Setelah empat tahun senyap (kalau tak mau dibilang hiatus) dari blantika musik, Letto kembali menelurkan karya di awal tahun 2025 ini. Karya tersebut beruba single terbaru berjudul “Sebening Senja”.
Jelas, ini menjadi kabar bahagia bagi para penggemar band asal Jogja tersebut.
Saya sendiri bukan merupakan die hard Letto. Tapi jujur, lagu-lagu dari band yang digawangi oleh Sabrang Mowo Damar Panuluh alias Noe ini belum pernah gagal kalau urusan memanjakan telinga.
Tak cukup pada urusan sopan masuk telinga, lagu-lagu Letto belakangan kalau mau digali maknanya, nyatanya cukup dalam. Bahasa kiwarinya: lebih dari urusan cinta-cintaan sesama manusia, tapi lebih dari itu.
Makanya, ketika Letto merilis “Sebening Senja” dalam pada Senin (20/1/2025), saya cukup antusias. Saya juga mulai bertanya-tanya, “filosofi” apa lagi yang akan dimasukkan dalam lagu itu.
Terakhir Letto me-launching lagu adalah pada 2020 lalu berjudul “Fatwa Hati”. Dan, sama seperti lagu mereka yang lain: membedah makna tiap petikan liriknya lebih mengasyikan daripada mengulik melodi indah yang dibikin Agus Riyono alias Patub, sang gitaris.
Perjalanan jiwa manusia untuk mencari jawaban
Persis seperti hipotesis saya di awal. Lirik dan makna lagu terbaru Letto, “Sebening Senja”, tak mungkin berhenti pada aspek cinta-cintaan antarmanusia.
Atau setidaknya, kalau mendengar kata “senja”, top of mind kita adalah indie, warung kopi, dan lagu-lagu tiga kunci kesukaan Gen Z. Nyatanya, Noe, sang vokalis, punya definisi lain soal senja itu sendiri.
“Senja itu tentang kedewasaan, ujung dari sebuah kematangan. Sudah selesai dengan semua hal, tinggal menunggu matahari tenggelam dan gelap,” jelas Noe dalam sesi srawung media di Syini Kopi, Kadipiro, Jogja, Senin (20/1/2025).
Akan tetapi, Noe sebagai pencipta lagu, mengaku lupa soal detail penulisan liriknya. Sebab, prosesnya sendiri cukup lama, beberapa kali mengalami perbaikan sampai akhirnya mendapat momentum perilisan.
Namun, Noe memastikan bahwa lagu ini mungkin akan relate bagi setiap orang karena berangkat dari momen yang sebagian besar pernah dialami manusia. “Sebening Senja” mengisahkan perjalanan jiwa seseorang untuk mencari jawaban kehidupan, yang pada akhirnya menemukan keajaiban dalam pencariannya sendiri.
“Seperti embun yang merindukan fajar, tapi justru menemukan keindahannya dalam kelembutan pagi,” ucap Noe, menganalogikannya.
Petikan lagu “Sebening Senja” yang Noe kutip berikut ini:
“Tak pernah aku menyesali.. perjalanan yang kulewati.. ‘tuk memahami.. kata hati.. yang memanggil-Mu tak berhenti….” juga punya arti mendalam bagi manusia.
“kata ‘Mu’ di lirik tersebut ‘kan bisa berarti banyak. Bisa ‘Mu’ yang Maha Kuasa, atau orang tersayang, atau siapa saja. Tapi ‘Mu’ di sini menemani orang tersebut dalam perjalanan menghadapi besarnya sebuah cinta yang baru saja dimulai.”
Letto membebaskan ruang interpretasi pendengar
Tak cuma untuk urusan lirik. Makna mendalam juga terlihat dari video klip “Sebening Senja” yang akan rilis dua pekan setelah format audionya beredar.
Untuk urusan video musik, Letto menggandeng Bagoes Kresnawan, sutradara dari Gelora Abadi Sentosa Indonesia (GAS.ID).
Menurut Noe, video klip tersebut nantinya akan menggambarkan dinamika antara ayah dan anak. Namun, Letto tetap membuka ruang bagi pendengar untuk menemukan interpretasi personalnya masing-masing. “Seperti senja yang memberikan warna berbeda di setiap harinya, setiap pendengar akan menemukan warna makna yang berbeda dalam lagu ini,” ujar Noe.
Bagoes, yang juga hadir di acara srawung media tersebut, juga mengaku diberi kebebasan untuk merancang konsep video klip. Menurutnya, Letto hanya memberinya materi lagu tanpa diberi penjelasan mengenai makna di dalamnya.
“Jadi, saya hanya menerjemahkan isi liriknya sesuai interpretasi saya sendiri, karena itu yang diminta Letto,” jelas Bagoes.
Selain Bagoes, gitaris Letto, Patub, menambahkan bahwa band-nya juga menggandeng Sasi Kirono dari Satrio Piningit Studio untuk mixing dan mastering. Langkah ini pun tergolong kurang lazim mengingat selama ini Letto selalu mengerjakannya sendiri.
“Alasan kami memilih Sasi karena beliau mampu menyuguhkan komposisi lagu yang sesuai dengan perkembangan era sekarang. Biar dapat nuansa yang lebih baru,” pungkasnya.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: “Prahara Jenggala”: Ikhtiar Down For Life Suarakan Perjuangan Masyarakat Dayak Melawan Penghancuran Hutan atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.