Ali Sadikin tak bisa menolak permintaan mahasiswa yang datang ke warung jamunya. Alih-alih membeli jamu, mahasiswa yang sebagian besar perantau itu justru minta dibuatkan Indomie pakai nasi. Ia masih menyimpan catatan utang mahasiswa yang belum membayar makanan pesanannya.
***
Tahun 1999. Indonesia masih dalam situasi krisis moneter. Setelah 8 tahun bekerja sebagai karyawan pabrik sepeda, Ali Sadikin (53) memilih berhenti dari pekerjaannya. Di rumah kecil yang ia tinggali bersama istrinya, pria yang akrab dipanggil Pak Ali ini menjual jamu seduh sasetan.
Menjual jamu seduhan itu sudah diperhitungkan benar oleh laki-laki asli Blitar ini. Peluangnya menjanjikan. Ia sudah survei, nggak ada orang yang menjual jamu di sekitar lingkungannya.
Rumah kecil yang ia gunakan untuk jualan jamu itu terletak di Jemur Wonosari Gang IV, Surabaya, persis di belakang Fakultas Adab & Humaniora Gedung B Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (UINSA).
Waktu masih berjualan jamu, seturut penuturan Pak Ali, ada saja mahasiswa UINSA yang menanyakan apakah Pak Ali menyediakan menu-menu lain. Pertama-tama, ada yang menanyakan apakah Pak Ali menjual es sinom. Sehari setelahnya Pak Ali pun akhirnya menambahkan es sinom di kedai jamunya. Lalu ada juga yang datang ke kedai jamu Pak Ali justru untuk dibuatkan kopi. Dengan senang hati Pak Ali pun membuatkannya kopi.
Sampai akhirnya ada salah satu mahasiswa yang request untuk dibuatkan Indomie yang ditambahi dengan nasi. Seperti yang sudah-sudah, Pak Ali pun melayaninya. Dari situ lah kemudian Pak Ali memutuskan untuk menyediakan aneka jajanan ringan dan Indomie campur nasi di warungnya yang masih buka hingga sekarang.
Bisa dikatakan, warung Pak Ali ini sebenar-benarnya warung makan Indomie atau warmindo. Ya, sampai sekarang, hanya ada satu menu utama yang tersedia di Warung Pak Ali, yaitu Indomie yang disajikan dengan nasi yang cukup melimpah. Untuk sepiring Indomie pakai nasi itu, Pak Ali hanya memasang harga Rp5000.
Kalau cukup berduit, bisa juga nambah gorengan dengan ukuran jumbo yang dihargai Rp1000-an, juga es minuman saset yang harganya juga masih Rp1000-an. Kalau ingin benar-benar menghemat budget, cukup mengambil air galon yang disediakan Pak Ali secara cuma-cuma.
***
Surabaya sedang gerimis saat saya tiba di Warung Pak Ali, Selasa (8/02/2022) sekitar pukul 18.25 WIB. Di Warung Pak Ali juga belum ada pembeli lain. Maka, usai Indomie ayam bawang yang saya pesan terhidang, saya pun duduk persis di hadapan Pak Ali.
Terakhir kali saya makan di warung Pak Ali sekitar bulan Oktober 2021 lalu. Dan baru pada Selasa, (8/02/2022) saya kembali ke Warung Pak Ali lagi. Kali ini saya berkesempatan mendengarkan banyak cerita yang Pak Ali tuturkan dengan antusias.
“Terutama dari arek-arek lama, Mas, memang banyak yang akrab dengan saya,” ujarnya pada Mojok.co memulai cerita.
“Macem-macem lah modelannya arek-arek dulu itu kalau diingat-ingat. Saya suka senyum-senyum sendiri,” sambungnya dengan senyum yang amat bersahaja.
Sambil menyimak, saya sambar Indomie Ayam Bawang di hadapan saya. Terasa nikmat sekali karena sedari sore perut saya sudah terasa keroncongan.
“Pokoknya dulu itu yang ndak ada saya ada-adakan, Mas. Nuruti arek-arek. Kalau ada yang tanya, “Pak Ali ada ini? Pak Ali ada itu?,” saya jawab saja ada. Padahal aslinya kan saya ndak jualan lain-lain,” ungkapnya sambil senyum-senyum sendiri mengenang masa-masa itu.
Lucunya, sejak Pak Ali mulai menyediakan Indomie pakai nasi, lebih-lebih dengan harga yang sangat murah, usaha jamu seduh Pak Ali pelan-pelan malah terkesampingkan. Dibanding yang datang untuk dibuatkan jamu, pelanggannya justru lebih banyak mahasiswa yang minta dibuatkan Indomie pakai nasi. Tujuannya, perut kenyang, tapi tak harus mengeluarkan duit banyak.
Sejak saat itu, Pak Ali mengaku warungnya nyaris tidak pernah sepi pembeli. Buku pukul 16.00 WIB sampai tutup menjelang azan subuh. Kondisi yang berlangsung bertahun-tahun sebelum dihantam pandemi Covid-19.
