Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas IIA Yogyakarta menggelar manasik haji dan umrah untuk yang ke dua kalinya. Kali ini, ada 213 napi atau warga binaan yang mengikuti acara tersebut. Kegiatan itu menjadi bagian dari program pembinaan kepribadian berbasis keagamaan. Tujuannya untuk memperdalam pemahaman rukun Islam kelima dan membangkitkan semangat religius warga binaan.
Proses menempa diri di Lapas Wirogunan
Sekitar 213 narapidana mengelilingi replikasi kabah di lapangan Lapas Kelas IIA Yogyakarta sembari menggaungkan suara talbiyah. 50 di antaranya mengenakan baju ihram. Namun, pakaian berwarna putih tanpa jahitan itu tak mampu menutupi tampilan sangar mereka.
Ada yang masih belum terbiasa sehingga harus menjinjing bagian bawah baju ihramnya. Ada pula yang masih memperlihatkan tato di sebagian tubuhnya tanpa sengaja. Misalnya di bagian bahu dan wajah.
Namun, bukan berarti mereka “sepenuhnya jahat”, seperti yang biasa dipikirkan oleh masyarakat sekitarnya. Sebab sejatinya, di masa menebus hukuman itu, para napi berharap bisa bebas dan keluar dengan kepribadian yang lebih baik.
Salah satunya dengan belajar soal kewajiban memenuhi rukun Islam ke lima guna merefleksikan diri. Mereka berharap bisa memenuhi panggilan dari Sang Kuasa. Tak peduli di bawah terik sinar matahari, ratusan napi itu melaksanakan manasik haji tanpa alas kaki.

Barangkali, kata salah satu napi, hari ini hanyalah simulasi, tapi jauh dari lubuk hati mereka ada keinginan untuk berangkat ke tanah suci usai bebas dari jeruji besi. Sebelum harapan itu terjadi, warga binaan Lapas Kelas IIA Yogyakarta berlatih melempar jumrah hingga tawaf mengelilingi kabah.
“Alhamdulillah saya jadi tahu prosesnya, insyaAllah saya bisa haji dan umrah,” ucap salah satu napi usai mengikuti manasik haji di Lapas Kelas IIA Yogyakarta, Selasa (3/6/2025).
Menjadi pribadi baru usai keluar dari Lapas Wirogunan
Kepala Lapas Wirogunan Yogyakarta, Marjiyanto, menyatakan pelatihan ini merupakan implementasi pemenuhan hak pembinaan warga binaan sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan. Oleh karena itu, Lapas Kelas IIA Yogyakarta melakukan pembinaan kepribadian yang mencakup sikap, perilaku, kesadaran hukum, dan keagamaan.
“Saya sangat terharu sekali saat mendengar bacaan Al-Qur’an dari santri. ” ujar Marjiyanto di Masjid Al-Fajar, Lapas Kelas IIA Yogyakarta pada Selasa (3/6/2025).

Tak hanya kegiatan manasik haji, Marjiyanto turut membanggakan keberhasilan salah seorang napi yang baru saja bebas dua minggu yang lalu, usai menghafal 13 juz Al-Qur’an. Jika ditotal sejak tahun 2018 hingga 2025, Lapas Wirogunan telah menyelenggarakan wisuda sebanyak 12 kali dengan total 739 warga binaan.
Marjiyanto menyebut wisuda tersebut sebagai bentuk keberhasilan santri dalam memperbaiki diri. Ia berharap masyarakat di sekitar dapat menerima mereka kembali dalam lingkungan sosial.
“Saya yakin semua warga binaan ini adalah saudara saya semuanya. Tidak usah membeda-bedakan, karena kita semua sama menjalani hidup di dunia ini,” kata Marjiyanto.
“Mungkin ini saat ini saya menjadi kalapas, tapi mungkin saat saya pensiun bisa menjadi tetangga, saudara, bisa besanan, bisa saja jadi juragan saya, atau ngaji bareng di tanah suci,” lanjutnya.
Penjara bukan akhir segalanya
Senada dengan Marjiyanto, Ketua Yayasan Nur Hidayah, Sagiran menjelaskan manusia tak boleh saling menghakimi. Apapun masa lalunya. Sebagai seorang dokter dan penceramah yang menjelaskan manasik haji kepada warga binaan Lapas Wirogunan, Sagiran tahu betul perasaan mereka.

“Saya sendiri sering menjumpai pasien yang terkena kanker stadium empat. Ini sama dengan teman-teman di sini yang mendengar vonis penjara. Tapi percayalah, itu bukan kiamat. Apalagi teman-teman di sini kondisinya masih bugar,” ujar Sagiran.
Lebih dari itu, kata dia, para napi masih memiliki fisik yang kuat. Tidak seperti pasiennya yang sakit secara fisik. Oleh karena itu, jangan sampai hukuman penjara yang mereka jalani membuat hati jadi terpuruk dan merasa hancur.
Seperti moto yang terpampang jelas di samping pintu Lapas Wirogunan, ‘Penjara bukan akhir segalanya’. Dari Lapas Wirogunan juga, para napi justru mendapatkan kegiatan yang positif hingga menambah kemampuan mereka.
Beberapa napi ada yang mengasah kemampuan di bidang musik seperti mengikuti karawitan, membuat kerajinan kotak kado hingga menjualnya di hotel, serta menambah kemampuan memasak. Salah satu produk kuliner terkenal yang dibuat oleh napi Lapas Wirogunan adalah Bakpia Mbah Wiro 378.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Cerita Seorang Muslim Ikut Menyambut Biksu Thudong di Candi Borobudur, Seperti Melihat Kyai Melaksanakan Ibadah Haji liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.











