Kasus TBC di Jogja Meningkat, Tantangan Pengendalian Penyakit Kian Berat

tbc di jogja mojok.co

Ilustrasi penyakit TBC (Mojok.co)

Kasus tuberkulosis di Jogja dilaporkan kembali mengalami peningkatan dalam beberapa bulan terakhir. Kondisi ini menambah kekhawatiran karena Indonesia masih menjadi salah satu negara dengan beban TBC tertinggi di dunia.

***

Tuberkulosis (TBC) tetap menjadi ancaman kesehatan masyarakat yang serius, baik di tingkat global, nasional maupun lokal. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menempatkan TBC sebagai salah satu dari tiga penyakit menular yang paling mendapat perhatian, bersama AIDS dan malaria. 

Dalam laporan Global TB Report 2024, Indonesia berada di peringkat kedua dunia untuk jumlah kasus TBC terbanyak setelah India. WHO memperkirakan terdapat lebih dari 1,09 juta kasus TBC setiap tahun di Indonesia, dengan sekitar 125 ribu kematian yang terkait penyakit ini. 

Angka tersebut menunjukkan bahwa TBC masih menjadi persoalan besar dalam sistem kesehatan nasional.

Di Kota Jogja sendiri, situasinya juga belum menggembirakan. Kepala Seksi Pencegahan Pengendalian Penyakit Menular dan Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Jogja, dr. Endang Sri Rahayu, menyampaikan bahwa TBC merupakan penyakit yang dapat menular melalui udara dan dapat menyerang siapa saja, tanpa memandang usia maupun latar belakang sosial. 

“Indonesia nomor dua dunia. Ini sangat mengkhawatirkan karena TBC bisa menular lewat udara dan siapa pun bisa tertular,” ujar Endang, Kamis (27/11/2024).

Upaya pengendalian TBC di Kota Jogja menghadapi sejumlah tantangan. Angka kesembuhan TBC di Kota Jogja belum pernah mencapai target nasional sebesar 90 persen. Tahun lalu, angka kesembuhan tercatat sekitar 86 persen, dan pada 2025 diperkirakan baru mendekati 80 persen.

Menurut Endang, kondisi ini menunjukkan bahwa sebagian pasien masih belum berhasil menyelesaikan terapi secara tuntas. 

“Belum pernah mencapai 90 persen. Padahal yang sudah diobati saja belum semuanya sembuh total, sehingga masih berpotensi menularkan,” jelasnya.

Secara nasional, kondisi serupa juga terlihat. Laporan program TBC menunjukkan bahwa dalam beberapa kohort nasional, angka keberhasilan pengobatan TBC Sensitif Obat berada pada kisaran pertengahan 80 persen, sementara untuk TBC Resisten Obat (TB-RO) angka keberhasilannya jauh lebih rendah, yakni sekitar 56 persen.

Angka ini dipengaruhi oleh munculnya resistensi obat akibat pasien yang menghentikan pengobatan sebelum waktunya.

Faktor kerentanan

Endang menjelaskan sejumlah faktor yang meningkatkan kerentanan terhadap penularan TBC. Pada anak-anak, misalnya, risiko meningkat akibat gizi buruk, stunting, dan berat badan rendah. Sementara pada orang dewasa, kebiasaan merokok, penyakit diabetes, HIV, serta gaya hidup tidak sehat menjadi pemicu utama. 

Data nasional menunjukkan bahwa jumlah kasus TBC pada laki-laki jauh lebih tinggi dibanding perempuan, yaitu sekitar 496.000 kasus pada laki-laki dan 359.000 pada perempuan dalam laporan 2024. Sedangkan sekitar 135.000 kasus terjadi pada kelompok usia anak-anak (0–14 tahun).

Faktor lingkungan juga memainkan peran penting. Menurut Endang, rumah dengan kondisi lembab, minim ventilasi, dan kurang paparan cahaya matahari berpotensi menjadi tempat ideal bagi bakteri Mycobacterium tuberculosis untuk berkembang. 

“Rumah tidak layak huni sangat berisiko. Kuman TBC menyukai tempat lembab dan gelap,” katanya.