“Karena yang jalan malah mie-nya, akhirnya jamunya saya stop, ndak diteruskan di tahun 1999 itu juga. Ketambahan pada tahun itu merek jamu yang dijual ada masalah, Mas. Indikasinya mengandung kokain. Jadi sekalian saja distop. Terus lanjut mie saja sampai hari ini,” beber Pak Ali sambil mengecilkan suara radio di sampingnya.
Dan siapa nyana pula, dari jualan Indomie pakai nasi itu Pak Ali lalu menjalin hubungan akrab dengan banyak mahasiswa di Surabaya, khususnya UINSA. Saking akrabnya, banyak mahasiswa yang sudah tidak segan lagi utang kepada Pak Ali. Beberapa di antaranya bahkan tidak dibayar hingga sekarang. Tapi ada juga yang saking berterimakasihnya pada Pak Ali, bahkan sampai menganggap Pak Ali sebagai bapak angkatnya di perantauan.
Selalu mengikhlaskan utang-utang yang tak dibayar
“Ini kalau mau buka-bukaan, Mas, sebenarnya masih banyak yang belum dibayar (utang-utang anak UINSA). Ini saya ada catatannya,” ungkap Pak Ali sambil menunjukkan secarik kertas lusuh yang ia selipkan di atas jendela warung.
“Tapi ya saya nggak pernah masalah. Doa saya semoga arek-arek ini sukses, hidupnya mudah. Catatan utang ini saya simpan kan buat cerita saja, kenang-kenangan, sebagai bagian dari hidup saya,” sambungnya.
Lebih lanjut, Pak Ali membeberkan banyak cerita menyentuh dari mahasiswa-mahasiswa yang pernah utang di warungnya.
Seturut pengakuannya, beberapa mahasiswa yang pernah utang di warungnya sekarang telah sukses di bidangnya masing-masing. Di antara yang disebutkan Pak Ali, ada yang jadi kontraktor, dosen, pimpinan pondok pesantren, kepala sekolah, guru, dan lain-lain. Yang intinya, kehidupan mereka saat ini rata-rata jauh lebih layak dibanding dulu yang makan di Warung Pak Ali saja harus sampai ngutang.
Tak jarang beberapa di antara mereka masih menyempatkan diri mampir ke Warung Pak Ali untuk sekadar silaturahmi sembari bernostalgia; mengenang masa-masa sulit menjadi anak perantauan dengan uang saku pas-pasan.
“Alhamdulillah banyak yang sukses. Kalau ke sini kadang ada juga yang bayarnya dilebihi,” ungkap Pak Ali.
Yang membekas di ingatan Pak Ali tentu momen saat mahasiswa-mahasiswa yang pernah utang tiba-tiba datang dan membayar seluruh utangnya di masa lalu.
“Saya itu kadang mikir, Ya Allah, kok masih sempat-sempatnya balik cuma buat bayar utang. Ada yang tiba-tiba datang terus ngasih uang Rp700.000, Rp300.000, ngaku kalau dulu setiap habis makan langsung pergi, ndak pernah bayar. Ternyata ditotal sendiri,” kata Pak Ali dengan tatapan mata tertuju ke langit-langit warungnya, seperti menengok kembali adegan demi adegan di masa lalu itu.
“Mereka ya minta maaf juga. Tapi saya kan memang nggak pernah masalah. Yang saya pesen ke mereka, pokoknya saling mendoakan. Semoga saya dikasih kesehatan, kalau doa saya ke mereka ya semoga mereka sukses,” imbuhnya.
Obrolan kami sempat terjeda manakala ada anak tetangga Pak Ali membeli teh hangat. Sementara saya lanjut menyantap Indomie campur nasi pesanan saya yang tinggal empat sendokan lagi sudah tandas.
Pak Ali yang sepertinya masih antusias bercerita lantas kembali duduk di hadapan saya. Tanpa menunggu adanya pertanyaan susulan dari saya, Pak Ali dengan senang hati melanjutkan ceritanya yang sempat terputus.
Masih menurut pengakuan Pak Ali, saking akrabnya ia dengan para mahasiswa, beberapa mahasiswa tak segan lagi kalau sekadar utang makan. Bahkan ada yang malah terang-terangan utang uang ke Pak Ali untuk bayar keperluan kuliah atau kebutuhan pribadi yang lain.
“Ada satu anak itu dulu utang berapa ratus gitu lah untuk bayar keperluan kuliah. Makan juga sering utang. Ya saya kasih. Pas sudah lulus, dia datang buat bayar, sambil cerita, bapaknya anak ini heran. Kok bisa dia jarang minta kiriman padahal ndak pernah dikasih uang saku lebih? Dan ternyata dia bilang ke bapaknya kalau dia selama di Surabaya itu punya bapak angkat. Ya saya ini. Ya Allah, jadi saya itu dianggap sebagai bapak angkatnya karena sering ngasih dia uang (utangan),” tutur Pak Ali, kali ini dengan mata sedikit berkaca-kaca.
Kepada saya, Pak Ali menyebut, ada bahkan yang utang hingga total lebih dari Rp1 juta dan masih belum dibayar hingga sekarang. Ada juga yang dulu utang untuk jalan dengan pacarnya dan sampai saat ini anak tersebut tidak pernah datang lagi ke Warung Pak Ali. Dan sekian deretan catatan mahasiswa yang belum membayar utang lainnya.
Tapi, lagi-lagi Pak Ali menegaskan, ia sepenuhnya ikhlas. Tiap kali mengingat bagian-bagian tak menyenangkan ini, Pak Ali hanya berdoa agar anak-anak itu—yang utang dan belum membayar—bisa hidup tenteram dan serba kecukupan.
Tak untung banyak, niatkan bantu mahasiswa sampai akhir hayat
Ada satu alasan kenapa Pak Ali menjual Indomie pakai nasi serta jajanan lain di warungnya dengan harga di bawah standar harga umum, khususnya di daerah Wonocolo, Surabaya. Pak Ali merasa terdorong oleh perasaan sebagai sesama perantau. Mengingat, Pak Ali juga merupakan anak rantau dari Blitar yang mengundi nasib di Kota Pahlawan.
Meski Pak Ali sendiri mengakui, kalau dihitung-hitung, membuka warung ini sebenarnya juga tidak seberapa menguntungkan bagi Pak Ali. Jauh dari penghasilannya saat masih bekerja di pabrik sepeda.
Bayangkan saja, seporsi Indomie pakai nasi dan hanya dihargai Rp5 ribu. Kurang murah bagaimana. Itu saja masih ada yang utang-utang hingga ratusan ribu bahkan jutaan rupiah dan tidak dibayar. Jadi, meskipun dalam sehari buka Pak Ali bisa menghabiskan empat kardus Indomie, tapi uang yang masuk ke sakunya juga belum tentu sepadan.
“Saya itu kasihan saja sama arek-arek perantauan. Apalagi yang di kampung kondisi ekonominya pas-pasan. Ndak apa-apa saya jual mie murah. Toh saya kan ndak ngontrak, ndak nyewa tempat. Jadi ndak ada pikiran buat bayar sewa tempat to,” tutur Pak Ali.
“Jadi hasil jualan mie ini ya sedapat-dapatnya lah,” tambahnya. Hanya mie instan merek Indomie yang ia jual. Itu pun karena ia menuruti selera mahasiswa yang datang ke tempatnya.
Pak Ali sendiri mengatakan, sebenarnya dibanding sekarang, suasana di warungnya jauh lebih gayeng zaman dulu. Mahasiswa-mahasiwa yang masuk dalam kurun lima tahun terakhir, menurut Pak Ali, rata-rata datang hanya sekadar makan. Berbeda dengan dulu yang bahkan bisa sampai seakrab cerita-cerita yang ia tuturkan sebelumnya.
Kendati demikian, Pak Ali mengaku masih melayani dengan sepenuh hati mahasiswa-mahasiswa yang datang ke warungnya.
Pak Ali sendiri sebenarnya merasakan fisiknya sudah tidak mendukung lagi untuk diajak kerja ngoyo; melek hingga Subuh sebagaimana yang ia lakukan sejauh ini. Namun ia tidak kepikiran untuk istirahat, dalam artian menutup warung yang sudah buka selama 23 tahun itu. Ia masih ingin membuka warungnya hingga titik batas fisiknya mampu untuk diajak bekerja.
Karena dalam pikirannya, semaju apa pun zaman sekarang, tetap saja masih ada mahasiswa-mahasiswa dari kalangan wong cilik. Keberadaan warungnya, paling tidak, bisa sedikit meringankan beban keuangan keluarga mahasiswa tersebut. Karena tidak bisa dimungkiri, harga makanan di beberapa warung di Wonocolo semakin ke sini harganya cenderung terus naik.
Beberapa kali pula Pak Ali mendapat saran dari istrinya untuk membuat menu yang sedikit lebih mewah. Menu Indomie sebagaimana umumnya di Warmindo atau warung-warung kopi lain. Indomie ditambah telur, ditambah sawi, irisan tomat, dan lain-lain. Tentu harganya dinaikkan sedikit.
Tapi jika mengingat tujuan banyak mahasiswa datang ke warungnya, yakni untuk makan kenyang dengan harga murmer, oleh Pak Ali usulan tersebut masih ia pertimbangkan.
“Saya punya anak dua. Niatnya yang anak pertama nanti saya suruh menggantikan kalau saya sudah tidak kuat atau kalau saya sudah ndak ada. Biar warung ini tetap ada, ngancani (menemani) arek-arek (mahasiswa),” ungkap Pak Ali yang membuat saya lantas tercenung cukup lama.
Penulis : Muchamad Aly Reza
Editor : Agung Purwandono
BACA JUGA Kisah-kisah Pilu di Bawah Rindang Pohon Seberang Gedung MM UGM liputan menarik lainnya di Susul.