Pemerintah mengklaim bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) 99,9 persen berhasil. Namun, klaim tersebut nyatanya cuma omon-omon buat menutupi berbagai masalah serius, mulai dari keracunan massal hingga sistem yang amburadul.
***
Presiden Prabowo Subianto menyebut Program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah berhasil 99,9 persen. Ia menegaskan, hanya 0,0007 persen penerima yang mengalami keracunan–jumlah yang menurutnya masih “dalam batas ilmiah”.
Namun, bagi Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), klaim itu justru menandai bahaya baru. Yakni, pemerintah menormalisasi kekacauan program dan menyepelekan keselamatan anak-anak.
Dalam keterangannya kepada Mojok, Koordinator Nasional JPPI Ubaid Matraji menyebut klaim tersebut menipu publik karena di balik persentase kecil itu, ada ribuan anak yang jatuh sakit.
Sejak September hingga pertengahan Oktober, JPPI mencatat sedikitnya 13.168 anak mengalami keracunan akibat makanan dari program MBG. Dalam sepekan terakhir saja, 13-19 Oktober, terdapat 1.602 kasus; meningkat dari 1.084 kasus di pekan sebelumnya.
Lima provinsi dengan korban tertinggi adalah Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Nusa Tenggara Barat.
Data yang dikumpulkan JPPI ini sejalan dengan laporan berbagai media. Detik, misalnya, mencatat lebih dari 6.400 anak mengalami gejala keracunan hingga akhir September. Sementara media Australia, ABC, melaporkan “lebih dari 800 siswa jatuh sakit dalam sepekan” setelah mengonsumsi makanan MBG di sejumlah daerah.
Bahkan, Reuters juga melaporkan bahwa program makan gratis Indonesia menghadapi kritik karena “lebih dari 11 ribu anak dilaporkan sakit akibat makanan program ini.”
“Kalau angka ditampilkan tapi fakta disembunyikan, itu bukan keberhasilan, tapi kegagalan yang sengaja dimanipulasi,” tegas Ubaid Matraji, Minggu (19/10/2025).
“Ini omon-omon apa lagi?”
Bagi JPPI, masalah MBG bukan hanya soal keracunan, tapi juga menyangkut sistem yang carut-marut dari hulu ke hilir. Program ini, kata Ubaid, belum memiliki dasar hukum yang jelas karena draf Peraturan Presiden yang menjadi landasannya masih dibahas dan tidak pernah dipublikasikan secara terbuka.
“Perpresnya belum jadi, prosesnya tertutup, pelaksanaannya semrawut, tidak ada transparansi, tapi presiden sudah klaim berhasil. Ini omon-omon apa lagi?” ungkapnya.
Di lapangan, JPPI menemukan banyak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) alias dapur MBG terpaksa berhenti beroperasi karena dana dari pemerintah belum cair. Padahal sebelumnya Badan Gizi Nasional (BGN) mengembalikan sekitar Rp70 triliun ke kas negara. Menurut JPPI, keputusan itu bukan cerminan efisiensi, melainkan tanda buruknya perencanaan dan lemahnya akuntabilitas.
“Dapur-dapur di daerah seperti Sleman, Wonosobo, dan Jepara banyak yang tutup. Yang terlapor mungkin baru sebagian kecil dari yang sebenarnya terjadi,” ujar Ubaid.
Konflik kepentingan dan korupsi terselubung dalam MBG
Di balik persoalan administratif, JPPI juga menyoroti adanya dugaan konflik kepentingan dan korupsi terselubung antara penyedia makanan, yayasan pelaksana, dan pejabat pengawas program. Mereka menuding telah muncul “permainan kotor” seperti pemotongan harga per porsi dan kolusi dalam pengadaan bahan pangan.
“Bau korupsinya menyengat ke mana-mana,” kata Ubaid, menegaskan bahwa keterlibatan sejumlah pejabat dan aparat dalam rantai ini membuat pengawasan menjadi tumpul.
Kekacauan itu, lanjut Ubaid, juga menciptakan ketimpangan akses. Di daerah perkotaan, program MBG berjalan relatif lancar, sementara di wilayah 3T—yang justru paling membutuhkan asupan bergizi—banyak anak belum tersentuh sama sekali.
“Anak-anak kaya di kota malah kebagian duluan, sementara di desa yang gizi anaknya rendah justru menunggu,” imbuhnya.
Lebih jauh, JPPI mengungkap adanya surat pernyataan rahasia yang harus ditandatangani sekolah-sekolah penerima MBG. Surat itu berisi klausul agar pihak sekolah tidak membocorkan informasi jika terjadi keracunan.
“Kami mencurigai format surat ini seragam, bukan inisiatif daerah. Sepertinya ada komando dari atas,” kata Ubaid. Ia menyebut praktik itu sebagai upaya sistematis untuk menutupi fakta lapangan dan membungkam pelapor.
Pemerintah sendiri mengakui adanya kendala di lapangan. BGN menyatakan akan memperbaiki mekanisme pengolahan makanan, distribusi, serta pelibatan sekolah dalam pengawasan. Mereka juga merancang enam langkah perbaikan, termasuk memperketat standar bahan baku dan waktu pengolahan. Namun, program ini masih 15 persen di bawah target karena keterbatasan dapur dan fasilitas logistik di daerah.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Dari Burger hingga Kepemimpinan Militer: 3 Akar Krisis MBG yang Kini Terungkap atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












