Belajar Toleransi dari Natal Warga Jlegongan

Gapura di Dusun Jlegongan, dusun toleransi

Di Dusun Jlegongan, Sleman  toleransi bukan sekadar kata-kata. Di sini, dua agama Islam dan Kristen Katolik hidup berdampingan dalam damai, termasuk ketika perayaan Natal.  

***

Bagi Modesta Mujiharti (80), ini adalah Desember kedua yang harus dilewati dengan sepi. Akibat pandemi, anaknya yang tinggal di Jawa Timur tidak bisa mudik demi merayakan Natal bersama. Tidak ada riuh rendah para cucunya. Tidak ada pula acara berangkat misa bersama-sama. Maka, tidak banyak hal yang ia lakukan menjelang Natal kali ini selain membersihkan rumah, sembari membunuh sepi.

Bu Suyud, demikian nama lain pensiunan guru ini. Di dusun Jlegongan, ia adalah salah satu tokoh agama Katolik sejak puluhan tahun silam. Sebelum pandemi, rumahnya menjadi tempat kegiatan katekese yang disebut wulangan dan diikuti lansia-lansia di dusunnya. Jauh di masa sebelumnya, mendiang suaminya juga seorang tokoh agama Katolik.

Namun, kisah penganut Katolik di dusun kecil ini bukan hanya soal Natal, Paskah, dan misa. Ada banyak pelajaran yang bisa diambil dari dusun di Sleman barat ini. Sebuah pelajaran tentang toleransi dan keberagaman.

toleransi di Jeglongan
Petunjuk jalan ke Dusun Jlegongan. (Foto Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Bisa dikatakan, Jlegongan bukanlah dusun yang terkenal. Saat mendengar namanya, beberapa orang akan keliru menyebutkannya jeglongan, yang berarti lubang. Beberapa lain menganggap 2 huruf pertama adalah nama jalan sehingga kemudian ditulis sebagai Jl. Egongan. Dusun ini terletak di Kalurahan Margodadi, Kapanewon Seyegan, Sleman. Jlegongan punya demografi penduduk yang terbagi atas 2 agama, Islam dan Katolik. Masing-masing jumlahnya hampir sama. Total penduduknya tidak sampai 350 orang.

Maka, tatkala hari raya tiba, perayaannya pun turut melibatkan 2 pemeluk agama tersebut. Natalan bersama, dengan turut mengundang warga muslim adalah salah satunya.

***

Barnabas Rahmad Susanto, biasa dipanggil Anto (53), salah satu tokoh Katolik lain, berkisah bahwa keberagaman di dusunnya sudah bisa ditemukan sejak puluhan tahun silam. Sejak tahun 1960-an, menurut cerita yang ia dapatkan, mulai banyak warga yang memeluk Katolik setelah munculnya sekolah dari sebuah yayasan Katolik di dekat Jlegongan. Hal ini, di sisi lain, juga dipengaruhi dengan banyaknya warga yang bekerja sebagai guru di sekolah Katolik.

Kisah penyebaran agama Katolik di Jlegongan tidak seperti cerita misionarisme pada umumnya. Tidak ada pastur atau romo yang ditugaskan khusus untuk tinggal di dusun ini. Maka, penyebaran agama Katolik terjadi lewat individu-individu. Gethok tular dan yang diajak adalah keluarga terdekatnya, demikian sebut Anto.

Foto 2: Barnabas Rahmad Susanto, salah satu tokoh masyarakat dan tokoh agama Katolik di Jlegongan            

Katekese atau wulangan tadi contohnya. Alih-alih dipimpin oleh pastur, kegiatan ini dipimpin oleh warga dusun yang berprofesi menjadi guru. Sebab, di masa lalu, seorang guru dianggap sebagai sosok yang serba bisa oleh orang-orang di sekitarnya. Modesta Mujiharti dan mendiang suaminya sama-sama seorang guru dan dari dulu wulangan diadakan di kediaman mereka.

Akibatnya, keberagaman adalah hal yang terjadi selanjutnya. Di dusun ini, mudah menemukan keluarga besar yang terdiri dari 2 agama. Kakek-nenek menganut Katolik, lalu si anak menganut Islam, begitupun sebaliknya. Anto menuturkan, keluarga besar ayahnya yang seorang tokoh Katolik memiliki beberapa anggota keluarga yang menyandang gelar hajah.

Keberagaman telah melewati masa-masa yang panjang di dusun ini. Anto berkisah, perihal perayaan Natal bersama sudah terjadi bahkan sejak ia kecil. Dahulu, katanya, perayaan itu biasa secara pribadi. Bentuknya yang paling umum adalah kenduri bersama. Namun, ada kalanya, perayaan itu juga bisa berlangsung meriah. Ia mencontohkan ada warga yang pernah menggelar pementasan wayang saat hari Natal.

Bagi beberapa orang, hal ini mungkin akan terasa aneh. Bagaimana mungkin perayaan natal turut mengundang warga muslim? Mungkin demikian pertanyaan yang muncul. Namun, menurut Anto, perayaan itu tidak seperti yang dipikirkan banyak orang. Secara teknis, acara hanya diisi dengan makan bersama dan puncaknya akan ada pastur atau romo yang memberikan materi renungan natal. “Intinya seperti syukuran bersama, tentu biar sesama warga bisa makin rukun,” cetusnya.

Prinsip ‘Gentenan’

“Apa ya menarik? Wong cuma begini?” ujar Anto saat Mojok mengatakan ingin meliput dusunnya. Menurutnya, segala keberagaman tadi adalah hal biasa. Pandangannya soal itu tidaklah menuju ke arah toleransi lintas agama ataupun sebuah wujud keunikan. Baginya, itu semua adalah soal manusia memandang adat istiadat di sekitarnya.

Suasana merti dusun di Jlegongan. (Foto Syaeful) Cahyadi/Mojok.co

 Ia mengisahkan, keberagaman di Jlegongan tidak hanya disatukan oleh perayaan keagamaan bersama-sama. Di hari biasa, kenduri yang turut mengundang semua warga desa adalah hal biasa, tidak peduli siapa si empunya acara dan apa hajatnya. Menjelang Ramadan, acara nyadran untuk mendoakan para leluhur juga turut diadakan warga muslim dengan mengundang semua warga Katolik. 

Sementara saat acara merti dusun, doa bersama pun dilangsungkan dengan tata cara Islam dan Katolik secara bergantian. Di tingkat usia lain, ada sebuah taman baca di Jlegongan yang secara rutin mengadakan buka puasa bersama dengan mengundang anak-anak dan remaja dari 2 agama.

Bagi Anto, semua itu tidak lebih dari sebuah wujud gentenan atau saling bergantian. Ia mencontohkan, akan terasa aneh andaikan seorang warga menggelar acara kenduri secara eksklusif dengan mengundang satu agama tertentu. Pun, di tingkat perayaan keagamaan, prinsip itu juga ikut dibangun. “Sedulur yang Islam sering mengundang kami saat Syawalan, masa iya kami tidak gantian mengundang mereka?”

Menurut pria yang juga ketua RT ini, perayaan Natal bersama yang sering diadakan di Jlegongan – dalam bentuk apapun – pada akhirnya bukan hanya menjadi sebuah kegiatan keagamaan. Lebih jauh lagi, itu menjadi sebuah produk budaya yang telah mengakar sejak zaman dahulu di Jlegongan. “Kenapa saya bilang itu budaya? Karena saya yakin di Alkitab pun tidak ada ceritanya Natalan dirayakan dengan kenduri,” selorohnya sambil terkekeh.

Salah satu rumah warga di Jlegongan yang sering dianggap gereja oleh orang yang melintasi jalanan di Jlegongan karena adanya tanda salib besar. (Foto Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Prodiakon lingkungan St. Benedictus, Antonius Winarto (43), mengatakan bahwa bentuk perayaan Natal bersama di Jlegongan sejatinya memang sudah ada sejak dahulu. Bentuk yang paling umum adalah lewat kenduri. Namun, 20 tahun terakhir, perayaan itu kemudian diakomodasi oleh pihak lingkungan. “Kalau dulu, adanya kenduri bersama lalu untuk renungan Natal hanya internal. Tapi kalau sekarang, kami juga mengundang saudara-saudara yang muslim,” terangnya.

Maka, untuk hal itu, beberapa penyesuaian dilakukan. Ia mencontohkan, warga muslim diundang setelah peribadatan selesai dilakukan. Lalu, untuk renungan Natal, pihak panitia juga menyampaikan ke romo jika peserta acara terdiri dari 2 agama sehingga materinya lebih universal. Winarto berkisah, dahulu, pernah mendengar keberatan salah satu warga muslim saat harus hadir dan melihat peribadatan sebelum acara puncak, maka kemudian teknis acara diubah.

Hal itu juga turut dilakukan di dusun lain yang masuk lingkungan St. Benedictus Jlegongan. Namun, untuk dusun lain, warga yang diundang hanyalah tokoh masyarakat dan warga di sekitar tempat penyelenggaraan acara Natal. Namun khusus bagi Jlegongan, semua warga turut diundang. Baik tua, muda, besar, kecil. Bagi Winarto, itu adalah sebuah keunikan dan bukti kerukunan di dusunnya. “Di Stasi Seyegan, bisa dikatakan Jlegongan adalah satu-satunya dusun yang mengadakan dengan cara seperti ini,” lanjutnya.           

Giyanti (55), salah satu warga muslim di Jlegongan mengatakan jika Syawalan bersama dengan turut mengundang warga Katolik juga sering diadakan di dusunnya. Sama seperti perayaan Natal bersama tadi, ada beberapa penyesuaian yang turut dilakukan panitia. Undangan bagi warga Katolik misalnya, diadakan setelah selesainya acara doa bersama. Panitia juga mencari ustaz atau kyai yang bisa memberikan materi pengajian yang bisa diterima penganut 2 agama. Di akhir acara, warga akan saling bersalaman-salaman seperti halal bi halal umumnya.

