Sepatu Bata Indonesia dambaan milenial itu kini tidak memproduksi alas kaki lagi. Keputusan strategi tersebut sangat disayangkan generasi milenial yang punya kenangan kecil bersama sepatu Bata. Ada yang berterima kasih karena Bata telah menemani langkah kecilnya saat SD. Ada pula yang teringat usaha membeli sepatu Bata jelang momen tahun baru dan lebaran.
Malam itu sebelum lebaran…
Istiqomah (36) hanya bisa menatap nanar saat melihat kabar berhentinya Bata dalam memproduksi alas kaki. Jari-jari tangan pun tak kuasa untuk mengetik sebuah komentar di salah satu postingan Instagram.
“Bahkan sandalnya masih aku pakai sampai sekarang, saking awetnya,” ujar Istiqomah menggunakan emoticon sedih di penghujung kalimatnya, Kamis (9/10/2025).
Perempuan asal Surabaya itu mengaku sudah memakai produk alas kaki Bata sejak usianya masih 10 tahun. Malam takbiran, sebelum salat Id tiba, almarhum ayahnya mengajak Istiqomah pergi ke toko sepatu Bata. Ia bebas memilih sepatu yang ia sukai, asal harganya oke di kantong.
Laiknya orang tua pada umumnya, mereka selalu menyarankan agar Istiqomah membeli sepatu sekolah dengan ukuran lebih sedikit, agar muat dipakai saat menggunakan kaos kaki. Lebih dari itu, orang tua berharap sepatu Bata yang Istiqomah beli masih bisa dipakai di tahun-tahun berikutnya.
Bak hadiah turun temurun dari orang tua
Dari dulu, kata Istiqomah, orang tua selalu yakin bahwa Bata adalah merk sepatu yang awet. Bahannya yang berkualitas tinggi, membuat orang tuanya yakin agar menjadi pembeli setia Bata sesulit apapun kondisi ekonomi keluarganya yang merupakan pedagang buah.
“Walaupun terkesan mahal, tapi kualitasnya worth it dibandingkan merk sepatu lain. Kami juga nggak terlalu mengenal brand luar, karena keluargaku sudah percaya dari dulu Bata itu awetnya bukan main. Jadi nggak perlu beli tiap tahun, malah menghambur-hamburkan uang,” tutur Istiqomah.

Terbukti, ia masih punya sandal selop Bata yang ia beli sejak tahun 2010 dan masih awet hingga 2022. Sandal yang berbahan kulit sintetis itu rupanya juga tahan air. Meski dipakai wudhu berkali-kali, bahan kulitnya tidak mengelupas hingga menipis. Sampai-sampai, Istiqomah memberikan sandal Bata tersebut ke keponakkannya yang sedang nyantri di pondok.
“Karena, kalau dia pulang dari pondok selalu pakai sandalku.Katanya nyaman dan ringan untuk dipakai sehari-hari,” ucap milenial tersebut.
Bata: Awet bahannya, mahal juga harganya
Tak hanya Istiqomah yang mengakui keawetan Bata, Rafa (32) juga pengguna setia Bata. Keluarga Rafa baru mampu membeli sepatu Bata saat ia masuk kelas 7 SMP. Sejak saat itu, milenial ini tak pernah membeli sepatu baru sampai lulus SMA.
“Jadi aku diajak ke toko sepatu Bata oleh orang tuaku, malam mendekati hari raya lebaran tahun 2004 dan aku baru ganti sepatu di tahun 2010 karena sudah kekecilan saja, bukan rusak,” ujar Rafa.
Laki-laki asal Surabaya itu mengaku saking trennya Bata saat itu, iklannya terus muncul di televisi. Sampai-sampai, ia akhirnya membeli Bata tidak hanya untuk sekolah tapi juga buat dipakai pergi ke luar kota atau jalan-jalan.
“Di tahun 2000-an, pakai produk luar negeri bisa dibilang seperti orang kaya. Gayanya mewah. Berbeda sekali dengan zaman sekarang, karena sudah banyak produk KW (kwalitas).” Kata milenial tersebut.
Baca Halaman Selanjutnya
Sepatu Bata terkenal mahal, sulit dibeli milenial
Di zaman Rafa, sepatu Bata terkenal sebagai merk yang mahal. Merangkum dari berbagai reaksi di kolom komentar Instagram, banyak netizen yang berterima kasih kepada Bata, sekaligus mengenang betapa mewahnya sepatu tersebut.
“Zaman SD tuh, Bata, Dallasm Bubblegum, merk sepatu yang wah banget kalau dipakai,” ucap salah satu akun @tikadeanita_ di kolom komentar Instagram, dikutip Jumat (10/10/2025).
“Kalau kata anak-anak sekarang begini: Anjay, pakai sandal Bata pasti anak dari orang kaya,” ujar @thirtyone_store31.
“Dulu, mau beli sepatu sekolah Bata harus tunggu tahun baru pas ada diskon, karena kualitasnya benar-benar kuat sampai dipakai bertahun-tahun. Harus dengan harga mahal baru bisa dapat,” ujar @pheiiho.
Bahkan, sampai sekarang pun harga Bata terbilang mahal bagi sebagian milenial.
“Dulu mau beli sepatu atau sandal Bata gak keturutan karena mahal, sekarang sudah besar, sudah pingin lagi beli tapi karena banyak pesaing yang lebih menarik perhatian Gen Z,” ucap avfebrynti_
“Sampai sekarang bahkan aku belum pernah punya,” ujar @bahrul.ulum94.
Bata, merk legendaris yang mulai ditekankan
Harga Bata yang terbilang “wah” pada saat itu, bisa jadi tak terlepas dari sejarahnya. Perusahaan sepatu Bata pertama kali Didirikan di Kota Zlin, Ceko tahun 1894 oleh Tomas dan Antonin Bata. Melansir dari laman resmi Bata, pabrik sepatu tersebut baru masuk ke Indonesia tahun 1931. Bahkan, belasan tahun sebelum Indonesia merdeka.
Mulanya, Bata melakukan kerjasama dengan NV, Dutchch-Indisch sebagai importir sepatu yang beroperasi di Tanjung Priok. Enam tahun kemudian, Tomas Bata membangun pabrik Sepatu di Jalan Kalibata Raya, Jakarta Selatan. Produksi sepatu pun baru terjadi pada tahun 1940.
”Di tahun 1982, PT.Sepatu Bata, TBK terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada tanggal 24 Maret. Pada tahun 1994, konstruksi pabrik sepatu di Purwakarta telah rampung,” tulis Bata dikutip Jumat (10/10/2025).
Sayangnya, konstruksi pabrik sepatu di Purwakarta, Jawa Barat kini sudah tutup. Menurut Sekretaris Perusahaan Sepatu Bata Hatta Tutuko, perusahaannya terus merugi sehingga perusahaan tidak dapat melanjutkan produksi pabrik sepatu di Purwakarta, Indonesia.
Kerugian itu cukup memberikan efek domino, hingga akhirnya Bata Indonesia resmi menghapus kegiatan usahanya di bidang industri alas kaki untuk kebutuhan sehari-hari. Keputusan strategis tersebut tertuang dalam risalah Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar pada Kamis (25/9/2025).
“RUPSLB menyetujui perubahan Pasal 3 Anggaran Dasar Perseroan untuk menghapus kegiatan usaha industri alat kaki untuk kebutuhan sehari-hari,” tulis manajemen dalam ringkasan risalah rapat, dikutip Kamis (9/10/2025).
Kalau dilihat dari laporan keuangan mereka pada semester I 2025, Bata mengalami kerugian bersih sebesar Rp40,52 miliar. Bahkan pada periode yang sama, tahun sebelumnya, mereka merugi sebesar Rp127,43 miliar. Namun penjualan bersih justru turun signifikan 38,74 persen menjadi Rp159,43 miliar, dari sebelumnya Rp260,29 miliar.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Selamat Jalan Tupperware, Terima Kasih Telah Memberikan Trauma Masa Kecil dalam Keluarga atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan .