Pekarangan di bukit karst Gunungkidul yang gersang berubah jadi kebun alpukat subur. Beragam jenis alpukat seperti miki, kendil, dan aligator ini turut meningkatkan taraf ekonomi masyarakat setempat.
Gerakan menanam alpukat merupakan inisiasi Kelompok Tani Hutan (KTH) Lestari Mulyo yang bekerja sama dengan Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Kehutanan UGM. Ketua KTH Lestari Mulyo, Sarmi, merupakan salah satu orang yang paling awal mencoba menanam buah tersebut.
Berdasarkan pengamatan di wilayah Karangasem, pohon alpukat mampu tumbuh dan berbuah di daerah perbukitan karst ini. Hal ini merupakan indikasi potensial sebagai tanaman buah alternatif untuk komoditi baru bagi masyarakat Karangasem di masa yang akan datang.
Selain produk utama jagung, ubi kayu dan kacang tanah. Dengan gerakan penanaman alpukat ini, selain terwujudnya diversifikasi jenis tanaman untuk meningkatkan produktivitas lahan pekarangan dengan buah bernilai ekonomi tinggi, juga tersedianya potensi komoditi baru sebagai sumber pendapatan masyarakat di masa yang akan datang dengan hasil buah alpukat organik berbasis pekarangan masyarakat Karangasem.
Koordinator Pengabdian Masyarakat Fakultas Kehutanan UGM di sana, Adriana berujar potensi alpukat di kawasan karst Gunungkidul mulanya belum banyak disadari. Sampai akhirnya petani yang mencoba menanam.
“Dia menanam di pekarangan ternyata buahnya lebat. Satu pohon ketika dipanen bisa hasil Rp4 juta. Akhirnya petani lain juga ikut berminat,” ungkap Adriana saat Mojok wawancara Rabu (13/12/2023).
Integrasi peternakan dengan pertanian di kawasan karst Gunungkidul
KTH Lestari Mulyo merupakan Kelompok Tani Hutan yang semua anggotanya terdiri dari kaum perempuan. Kelompok ini diharapkan dapat menjadi kelompok penggerak masyarakat Karangasem dalam gerakan penanaman alpukat, pemeliharaan tanaman hingga pengelolaan pasca panen buah alpukat organik.
Hal tersebut bersinergi dengan keberadaan masyarakat yang sebagian besar juga beternak. Pemanfaatan pupuk kandang yang tersedia dalam jumlah yang melimpah dari ternak sapi, kambing, dan unggas dapat dimanfaatkan untuk pemupukan tanaman.
“Menarik lagi, ada petani itu yang kreatif, dari hasil abu dapur, memasak dg kayu, abunya diberikan ke apukat sehingga bisa utk mulsa, utk menahan lembab dan menyimpan hara,” papar Adriana.
Sejauh ini, beberapa pelatihan telah dilakukan bersama kelompok tani dan masyarakat Karangasem dengan mitra pendamping dari Tim Fakultas Kehutanan UGM terkait pengolahan kotoran ternak menjadi pupuk fermentasi, perbanyakan bibit alpukat dengan sambung pucuk (grafting), teknik penanaman pada lahan berbatu kapur (karst), hingga pengelolaan tegakan di pekarangan dengan pendekatan Silvikultur Intensif.
Selain KTH Lestari Mulyo, kegiatan ini juga diikuti oleh Kelompok Tani Ngudi Makmur, Kelompok Taruna Tani Ngudi Boga, Kelompok Ternak Ngudi Barokah, Kalurahan Karangasem dan juga kelompok tani dari wilayah sekitar (Mongol dan Dondong, Kapanewon Saptosari serta Bendungan, Kapanewon Karangmojo). Studi banding kelompok tani ke kebun alpukat Jonge, Semanu, Gunungkidul telah dilakukan bersama Kepala Kalurahan Karangasem.
Saat proses monev program, beberapa petani yang mulanya menolak untuk menanam alpukat, justru ingin ikut serta. Hal itu lantaran melihat tetangganya yang menuai hasil dari buah tersebut.
Adriana berharap berbagai pelatihan seperti metode sambung pucuk yang sudah masyarakat pelajari dapat dikembangkan lebih lanjut. Bukan tidak mungkin, kawasan karst Gunungkidul menjadi sentra alpukat organik yang menjanjikan.
Penulis: Hammam Izzuddin
Editor: Agung Purwandono
BACA JUGA Universitas Muria Kudus, Universitas Swasta di Kota Kretek yang Bisa Jadi Pilihan
Cek berita dan artikel Mojok lainnya di Google News