Mojok menemukan 16 selongsong peluru gas air mata saat aksi demo terjadi di sekitar Polda DIY pada Jumat (29/8/2025) malam hingga Sabtu (30/8/2025) pagi. Semua peluru yang ditembakkan oleh polisi teridentifikasi kadaluwarsa. Di sisi lain, pemerintah menggelontorkan uang triliun rupiah untuk mempersenjatai polisi.
***
Berdasarkan pantauan Mojok kemarin saat tiba di Polda DIY sekitar pukul 00.30 WIB, polisi masih memukul mundur massa aksi dengan gas air mata. Hingga beberapa menit berselang, wartawan Mojok mendengar setidaknya ada 12 tembakan yang ditujukan kepada massa aksi demo.
Akibat tembakan gas air mata tersebut, asap menjalar hingga radius lebih dari 1 kilometer. Saat wartawan Mojok berdiri sampai Halte Pakuwon Mall, efek pedih yang ditimbulkan masih terasa.
Tercatat, tembakan gas air mata pun terus diluncurkan dan baru berhenti saat Sultan Hamengkubuwono X tiba di Polda DIY sekitar pukul 01.30 WIB. Sultan hadir untuk bernegosiasi dengan massa aksi.
Pada saat itulah, wartawan kami sempat memungut 16 selongsong gas air mata di lokasi.

Kami pun menemukan fakta bahwa semua selongsong itu telah kadaluwarsa. Ada yang batas akhirnya tertanggal Desember 2019, Juli 2022, dan tertahun 2023. Padahal, menurut Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), penggunaan gas air mata yang sudah kadaluwarsa berbahaya bagi massa aksi.
ICJR menjelaskan zat kimia yang semakin menurun bisa terurai menjadi gas sianida, fosgen, dan nitrogen. Akibatnya bisa menimbulkan luka bakar, gejala asma, kejang, kebutaan, hingga meningkatkan risiko keguguran.
Pola kekerasaan polisi saat demo
Forum Indonesia untuk Transportasi Anggaran (FITRA) menilai unjuk rasa merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin UUD 1945 sesuai prinsip demokrasi, sehingga mereka tak sepakat jika polisi masih menggunakan pola kekerasan seperti menyemprotkan gas air mata kepada massa aksi.
Lebih dari itu, FITRA juga menyorot bahwa pengadaan alat pengendali massa menggelontorkan anggaran jumbo. Alat tersebut meliputi peluru karet, tongkat baton, amunisi huru-hara, hingga drone pelontar gas air mata.
FITRA mencatat anggaran untuk pengendalian massa itu mencapai Rp2,6 triliun sepanjang 2021 hingga 2025. Jumlah itu, kata FITRA, cukup besar mengingat kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang memberlakukan efisiensi anggaran.
“Jika negara masih mengalokasikan anggaran untuk alat represif tanpa evaluasi menyeluruh, maka yang dipertaruhkan bukan hanya keselamatan warga, tetapi juga kualitas hukum dan demokrasi,” kata Peneliti Seknas FITRA, Gurnadi Ridwan lewat keterangan tertulis yang diterima Mojok, Jumat (29/8/2025).
“Terbukti, penggunaan alat represif berulang kali menimbulkan korban, bahkan di beberapa kasus dapat menghilangkan nyawa,” lanjutnya.
Gas air mata rakyat dari pajak sendiri
Menurut FITRA, negara seharusnya mengutamakan belanja yang mendorong penguatan kapasitas aparat lewat pendekatan humanis, dialogis, dan persuasif alih-alih memperbesar anggaran untuk gas air mata.
Pemerintah memang sempat menurunkan anggaran untuk pembelian gas air mata setelah insiden di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur pada 2022. Namun, anggaran untuk pembelian tongkat baton justru dinaikkan.
Nilainya tidak main-main, jika ditotal sepanjang tahun 2021-2025 mencapai Rp1 triliun. Itu di luar belanja Polri untuk pembelian drone pelontar gas air mata yang diperkirakan mencapai Rp18,9 miliar dan peluru karet sebesar Rp49,9 miliar pada tahun 2022.
“Anggaran negara harus mengayomi rakyat, bukan menakuti apa lagi membungkam suara rakyat. Demokrasi tidak bisa tumbuh dalam suasana ketakutan,” ujar Gurnadi.
Oleh karena itu, FITRA berharap pemerintah dapat mengevaluasi menyuruh kebijakan penggunaan alat represif dalam demonstrasi. Lalu melakukan reorientasi anggaran dari belanja represif menuju belanja pelayanan publik dan penguatan demokrasi.
FITRA juga menuntut negara dan aparat terkait (Polri) meminta maaf atas tindakan represif yang menimbulkan korban jiwa. Sayangnya, hingga berita ini terbit Presiden Prabowo Subianto justru memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk menindak tegas massa anarkis dan tidak menjawab keresahan masyarakat.
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Ahmad Effendi
BACA JUGA: Lagi-lagi Polisi Minta Maaf bikin Kita Muak karena Sudah Tahu Ujungnya: Tak Ada Keadilan untuk Rakyat Kecil atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan.