-16. Karena dari naskah kuno Carita Lasem gubahan Raden Panji Kamzah, Sunan Bonang wafat di Bonang, Lasem, pada tahun 1525 M. Lalu untuk memberi penghormatan kepada Sunan Bonang, masyarakat setempat lantas mengadakan upacara Penjamasan Bende Becak dan berlanjut hingga saat ini. Mengingat Bende Becak merupakan pusaka yang tidak lepas dari Sunan Bonang semasa hidupnya (akan coba saya uraikan pada bab selanjutnya).

Masih seturut keterangan Pak Bakhri, nyaris setiap tahun—kecuali di tahun ini—upacara penjamasan bisa dihadiri ratusan orang lebih. Baik masyarakat lokal bahkan ada juga yang berasal dari luar daerah dengan tujuan yang nyaris sama satu sama lain, ya apalagi kalau bukan untuk mencari keberkahan.

“Rata-rata karena ingin ngalap berkah dari air bekas penjamasan. Mangkanya bisa sampeyan lihat, itu ada yang bawa botol banyak sekali, malah ada yang bawa galon juga. Masyarakat percaya kalau air bekas penjamasan mengandung berkah, kalau diminum bisa membersihkan diri. Beberapa juga percaya kalau air tersebut bisa menyembuhkan penyakit,” sambungnya sambil menunjuk ke arah beberapa warga yang standby dengan botol dan galon yang mereka bawa dari rumah masing-masing.

Tidak hanya air, apapun yang berkaitan dengan Bende Becak dipercaya mengandung berkah. Kain kafan pembungkus Bende Becak yang sudah diganti juga turut jadi rebutan selepas acara.

Saya mematikan record HP manakala Pak Bakhri memberitahu kalau penjamasan akan segara dimulai. Berbekal izin dari Pak Bakhri selaku kepala desa dan kartu pers yang saya kalungkan, saya merangsek ke lokasi penjamasan yang sudah dipagari gebyok (anyaman bambu). Sementara itu suara-suara semakin riuh, sahut-menyahut antara bentakan petugas dan warga yang ingin melihat proses penjamasan dari jarak dekat.

“Tolong mundur! mundur! Jangan berkerumun!” teriak petugas.

Aku pengin njaluk banyu, Pak, aja dilarang! (Aku ingin minta air, Pak, jangan dilarang!)” sahut salah seorang warga.

“Sabar, Pak, Buk, nanti pasti dibagi rata, nggak usah berebut. Tolong patuh!”

Kemudian terdengar salah seorang petugas menurunkan nada bicaranya, mencoba memberi pengertian dari hati ke hati, meski toh tetap saja tidak berdampak apapun. Masyarakat tetap ingin merangsek untuk mendapatkan air bekas penjamasan. Sementara itu, bersama dengan beberapa wartawan senior yang meliput, saya mengambil celah untuk merekam dan mengambil gambar saat sang juru kunci membasuh Bende Becak secara bergantian di dalam tiga blung air yang sudah ditaburi bunga dan dibacakan doa-doa.

Jelmaan utusan Prabu Brawijaya V

Proses penjamasan berlangsung cepat. Usai membasuh Bende Becak, Kiai Luthfil Hakim (Gus Luthfi) selaku juru kunci lantas membungkus pusaka tersebut dengan kain kafan yang lebih baru untuk kemudian diletakkan kembali di tempat penyimpanannya.

Gus Luthfi sendiri setalah memimpin upacara penjamasan tampak sibuk sekali menjawab pertanyaan dari para wartawan. Sementara itu saya memilih menunggu tidak jauh dari pintu ndalem, agar bisa mengobrol lebih santai dan memperoleh informasi yang cukup mengenai Bende Becak yang begitu dikeramatkan masyarakat Bonang tersebut. Di lain sisi, masyarakat satu per satu telah membubarkan diri setelah botol atau galon yang mereka bawa terisi penuh.

Sekitar pukul 09.30 WIB, Gus Luthfi akhirnya mempersilakan saya duduk di ruang tamu. Ia lalu bercerita, dinamakan Bende Becak karena gong kecil tersebut merupakan jelmaan dari sosok manusia yang bernama Becak. Konon, Becak disabda (istilah kasarnya mungkin “dikutuk”) oleh Sunan Bonang sehingga berubah wujud menjadi gong kecil atau bende.

“Cerita dari abah saya, Kiai Abdul Wakhid atau juru kunci yang lama, dulu waktu Kanjeng Sunan Bonang sedang mengajar santri-santrinya di masjid sini (Masjid Makdum Ibrahim, Bonang, Lasem), ada seorang utusan Prabu Brawijaya V datang menghadap, namanya Becak. Ia datang untuk menyampaikan pesan kepada Sunan Bonang bahwa Prabu Brawijaya belum hendak mengiyakan ajakan Sunan Bonang untuk memeluk Islam.”

“Lalu karena Sunan Bonang masih mengajar, Becak ini diminta menunggu di halaman masjid. Tapi sepertinya Becak agak jenuh menunggu. Barangkali untuk mengusir rasa bosan, Becak lalu mendengungkan lagu-lagu yang terdengar samar-samar dari dalam masjid. Konon katanya Sunan Bonang merasa risih, Beliau lantas bertanya kepada santrinya, ‘Siapa itu kok kayak bende?’. 

Penjamasan Bende Becak oleh juru kunci baru, Kiai Luthfil Hakim. Foto M Aly Reza/Mojok.co

Beberapa saat kemudian, saat dicek keluar masjid, ternyata si Becak sudah tidak ada di tempat. Santri yang mengecek malah menemukan bende yang tergeletak. “Bende itulah yang diduga merupakan jelmaan dari si Becak yang kena tulah sabda dari Sunan Bonang,” papar Gus Luthfi sambil sesekali menjawabi salam dari orang-orang yang berpamitan.

Gus Luthfi menegaskan, akurasi dari cerita tersebut sangat bisa dicek ulang. Beberapa orang, seturut pengakuannya, juga menganggapnya sebagai mitos belaka. Ia hanya menyampaikan bahwa apa yang ia ceritakan kepada saya adalah cerita yang dituturkan secara turun-temurun dan diyakini masyarakat Bonang, khususnya dari pihak keluarga juru kunci, memang benar-benar pernah terjadi.

Namun, terlepas dari benar atau tidaknya, Gus Luthfi menekankan bahwa Penjamasan Bende Becak adalah bagian dari upaya untuk nguri-uri budaya warisan leluhur agar tidak hilang begitu saja. Lebih dari itu, Penjamasan Bende Becak, menurut Gus Luthfi, adalah bentuk tawadu masyarakat Bonang kepada Sunan Bonang. Mengingat, Sunan Bonang merupakan salah satu Wali Sanga yang berperan penting dalam proses Islamisasi di tanah Lasem.

Di luar mitos tersebut, beberapa orang terutama tokoh-tokoh agama di Lasem (misalnya Kiai Saifullah Abdullah, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Mustofa Lasem) mengatakan, Bende Becak dulunya digunakan oleh Sunan Bonang untuk membangunkan atau mengingatkan santrinya di waktu-waktu untuk salat jamaah atau mengaji. 

Jadi, tiap sudah masuk waktu salat wajib lima waktu dan mengaji, Sunan Bonang akan memukul gong mungil tersebut dan para santri akan berbondong-bondong bergegas menuju masjid (yang saat ini dikenal dengan nama Masjid Makdum Ibrahim), terletak di selatan area makam Sunan Bonang, Desa Bonang, Lasem. Sayangnya memang belum ada kajian yang secara khusus mengulik bagian ini.

Namun, setidak-tidaknya, bisa dipastikan bahwa Sunan Bonang memang pernah mengajar dan mendirikan pesantren sekaligus masjid di Desa Bonang. Itulah kenapa kemudian ia lebih akrab disebut dengan panggilan Sunan Bonang, karena berdakwah di Desa Bonang.

Akrom Unjiya dalam bukunya, Lasem Kota Pusaka menyebut, Sunan Bonang masuk ke Kadipaten Lasem sekitar tahun 1474 pada masa-masa awal kepemimpinan Adipati Wiranegara menggantikan posisi ayahnya, Adipati Wirabraja, adipati Lasem pertama yang telah mengkat.

Sunan Bonang lantas diminta untuk berdakwah di area istana Kadipaten Lasem di Desa Bonang. Awalnya ia mendirikan masjid di sebelah selatan istana kadipaten sebagai pusat dakwah. Kemudian, setelah Adipati Wiranegara wafat pada 1479, istana kadipaten dipindah ke daerah Cologawen (sekarang Cologowok), sementara bekas bangunan kadipaten di Desa Bonang diserahkan kepada Sunan Bonang untuk dialihfungsikan menjadi pesantren. Di sanalah Sunan Bonang atau yang bernama asli Makdum Ibrahim bin Raden Rahmat Sunan Ampel berdakwah hingga wafat pada 1525 dan dimakamkan di area pesantrennya sendiri.

Beberapa saat setelah saya meminta waktu khusus untuk berbincang dengan Gus Luthfi, saya lalu mencegat Purwono, Kepala Bidang Kebudayaan dan Destinasi Dinbudpar Rembang yang tengah berjalan menuju mobil. Dan senada dengan yang disampaikan oleh Gus Luthfi sebelumnya, Purwono mengatakan agar tidak menilai tradisi tersebut sebagai pengkultusan atau perbuatan syirik. Melainkan sebagai upaya untuk melestarikan tradisi yang diwariskan leluhur sekaligus sebagai bentuk penghormatan kepada Sunan Bonang.

“Toh tradisi penjamasan ini juga jadi daya tarik tersendiri, to, di sektor wisata religi Lasem,” ujarnya singkat. Kepada saya ia meminta maaf karena tidak bisa berlama-lama. Katanya, ia masih harus menghadiri acara di tempat lain. Ia lalu mengangguk ke arah saya dan bergegas memacu mobilnya menjauh dari lokasi penjamasan.

Beberapa jenak kemudian saya masih berdiri mematung sebelum akhirnya menyadari kalau masih ada beberapa warga yang mengambil sisa-sisa air bekas penjamasan. Tanpa pikir panjang, saya lalu menuju ke arah mereka. Pagi itu sebenarnya cukup terik. Untungnya lokasi penjamasan dipenuhi dengan deretan pepohonan. Jadi adem dan sepoi-sepoi.

Berdarah-darah demi sebotol air berkah

Faizuddin (48), salah satu warga Desa Bonang sendiri tampak masih sibuk mengucurkan air sisa penjamasan ke galon kecil miliknya.

“Loh nopo masih, Pak?” tanya saya menghampiri Faizuddin.

“Alhamdulillah kok masih sisa lumayan ini,” ujarnya sambil mendongakkan kepalanya ke arah saya.”

Wah aku kok difoto ini mau diviralkan to, Mas?” ucapnya lagi saat mengetahui dirinya sedang saya potret. Saya tertawa mengikuti tawa renyah dari Faizuddin.

Seorang warga mengambil ari bekas penjamasan. Foto oleh M Aly Reza/Mojok.co

Beres mengisi air, Faizuddin menunjukkan beberapa luka cakaran kecil di lengannya. Baginya, itu adalah luka yang biasa ia dapat setiap tahun dari mengikuti Penjamasan Bende Becak. Pasalnya, demi memperoleh sebotol air bekas penjamasan, ia harus berebut dengan warga lain. Saling desak dan saling senggol satu sama lain.

“Tapi tahun ini itungannya nggak terlalu membludak kayak tahun-tahun sebelumnya. Kondisinya juga masih PPKM Darurat. Hari ini kelihatannya semua kebagian. Ini buktinya saya paling akhir saja masih ada sisa-sisa, nah loh dapat segalon kecil,” jelasnya dengan sangat antusias.

“Waaah kalau dulu-dulu banyak yang nggak kebagian, Mas. Wong yang datang ratusan lebih, tapi airnya cuma tiga sampai empat blung saja. Jadi kalau nggak rebutan ya nggak bakal dapat, Mas, dulu itu. Mangkanya bisa sampai cakar-cakaran juga. Kadang juga kena tampol tangan warga lain. Didorong ke sana, didorong ke sini, jadi sakit semua,” terangnya sambil membenarkan posisi maskernya.

