Cerita Petugas Quick Count Pemilu: Hasil Sering Diremehkan Meski Saat Bekerja Sama Capeknya dengan Anggota KPPS

Kerja di Lembaga Quick Count Pemilu Ternyata Sama Capeknya dengan Anggota KPPS.mojok.co

Ilustrasi Kerja di Lembaga Quick Count Pemilu Ternyata Sama Capeknya dengan Anggota KPPS (Mojok)

Meskipun hasilnya amat akurat, nyatanya tak sedikit masyarakat yang meragukan quick count. Padahal, di balik angka-angka yang tampil di layar TV itu, ada orang-orang yang bekerja keras demi menyajikan hasil hitung yang presisi bagi Pemilu 2024.

Hitung cepat atau quick count di Indonesia sendiri pertama kali muncul pada Pemilu 2004. Sebagai pemilu pertama yang memilih presiden dan wakil presiden secara langsung, kala itu masyarakat amat antusias untuk mengetahui hasil rekapitulasi suara secara kilat.

Oleh karena itu, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pun bikin quick count. Lembaga ini menjalin kerjasama dengan dengan National Democratic Institute for International Affair (NDI), Metro TV, Yayasan TIFA, dan sejumlah donatur.

Lambat laun, makin banyak lembaga survei dan riset politik yang bikin quick count. Setidaknya kini ada 30-an lebih lembaga quick count yang hasil kerjanya bisa kita simak baik di media sosial maupun TV.

Sayangnya, meski data yang tersaji amat akurat, banyak masyarakat yang menganggap remeh hasil quick count. Mojok pun ngobrol bareng Maikel (18) dan Nanda (29), dua petugas quick count yang membagikan pengalamannya bekerja bikin hitung cepat hasil rekapitulasi suara pemilu.

Jadi petugas quick count karena gagal jadi anggota KPPS

Sejak awal, Maikel memang tertarik menjadi bagian petugas Pemilu 2024. Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Madiun (UMMAD) ini bahkan ingin mendaftar sebagai anggota KPPS maupun saksi dalam pemilu.

“Soalnya lumayan mendapat upah, apalagi buat anak kos,” kata mahasiswa asal Lampung ini kepada Mojok, Rabu (14/2/2024) malam. “Tapi enggak bisa daftar, Mas, soalnya harus asli KTP sini,” imbuhnya.

Untungnya, seorang dosen menawarinya untuk menjadi relawan di salah satu lembaga survei ternama asal Jakarta, Cyrus Network. Maikel pun tak bisa menolaknya.

Akhirnya, Mikael bersama empat kawannya dari kampus UMMAD pun masuk sebagai petugas quick count. Pada Pemilu 2024, mahasiswa prodi Aktuaria ini bekerja mengambil sampel rekapitulasi suara di TPS 10 Josenan, Madiun.

“Selama jadi relawan quick count, kami  dapat upah yang lumayan, kemudian uang makan, uang transport, dan tentunya pengalaman berharga.”

Cara kerja bikin quick count

Bagi orang-orang yang paham statistika, sebenarnya cara kerja quick count amat sederhana. Biasanya, sebuah lembaga akan menaruh beberapa petugasnya di TPS yang mewakili populasi. Di TPS tersebut, relawan akan mengambil sampel data.

Biasanya, sampel akan mereka ambil di salah satu Kecamatan. Kemudian mereka memilih desa atau kelurahan, dan selanjutnya dipilih RW hingga RT sampai tingkat TPS. Artinya, tak seluruh petugas tersebar di 820 ribu TPS di Indonesia.

Makanya, dalam quick count dikenal margin of error (MoE), yakni tingkat kesalahan yang diterima dalam sampel acak. Untuk sebuah quick count, MoE berkisar antara 0,5 persen hingga 2 persen. Umumnya, dengan sampel 2.000 TPS di seluruh Indonesia, hasil quick count sudah sangat presisi.

Maikel sedang melakukan pemantauan pemungutan suara di TPS 10 Josenan, Madiun (dok. pribadi/Maikel)

Maikel bercerita, di TPS tempatnya bekerja, ia bertugas mewawancarai beberapa orang yang telah mencoblos. “Kemudian hasilnya kita tulis dan upload ke aplikasi yang tersedia,” jelasnya.

Selain menanyai pemilih yang selesai nyoblos, Maikel juga harus mengikuti proses perhitungan suara dan mencatat hasilnya. Itulah mengapa banyak quick count sudah mulai berjalan hasilnya dua jam setelah pemungutan suara ditutup.

Sering menemui saksi yang suka ngaret

Meski terlihat sederhana, kadang ada saja masalah yang terjadi di lapangan. Kata Maikel, masalah paling awal biasanya justru karena banyak saksi yang ngaret.

“Jadi kita harus bikin laporan kehadiran para saksi, yang kalau datang lebih dari jam 8.00 mereka dianggap tidak hadir,” katanya. 

“Masalahnya banyak saksi yang telat. Ya jadinya kita enggak enak aja,” lanjutnya.

Selain saksi yang datang ngaret, masalah lain yang terjadi biasanya saat perhitungan suara. Kata Maikel, proses ini biasanya menjadi lama karena tak jarang antarsaksi saling berdebat.

Sangat melelahkan, tapi banyak yang meremehkan hasil kerjanya

Kalau Maikel bekerja di tataran petugas lapangan, beda lagi dengan Nanda yang jobdesk-nya mengolah data-data yang masuk. Nanda, yang pada Pemilu 2019 bikin quick count untuk salah satu lembaga survei di Jakarta, mengaku kalau proses ini amat melelahkan.

“Enggak cuma nerima data. Sebelum itupun kita kudu benar-benar mastiin tim di lapangan kerja dengan baik, dan data yang masuk pun bisa sesuai,” ujarnya kepada Mojok, Kamis (15/2/2024) pagi.

“Itu udah kita lakuin sebelum hari H. Kerja ketemu pagi sudah biasa.”

Sayangnya, apa yang ia dan timnya kerjakan seringkali malah dianggap remeh. Hal ini pulalah yang sering bikin ia merasa kesal.

“Banyak yang ragu. Ada yang bilang titipan lah, bayaran lah. Ya memang kita dibayar, tapi oleh lembaga. Kalau untuk hasil quick count, semua udah sesuai metodologi kok.”

Kata Nanda, banyak orang menyepelekan hasil kerjanya karena tak terlalu memahami soal quick count itu sendiri. 

“Kita kerja pakai rumus, udah diuji. Memang dalam quick count ada MoE, tapi kan ini kecil banget dan bukan berarti data yang kita tampilin enggak akurat,” sambungnya.

Sama lelahnya dengan petugas KPPS

Nanda pun sering heran, mengapa banyak orang tidak percaya pada hasil hitung cepat. Padahal, kata dia, sejarah membuktikan kalau hasil quick count jarang meleset dari hitung akhir KPU.

“Apa orang-orang cuma mau terima kalau hasil capresnya yang menang?,” ujarnya keheranan.

Tanpa mengurangi rasa hormatnya kepada para petugas KPPS, Nanda mengaku kalau sebenarnya di antara dua pekerjaan ini tingkat stresnya sama. 

“Kita sama-sama kerja hampir 24 jam buat mastiin perhitungan akurat,” kata dia. “Hanya saja hasil pekerjaan kami dipandang remeh karena mereka tak memahaminya saja,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi

Editor: Agung Purwandono

BACA JUGA Suka Duka Menjadi Enumerator Quick Count Pilkada 2020

Ikuti berita dan artikel Mojok lainnya di Google News

Exit mobile version