Vaksinasi juga turut dibahas sebagai bagian dari strategi pencegahan. Vaksin BCG yang diberikan pada bayi sebelum usia 1 bulan memang memiliki cakupan yang baik di Kota Jogja, tetapi efektivitasnya terbatas. 

Vaksinasi BCG, kata Endang, hanya efektif untuk mencegah TBC berat, bukan untuk mencegah penularan. Efektivitas BCG diperkirakan sekitar 60–70 persen, lebih rendah dibanding vaksin lain. 

“BCG bukan mencegah penularan, tapi mencegah TBC berat. Banyak masyarakat salah persepsi,” tambah Endang.

Masalah lain yang menjadi perhatian adalah meningkatnya kasus TBC Resisten Obat (TB-RO). Salah satu penyebab utama adalah pasien yang berhenti minum obat sebelum pengobatan selesai. Pengobatan TBC membutuhkan kedisiplinan minum obat setiap hari selama minimal enam bulan tanpa putus. 

“Banyak yang merasa sehat lalu berhenti minum obat. Ada yang bosan, ada yang terkendala jarak ke fasilitas kesehatan. Ini yang memicu resistensi obat,” jelasnya.

Upaya pengendalian TBC di Jogja butuh kerjasama

Sementara itu, Epidemiolog Kesehatan Dinkes Kota Jogja, Setyo Gati Candra Dewi, menyampaikan bahwa hingga 17 November 2025, tercatat 1.161 kasus TBC yang ternotifikasi dari seluruh fasilitas kesehatan di Kota Jogja, termasuk 18 puskesmas dan 18 rumah sakit. Namun, tidak semuanya merupakan warga Kota Jogja. 

“Dari total 1.161 kasus, hanya sekitar 590 yang beralamat di Kota Jogja. Setiap tahun biasanya hanya 50–60 persen yang benar-benar warga kota,” jelasnya.

Angka tersebut justru lebih tinggi dari estimasi pusat yang memprediksi 1.034 kasus pada 2025. Untuk memutus mata rantai penularan, Dinkes terus melakukan investigasi kontak terhadap pasien TBC. Kontak erat diperiksa gejalanya, sementara kontak sehat diberikan Terapi Pencegahan TBC (TPT). 

“Kita harus tetap waspada karena TBC bisa menular di mana saja: kantor, sekolah, pasar, transportasi umum. Masker sangat penting,” ujar Gati.

Di tingkat puskesmas, upaya pelayanan terus dilakukan. Programer TBC Puskesmas Umbulharjo II, Rini, menyampaikan bahwa hingga saat ini masih terdapat empat pasien yang menjalani pengobatan di wilayahnya. 

“Kami terus memberikan edukasi mengenai pentingnya GERMAS, konsumsi gizi seimbang, dan disiplin pengobatan terus diberikan kepada pasien,” ujarnya.

Tren nasional menunjukkan bahwa penemuan kasus TBC sempat mengalami gangguan selama masa pandemi COVID-19. Notifikasi kasus menurun signifikan pada 2020, dari 559.847 kasus pada 2019 menjadi sekitar 384.000 kasus. 

Penurunan itu bukan berarti beban penyakit berkurang, melainkan karena proses diagnosis terganggu. Pada 2021, notifikasi kembali meningkat menjadi sekitar 432.000 kasus, tapi angka tersebut masih jauh di bawah estimasi sebenarnya. Ketika kasus tidak terdeteksi dan tidak tertangani, risiko penularan tetap berlanjut.

Upaya pengendalian TBC di Kota Jogja masih membutuhkan kerja sama berbagai pihak, terutama dalam meningkatkan deteksi dini, menekan angka putus obat, dan memperbaiki kondisi lingkungan masyarakat. Dengan melihat data global, nasional, dan lokal yang ada, TBC masih menjadi persoalan kesehatan yang memerlukan perhatian serius dan konsisten.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Kala Puskesmas Hadir di Gang-Gang Sempit, Anak Muda dan Lansia Jogja Tak Punya Alasan Untuk Sakit atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan

Exit mobile version