Saat saya tanya mengenai khasiat dari air tersebut, ia meyakini bahwa air tersebut mengandung berkah dari Sunan Bonang. Hanya sebatas itu. Faizuddin percaya, dengan meminum air tersebut, hatinya bisa bersih dari penyakit-penyakit batin. Pikirannya bisa menjadi lebih jernih, dan hidupnya jadi sedikit lebih tentram.

Pukul 10.45 WIB, saya berniat untuk langsung meluncur ke Masjid Jami Lasem untuk meliput proses penyembelihan kurban yang, berdasarkan informasi dari wartawan lain, juga mendapat pengawasan ketat dari petugas. Tapi saya justru lebih tertarik dengan seorang ibu yang membasuh wajah anaknya dengan air bekas penjamasan di bawah sebuah pohon mangga. Saya pun mendekat.

Namanya Sa’diyah (27), dari Desa Warugunung, Kecamatan Pancur, sebelah selatan Kecamatan Lasem. Mula-mula ia tampak sedikit kaget ketika mendapati saya berjalan menuju tempatnya. Namun setelah mengetahui maksud dan tujuan saya, ia bersedia untuk menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan.

Sa’diyah mengaku baru mengikuti upacara Penjamasan Bende Becak sejak menikah, atau dalam kurun tiga tahun terakhir. Tidak jauh berbeda dari Faizuddin, ia hadir untuk mendapatkan air bekas penjamasan yang diyakini mengandung berkah dari Sunan Bonang.

“Kalau sebelumnya kan sama suami, biasanya suami yang ambil air. Karena tahun ini suami nggak ikut karena kerja di luar kota, saya berangkat sendiri sama anak saya. Alhamdulillah tadi ada petugas yang baik hati ngambilin air buat saya,” tuturnya sambil memegangi anaknya yang sedari tadi ingin berlari-lari.

“Saya percaya saja, Mas, dengan meminumkan air ini ke anak saya, nanti anak saya bakal jadi anak yang saleh, pinter, dan nggak bandel nemen-nemen. Kepercayaan orang-orang sepuh zaman dulu kan begitu, Mas,” sambungnya.

Ia mengatakan, warga desanya rata-rata bahkan percaya jika air bekas penjamasan bisa menyembuhkan penyakit. Apapun penyakitnya jika diminumi air bekas penjamasan, lambat-laun konon akan berangsur pulih. Seturut pengakuannya, ada juga warga desanya yang menyiramkan air bekas penjamasan ke sisi-sisi rumahnya. Tujuannya agar selalu dilindungi dari marabahaya dan selalu kelimpahan rejeki.

Usai menghaturkan terima kasih kepada Sa’diyah, saya lantas kembali menuju halaman ndalem juru kunci dan secara kebetulan berpapasan dengan Abdul Wakhid, juru kunci lama yang tengah membereskan blung bekas penjamasan. Saya pun memohon waktu barang sebentar untuk berbincang. Ia dengan senang hati mempersilakan saya untuk duduk-duduk sejenak di musala keluarga ndalem juru kunci.

Saling klaim makam Sunan Bonang yang asli

Di Desa Bonang sendiri, selain dari Penjamasan Bende Becak, masyarakat juga sering mencari berkah dengan berziarah di makam Sunan Bonang, sebelah utara ndalem juru kunci.

Tidak banyak yang tahu bahwa di Bonang juga terdapat makam yang diyakini merupakan makam asli Sunan Bonang. Sementara yang paling populer adalah makam Sunan Bonang di Tuban dan Pulau Bawean.

Abdul Wakhid dengan amat sangat yakin mengklaim bahwa makam Sunan Bonang yang asli adalah di Desa Bonang tersebut. Sebagai juru kunci, ia mengaku bisa memastikannya dengan pendekatan supranatural. Selain itu, ada sekian banyak bukti untuk meyakinkan bahwa makam Sunan Bonang yang asli memang berada di Desa Bonang. Sementara di Tuban dan Pulau Bawean hanyalah imitasi.

Warga Desa Bonang mengantri untuk mendapatkan air bekas penjamasan. Foto M Aly Reza/Mojok.co

“Nama Sunan Bonang, itu kan diambil dari nama desa ini (Desa Bonang), karena beliau dakwahnya di sini. Dari catatan-catatan sejarah Lasem disebutkan juga kalau beliau meninggal di sini. Artinya, kalau beliau berdakwah dan meninggal di sini, beliau juga dimakamkan di sini. Makamnya ada kok,” tuturnya dengan mantap.

Teori mudahnya, menurut Abdul Wakhid, Sunan Bonang memiliki santri yang cukup banyak di Bonang. Di Bonang pula ia memiliki banyak pengikut, dan bahkan mayoritas masyarakat Kadipaten Lasem pada masa itu memeluk Islam lantaran dakwahnya yang menyejukkan. Maka manakala Sunan Bonang wafat, para santri dan lebih-lebih masyarakat Lasem menghendaki jika jasad Sunan Bonang disemayamkan di Bumi Lasem. 

Mengingat juga, dalam perjalanan seorang Wali Sanga, ia pasti dimakamkan di tempat terakhir ia singgah. Misalnya, Sunan Kalijaga, kendati ia berasal dari Tuban, tapi ia dimakamkan di Kota Demak sebagai tempat singgah terakhirnya. Demikian juga dengan para sunan yang lain.

“Ada yang bilang, santri di Ampeldenta, Surabaya, pengen Sunan Bonang dipulangkan ke Surabaya. Karena beliau kan berasal dari Surabaya. Wong putranya Sunan Ampel. Terus berkembang cerita santri-santrinya tersebut mencuri jasad Sunan Bonang dari makam aslinya di Bonang sini. Yang berangkat ke Lasem ada santri dari Tuban dan ada yang dari Bawean,” terangnya.

“Nah, waktu perjalanan menuju Surabaya, santri Tuban berubah pikiran. Tidak jadi membawa jasad Sunan Bonang ke Tuban eh malah dimakamkan di Tuban. Yang santri dari Bawean nggak terima. Akhirnya jasad yang di Tuban katanya dicuri lagi dan dibawa ke Bawean. Tapi aslinya makam beliau kan di sini (Bonang),” imbuhnya.

Bukti-bukti aktivitas dakwah Sunan Bonang di Desa Bonang, Lasem, beberapa tercatat dalam naskah Carita Lasem. Beberapa yang lain sudah diuraikan oleh Akrom Unjiya dalam Lasem Kota Pusaka. Damar Shashangka, dalam seri Sabda Palon-nya juga menyebut bahwa Sunan Bonang sejak 1474 hingga akhir hayatnya memang berada di Lasem. Sunan Bonang memang pernah singgah di Tuban, mengingat ia masih memiliki hubungan kerabat dengan istana Kadipaten Tuban, yang dalam cerita-cerita yang berkembang menjadi momen perjumpaan antara Sunan Bonang dengan Berandal Lokajaya, Raden Syahid, yang kemudian berjuluk Sunan Kalijaga. Sebagian orang meyakini, Sunan Bonang wafat saat berada di Tuban tersebut sehingga langsung dimakamkan di sana. Wallahu a’lam.

Jelang waktu zuhur, saya mohon diri kepada Abdul Wakhid. Setelah saya jabat dan kecup tangannya, ia lalu merogoh sesuatu dari saku baju koko yang ia kenakan. Ternyata ia mengambil tiga potongan kecil kain kafan bekas pembungkus Bende Becak.

“Sampeyan ndak kebagian air, to? Nah, ini simpan saja. Itung-itung buat ngalap berkah,” ujarnya sambil menyodorkan tiga potongan kain kafan tersebut kepada saya.

Tidak henti-hentinya saya menghaturkan terima kasih kepada Abdul Wakhid sebelum akhirnya berlalu meninggalkan area ndalem.

Sampai di bawah pohon mangga tempat motor saya parkirkan, saya pandangi tiga potong kain kafan itu lekat-lekat. Saya sendiri tidak begitu tahu khasiat dari tiga potong kain kafan itu untuk apa. Namun, dengan niat menghormati pemberian Mbah Wakhid sekaligus tawadu terhadap Sunan Bonang, tiga potong kain kafan itu lantas saya masukkan ke dalam tas kecil yang saya pakai hari itu. “Allahumma lancar kabeh urusanku!” gumam saya dalam hati, sesaat sebelum memacu motor meninggalkan Desa Bonang.

BACA JUGA  Makam Rara Mendut dan Pesan Perempuan Cantik Berambut Panjang liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

Exit mobile version