Kerja jadi apoteker, harus siap menjadi kamus obat berjalan serta menerima pertanyaan terkait obat di apotek yang kadang tak masuk di nalar. Itulah yang Nabial Gibran kerap ulang-ulang saat saya tanyai tentang profesinya (09/05/2024). Apoteker berusia 30 tahun ini sering bercerita, bahwa dunia di balik meja obat itu memang berwarna.
Sebagai salah satu nakes yang rajin menulis, Nabial berkali-kali membagikan cerita tentang dunia apoteker dan apotek secara umumnya agar semua orang paham dengan dunia obat-obatan. Baginya, membagikan cerita tentang dunianya bisa membantu orang-orang lebih paham akan pekerjaannya.
Tak mengherankan, sebab memang apoteker kerap jadi profesi yang disalahpahami banyak orang. Banyak yang menganggap profesi ini hanyalah sebagai tukang obat, tak lebih. Pandangan miring ini muncul, sebagaimana profesi lain, karena ketidaktahuan orang lain atas detil-detil yang ada.
Nabial menjelaskan, pada dasarnya, yang dilakukan apoteker adalah tugas pelayanan kefarmasian, berkaitan secara langsung merekomendasikan tentang obat yang cocok untuk keluhan yang lagi dirasakan. Penebusan obat di apotek juga dilayani. Ya, pada akhirnya, dia menganggap tak ubahnya sebagai kamus obat berjalan.
Tapi untuk meraih gelar apoteker, atau bisa menjalani profesi ini, jauh dari kata mudah. Proses yang harus dilalui Nabial panjang, berat, dan mahal. Sekolahnya mahal.
“Bagiku susah, Mas. Soalnya hidup hanya untuk laporan, pretes poster, praktikum, responsi hari libur pun kadang pretes dengan asisten dosen. Satu semester ada 4 praktikum, berarti ada 4 laporan, 4 pretes postes, dan 4 praktikum dalam seminggu. Dan biaya mahal kalau mau lanjut profesi apotekernya.”
Betul tukang obat, tapi…
Sekilas terlihat, apoteker memang tukang obat. Tapi yang sebenarnya terjadi lebih dari itu. Memilih obat yang tepat itu tak mudah, apalagi jika pembeli obat tak paham betul dengan obat yang sedang dia cari.
Salah satu hal yang kerap dihadapi adalah pembeli cari obat di apotek, tapi tak tahu namanya, hanya tahu deskripsi bentuk dan warna. Padahal banyak obat yang punya bentuk dan warna yang sama.
“Sebel sih nggak, Mas. Tapi bingung mau jawab apa.”
Apoteker juga harus bisa memberikan obat yang tepat dengan situasi pembeli. Tidak bisa sembarangan memberi obat tanpa melihat konteks. Nabial berkali-kali menemui kondisi seperti ini.
“(dalam memberi obat) tergantung kondisinya pak, dalam farmasi ada pelayanan swamedikasi. Pasien bisa diskusi perihal obat mana yang cocok untuk kondisinya. Tentu ini dinilai dengan tanda gejala ringan. Semisal dirimu bapil, tapi harus kerja, yo aku gak kasih obat yang bikin ngantuk.”
“Cuman ya kadang pasien udah punya pakem obat langganan.”
Tak jarang Nabial menemui beberapa pasien yang minta obat yang butuh resep, tapi pasien tak bawa resepnya. Sikap Nabial tegas, menolak jika ada golongan tertentu yang memang khusus.
“Kebanyakan aku jawab terus terang, untuk golongan obat wajib resep kayak narkotika psikotropika, ataupun antibiotik, nggak aku kasih.”
Gaji apoteker
Saya akhirnya menanyakan pertanyaan yang sensitif untuk profesi apa pun: gaji. Nabial tidak mengatakan secara spesifik berapa gajinya, hanya bilang gajinya cukup-cukup saja. Dia tidak ada tanggungan, jadi ya dia bisa menabung. Tapi untuk keperluan di luar kebutuhan pokok, dia mengaku agak sulit.
Maka dari itulah, banyak nakes, termasuk apoteker, yang double job atau side job. Ini sudah jadi pemandangan umum.
“Hal wajar kalau nakes kerja atau praktek dua tempat. Dan banyak kenalan ku yang kayak gitu. Pagi jadi guru sore praktek di apotek. Aku sendiri pun punya rencana seperti itu.”
Dilansir dari detikfinance, gaji apoteker rata-rata sudah menyentuh angka 3-4 juta per bulan. Untuk apoteker PNS, gaji apoteker pertama golongan 3b sebesar Rp2.903.600-4.768.800. Itu adalah golongan terendah. Untuk apoteker swasta, angka rata-rata adalah 4-6 juta. Tapi, tentu saja, realitas bisa berbeda. Tergantung daerah, tergantung perusahaan.
Melihat Nabial masih menyisipkan kata “sulit” dalam perkara gaji, saya bertanya, apakah dia menyarankan orang-orang mengikuti jejaknya jadi apoteker. Dia mengatakan bahwa dunia medis atau nakes sebenarnya jauh dari kata pengangguran, asal mau menekan ego. Nabial menyarankan orang-orang untuk mengambil dunia nakes, tak harus apoteker, tapi dengan banyak catatan.
“Dan lagi memang Indonesia masih kekurangan tenaga kesehatan profesional.”
Reporter: Rizky Prasetya
Editor: Hammam Izzudin
BACA JUGA Siapa Bilang Jadi Apoteker Itu Gampang dan Tugasnya Cuma Ngasih Obat? Gampang dari Hongkong!
Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News.