Memanusiakan Difabel bersama Relawan PRYAKKUM dengan Mewujudkan Lingkungan yang Inklusif

Peserta Aksibilitas di PRYAKKUM, Jogja kompak menyuarakan isu difabel. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Sejumlah relawan dari Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (PRYAKKUM), Jogja menggelar Aksi Kolaborasi untuk Inklusi Disabilitas atau Aksibilitas. Suatu kampanye untuk menyuarakan isu difabel. Bersama 34 peserta yang hadir, saya diajak berkeliling ke empat pos yakni laboratorium sosial, knowledge management, jejaring, dan sumber daya manusia.

***

Ketua penyelenggara acara Aksibilitas, Eufra (21) mengatakan kegiatan Aksibilitas 2024 menjadi salah satu bentuk sosialisasi yang dilakukan oleh PRYAKKUM untuk membangun kesadaran masyarakat soal isu difabel. 

“Tujuan kegiatan ini juga mencari volunteer dan memberikan kesempatan mereka untuk mengeksplorasi lebih banyak,” kata Eufra.

Eufra bilang seharusnya ada 50 orang yang mendaftar, tapi karena hujan lebat yang mengguyur Jogja sejak pukul 13.00 WIB membuat sebagian peserta batal hadir. Sementara acara dimulai pada Jumat (6/12/2024) pukul 15.00 WIB.

Sebelum berkeliling, panitia membagi peserta menjadi beberapa kelompok. Saya sendiri masuk di pos terakhir. Di sana, saya berkenalan dengan beberapa teman-teman mahasiswa Universitas Atma Jaya.

Upaya PRYAKKUM memperjuangkan hak difabel

Setelah kelompok dibagi, kami berjalan menuju masing-masing pos. Di pos pertama, panitia dari PRYAKKUM menjelaskan apa itu laboratorium sosial? Sebab, tak banyak yang tahu kalau PRYAKKUM adalah laboratorium sosial yang kegiatannya meneliti seputar hak difabel.

Memanusiakan Difabel bersama Relawan PRYAKKUM. MOJOK.CO
Salah satu relawan PRYAKKUM, Ola, mengisi materi di Aksibilitas. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“PRYAKKUM ini sebagai pusat informasinya. Jadi ketika teman-teman mau magang atau mau meneliti soal isu difabel yang mungkin isunya jarang banget terangkat, mereka bisa menghubungi resource center,” ujar Eufra.

Selain itu, PRYAKKUM juga melakukan percobaan, mengukur, serta melatih teman-teman difabel agar siap bekerja dan terjun di masyarakat.

Melalui kegiatan Aksibilitas, Eufra jadi sadar, tak banyak masyarakat yang mengetahui isu soal difabel. Misalnya saja ada peserta yang antusias melihat proses pembuatan kaki palsu. Ada pula peserta yang baru tahu, bahwa harga alat bantu bagi difabel terbilang mahal bagi mereka.

“Terus ada juga yang tadi aku lihat, mereka belum sama sekali mengetahui jenis-jenis difabel,” ucap Eufra. 

ODGJ masuk kategori penyandang disabilitas

Selama 10 menit berbincang di pos pertama, kami melanjutkan kegiatan ke pos selanjutnya, yakni knowledge management. Salah satu pembahasan yang menjadi highlight adalah isu soal kesehatan mental bagi difabel.

“Kalian tahu nggak sih kalau teman-teman yang mengalami gangguan psikologis, pikiran, perilaku, emosi, contohnya seperti depresi itu termasuk disabilitas mental?” tanya Angga, salah satu konselor PRYAKKUM kepada peserta.

Angga menjelaskan jenis-jenis disabilitas terbagi menjadi empat, yakni disabilitas fisik, disabilitas intelektual, disabilitas mental, hingga disabilitas sensorik. 

Menariknya, survei kesehatan oleh Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menyatakan 1 dari 3 remaja di Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Misalnya stress, depresi, schizophrenia, sleep disorder, bipolar disorder, personality disorder, dan lain sebagainya.

Peserta aksibilitas yang menirukan gerakan Angga sambil mengucap “mantra”. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Oleh karena itu, Angga punya mantra yang bisa diterapkan peserta agar sehat secara jiwa, yakni memberikan afirmasi positif kepada diri sendiri. Setiap bangun tidur atau pergi keluar rumah misalnya, Angga akan mengucapkan kalimat ini:

“Saya mau dan mampu menerima diri saya, mau menerima orang lain, berani menghadapi tantangan, berpikir logis dan positif, dan bahagia,” ucap Angga sembari mempraktikkannya dengan gerakan.

Memanusiakan teman-teman difabel

Angga adalah salah satu pool of expert dari PRYAKKUM. Pool of expert sendiri memiliki peran utama menjadi narasumber atau fasilitator, konsultan, responden, maupun konselor.

Tugas itu, kata dia, penting untuk memberikan informasi kepada masyarakat agar tidak keliru atau lebih paham mengenai hak-hak difabel. Misalnya, tidak ada lagi istilah orang cacat atau orang gila. Yang ada adalah penyandang disabilitas atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Dengan begitu, sosialisasi yang dilakukan bisa dengan pendekatan yang humanis. Bahwa difabel bukan untuk dikasihani. Mereka hanya perlu kebutuhan khusus untuk melakukan aktivitas sehari-hari. 

Vincent (21) salah satu peserta Aksibilitas menyadari bahwa ada hak difabel yang belum terpenuhi. Misalnya, keterbatasan akses untuk mereka pergi ke tempat umum. Terkadang dia pun bingung untuk membantu orang-orang di sekitarnya. 

Vincent, salah satu peserta Asibilitas yang aktif mengikuti kegiatan PRYAKKUM. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

“Saya kan jarang berinteraksi dengan mereka, kurang pengetahuan umum juga soal isu disabilitas, jadi saya ingin ikut acara ini supaya mengenal teman-teman difabel lebih jauh,” ucapnya.

PRYAKKUM: Siapapun bisa memperjuangkan hak difabel

Sebagai pusat penelitian, PRYAKKUM harus mengsosialisasikan seputar hasil penelitiannya atau tentang hak difabel. Oleh karena itu, mereka harus berjejaring untuk membangun dan memelihara hubungan baik dengan berbagai pihak yang relevan.

Kegiatan berjejaring ini penting untuk mendukung resource center, baik secara finansial maupun non-finansial. Sejak 1982 berdiri, resource center menjalin jejaring dengan berbagai mitra.

Resource center memiliki organisasi yang dipimpin dan dijalankan oleh difabel seperti Disabled People’s Organization (DPO). Lalu organisasi berbasis masyarakat yang tidak mencari keuntungan, serta organisasi non-pemerintah yang bekerja secara independen dari pemerintah, dan masih banyak lagi.

Salah satu peserta melakukan fingerptint untuk menyuarakan isu difabel. (Aisyah Amira Wakang/Mojok.co)

Ketua penyelenggara acara Aksibilitas, Eufra menjelaskan setelah Aksibilitas ini digelar dia berharap banyak peserta yang mau menjadi volunteer. Berbagai bidang pun, kata Eufra sangat dibutuhkan.

“Latar belakang anak-anak magang di sini juga berbeda-beda. Ada mahasiswa Ilmu Komunikasi misalnya yang membantu dalam hal pembuatan konten, lalu anak-anak IT yang membuat website, dan sebagainya,” kata dia.

Eufra menegaskan tugas manusia adalah membantu sesama, jadi tidak ada perbedaan usia, background pendidikan, keluarga, atau kondisi fisik dan mental sekalipun untuk menyuarakan hak difabel.

“Peserta juga melakukan fingerprint sebagai suatu aksi bahwa kolaborasi tidak hanya dilakukan 1-2 orang, tapi semua orang dari berbagai warna dan latar belakang yang berbeda punya satu tujuan di Aksibilitas,” ujarnya.

Penulis: Aisyah Amira Wakang

Editor: Muchamad Aly Reza

BACA JUGA: Difabel Kerap Jadi Alat Penarik Simpati, Tapi Hak-haknya Masih Saja Tak Terpenuhi

Ikuti artikel dan berita Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version