Dengan perbandingan penduduk lslam dan Katolik sama besarnya, Jlegongan punya warna berbeda dalam kehidupan sosialnya. Anto dan Modesta Mujiharti misalnya, ia boleh saja penganut Katolik sekaligus tokoh agama itu. Namun, ia pun mengakui jika di rumahnya jauh lebih ramai saat datangnya Lebaran. Di hari itu, rumah mereka akan kedatangan banyak kerabat dan tetangga untuk halal bi halal. Tak lupa, keluarganya akan menyediakan berbagai jenis kudapan.

Antonius Winarto, prodiakon di lingkungan Benedictus Jlegongan. (Foto oleh Syaeful Cahyadi/Mojok.co)

Anto berkisah, bahwa semua warga Katolik di sini melakukan hal yang sama kala hari lebaran tiba. Baginya, hal itu adalah salah satu realitas yang tidak bisa dihindari akibat keberagaman yang ada. Sebab, di sini, sangat jamak ditemukan 2 agama dalam satu keluarga besar. Sehingga, mereka yang Katolik akan turut menerima tamu kerabat dan tetangga yang merayakan lebaran.

Lebih jauh lagi, Anto juga menuturkan bahwa beberapa warga Katolik di masa dahulu mengadakan kenduri di hari pertama Idul Fitri sebagai salah satu wujud rasa syukur. Menurutnya, itu terjadi karena lebaran dan kenduri telah dianggap sebagai sebuah budaya oleh warga. “Ada akulturasi budaya yang panjang sehingga hal-hal semacam itu pernah terjadi. Walaupun, memang, bagi beberapa orang hal itu akan dianggap aneh.”

Pria itu mengenang, di tahun 1990-an, Karang Taruna di dusunnya bahkan pernah mengadakan perayaan Natal dan Lebaran dalam satu waktu secara bersamaan. Musababnya, saat itu, hari Natal dan Idul Fitri jatuh hampir berdekatan sehingga kemudian mereka memilih mengadakannya bersama. Dan tidak ada protes apapun dari warga.

Menyoal tradisi di hari lebaran, Giyanti juga mengisahkan hal yang sama. Keluarganya sangat biasa menerima tamu dari warga dan saudara yang beragama Katolik. Mereka akan saling bermaaf-maafan, menikmati kudapan bersama, dan saling bertukar salam tempel. Di hari lebaran, warga beragama Islam juga biasa berkunjung ke rumah tetangga lain yang beragama Katolik.

 ***

 Baik Anto, Winarto, Mujiharti, maupun Giyanti mengatakan bahwa belum pernah ada konflik apapun yang terjadi akibat perbedaan agama di Jlegongan. Sudah puluhan tahun semua itu berjalan berdampingan dengan situasi yang menyenangkan. Puluhan tahun sudah Jlegongan hidup dengan keberagaman di dalamnya.

Dahulu, sebelum pandemi tiba, ada kalanya terdengar suara dari misa di malam hari dari rumah warga beragama Katolik. Di hari lain, akan ada lantunan ayat Al-Quran dari rumah warga Islam yang menggelar pengajian. Dan sekali lagi, itu tidak pernah mengundang masalah apapun. Tidak ada cerita soal pembubaran misa ataupun pelarangan pengajian di dusun ini.

Di tengah pandemi, kisah-kisah itu sementara terjeda. Tidak ada keramaian warga yang mudik saat Natal di Jlegongan. Tidak ada persiapan perayaan Natal bersama. Syawalan bersama pun juga tidak diadakan 2 tahun belakangan. Sekali lagi, sekilas tidak ada yang istimewa dari dusun ini. Namun, di balik pemandangan yang serba biasa, terdapat sebuah kisah luar biasa di Jlegongan. Kisah tentang bagaimana manusia memandang segala perbedaan di sekitarnya tanpa melulu mengedepankan perbedaan yang ada.

 Jlegongan telah melintasi jalan panjang yang membentuk akar budayanya sendiri. Modesta Mujiharti memang seorang Katolik, tapi ia juga akan menantikan hari Lebaran tiba. Hari di mana rumahnya akan ramai dengan kedatangan sanak kadang serta tetangga dan anak cucunya yang mudik. Sementara Giyanti yang menganut Islam ada kalanya ia menanti hari Natal. Sebab, di hari itu adik-adiknya akan pulang dari perantauan dan bisa saling melepas rindu setelah lama tidak bertemu.

BACA JUGA Shelter Syantikara, Nyaman untuk yang Isoman Berbeda Iman liputan menarik lainnya di rubrik SUSUL.

 

Reporter : Syaeful Cahyadi
Editor      : Agung Purwandono

Exit mobile version