Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Edy Meiyanto, dipecat atas kasus kekerasan seksual terhadap sejumlah mahasiswa.
Kasus kekerasan seksual guru besar Fakultas Farmasi UGM itu berlangsung merentang 2022-2024. Menyasar korban mahasiswa dari jenjang S1, S2, hingga S3.
Merujuk investigasi Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) Universitas Gadjah Mada, dalam melancarkan aksi asusilanya tersebut, pelaku menggunakan modus seperti: memaksa korban datang ke kediamannya untuk bimbingan (skripsi, tesis, maupun disertasi), meminta korban menghubunginya di malam hari dengan dalih di luar jam kerja, hingga aksi manipulatif dengan meminta korban menganggapnya sebagai ayah sendiri.
13 korban kekerasan seksual guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) buka suara
Pada 9 Juli 2024, seorang korban melaporkan hal tersebut kepada dosen Fakultas Farmasi dan Satgas PPKS UGM.
Merespons laporan tersebut, pihak UGM mengambil langkah awal berupa membebaskan Terlapor dari kegiatan Tridharma Perguruan Tinggi dan pemberhentian dari jabatan sebagai Ketua Cancer Chemoprevention Research Center (CCRC) Fakultas Farmasi berdasarkan pada Keputusan Dekan Farmasi UGM pada 12 Juli 2024.
“Keputusan Dekan Farmasi ini ditetapkan jauh sebelum proses pemeriksaan selesai dan dijatuhkan sanksi kepada yang bersangkutan, untuk kepentingan para korban dan untuk memberikan jaminan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika di fakultas,” ungkap Sekretaris UGM, Andi Sandi, Minggu (6/4/2025).
Satgas PPKS UGM kemudian menindaklanjuti laporan dari Fakultas Farmasi dengan pembentukan Komite Pemeriksa melalui Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 750/U N1.P/KPT/HUKOR/2024 dengan perubahan masa kerja Komite Pemeriksa dari tanggal 1 Agustus 2024 sampai dengan tanggal 31 Oktober 2024.
“Komite Pemeriksa lantas melakukan rangkaian pemeriksaan. Mulai dari meminta keterangan lebih lanjut dari para korban secara terpisah, melakukan pemeriksaan pada Terlapor, para saksi, memeriksa bukti-bukti pendukung yang ada, hingga tahap pemberian rekomendasi,” sambung Andi Sandi.
Ganjaran untuk guru besar Universitas Gadjah Mada (UGM) pelaku kekerasan seksual
Berdasarkan temuan, catatan, dan bukti-bukti dalam proses pemeriksaan, Komite Pemeriksa menyimpulkan bahwa Terlapor terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual yang melanggar Pasal 3 ayat (2) Huruf l Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023 dan Pasal 3 ayat (2) Huruf m Peraturan Rektor UGM No. 1 Tahun 2023.
Terlapor juga terbukti telah melanggar kode etik dosen. Hasil putusan penjatuhan sanksi berdasarkan pada Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada nomor 95/UN1.P/KPT/HUKOR/2025 tentang Sanksi terhadap Dosen Fakultas Farmasi tertanggal 20 Januari 2025.
“Pimpinan Universitas Gadjah Mada menjatuhkan sanksi kepada pelaku berupa pemberhentian tetap dari jabatan sebagai dosen. Penjatuhan sanksi ini dilaksanakan sesuai dengan peraturan kepegawaian yang berlaku,” tegas Andi Sandi.
Selain itu, lanjut Andi Sandi, UGM melalui Satgas PPKS UGM masih terus memberikan pelayanan, perlindungan, pemulihan, dan pemberdayaan pada Korban sesuai dengan kebutuhan para korban.
Menunggu pencopotan status ASN si guru besar
Selain didepak dari UGM, guru besar Fakultas Farmasi tersebut juga terancam dicopot statusnya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) oleh Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek).
Menurut Sekretaris Jenderal Kemdiktisaintek, Togar Simatupang, butuh waktu tiga sampai enam bulan memproses hingga di tahap pencopotan status ASN tersebut. Sebagaimana mengacu Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 6 Tahun 2022, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
“Saat ini masih menunggu hasilnya, yang kemungkinan akan dikirimkan setelah liburan Lebaran ini,” ujarnya mengutip Tempo.
Komitmen jadi kampus bebas kekerasan seksual
Atas kasus yang menjerat guru besar Fakultas Farmasi ini, Andi Sandi mewakili UGM menegaskan, UGM tetap dan akan terus berkomitmen untuk menjadi kampus yang bebas dari berbagai bentuk kekerasan seksual.
“Berbagai kebijakan yang disusun, diterapkan, dan dilaksanakan dengan berpegang pada prinsip bahwa kampus idealnya adalah ruang yang kondusif dan aman dari berbagai praktik kekerasan,” tegas Andi Sandi.
Oleh karena itu, masih kata Andi Sandi, sejak tahun 2016 UGM telah menyusun kebijakan pencegahan dan penanganan pelecehan seksual. Komitmen ini dipertegas melalui peluncuran program Health Promoting University (HPU) pada tahun 2019 dengan dibentuknya tim Kelompok Kerja (Pokja) Zero Tolerance Kekerasan, Perundungan, dan Pelecehan.
Dengan terbitnya Permendikbudristek No.30 Tahun 2021, UGM menyesuaikan kebijakan internal dengan aturan tersebut, antara lain dengan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) pada 3 September 2022.
“Beragam upaya sosialisasi atas berbagai aturan dan SOP terkait penanganan dan pencegahan kekerasan seksual terus dilakukan demi terwujudnya kampus UGM sebagai ruang yang aman dari berbagai tindak kekerasan seksual,” tutup Andi Sandi.
Penulis: Muchamad Aly Reza
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: ‘UGM Diskriminatif, Tak Adil, dan Tak Transparan’: Cerita Dosen UGM yang Merasa Dihambat Jadi Guru Besar atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan
