“Soeharto seharusnya tidak diberi gelar pahlawan, tapi harus diadili karena kejahatan masa lalu.” Ujar Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Masduki dalam acara Forum Lesehan: Diskusi Buku “Mereka Hilang Tak Kembali” di Jogja pada Jumat (31/10/2025).
***
Istana Kepresidenan Republik Indonesia (RI) sudah menerima daftar nama calon pahlawan nasional. Salah satunya adalah mantan Presiden Soeharto. Tinggal kata “oke” saja dari mulut Presiden Prabowo Subianto, maka bimsalabim, gelar pahlawan bakal disematkan pada mantan mertuanya itu pada Senin (10/11/2025).
Tentu, sejumlah sejarawan dan masyarakat sipil menolak usulan tersebut. Mereka menganggap adanya nama Soeharto dalam daftar, sama saja dengan mencederai amanat reformasi, mengingat masa lalu Soeharto yang cacat moral dan politik.
Dalam diskusi buku “Mereka Hilang Tak Kembali: Sejarah Kekerasan Orde Baru 1965-1998” di UII Cik Di Tiro, Jogja pada Jumat (31/10/2025), sejumlah sejarawan sekaligus masyarakat sipil menjelaskan alasan mereka menolak Soeharto sebagai pahlawan.
“Buku ini jelas menegaskan, Jendral Soeharto adalah dalang pembunuhan. Clear di buku ini,” ujar Arsiparis, Muhidin M. Dahlan atau yang akrab dipanggil Gus Muh, saat menjadi salah satu pembicara di acara tersebut.
Mengapa Soeharto tak layak dapat gelar pahlawan?
Sebagai arsiparis sekaligus penulis, Gus Muh bukannya menuding Soeharto tanpa alasan. Ia mengklaim buku “Mereka Hilang Tak Kembali” yang diterbitkan oleh EA Books adalah buktinya, sebab di sana terangkum jelas bagaimana perilaku kekerasan yang dilakukan oleh Soeharto pada masa kepemimpinannya.
Mulai dari peristiwa 1965, Malari (1974), Konflik Panjang di Aceh, Timor Timur, dan Papua, Petrus (1982-1985), Tragedi Tanjung Priok (1984), Talangsari (1989), Kudatuli (1996), Penculikan Aktivis (1997-1998), Geger Dukun Santet (1998), hingga Tragedi Semanggi 1 dan 2 (1998 dan 1999).

“Semua peristiwa itu tentu saja menyisakan trauma. Meskipun buku ini mencatat tentang sejarah masa lalu, tapi kami ingin ingatkan bahwa jangan sampai kita memaknai orde baru sebagai sesuatu yang lampau, karena sisa-sisa orde baru itu masih hidup sampai sekarang,” ujar Rimbawana mewakili empat penulis dari buku tersebut.
Sisa-sisa orde baru yang masih menjamur
Salah satu kisah yang diceritakan dalam buku “Mereka Hilang Tak Kembali” adalah peristiwa Malari atau Malapetaka Lima Belas Januari pada tahun 1974. Di mana puluhan mahasiswa berdemonstrasi di luar Gedung Bina Graha di Kompleks Istana Presiden.
Mereka menuntut janji Soeharto soal perbaikan ekonomi. Sebaliknya, Soeharto justru menaikkan harga BBM, angka pengangguran meroket, hingga rakyat semakin melarat. Tumpukan masalah itu pun tidak datang tiba-tiba. Buku itu mengklaim ada intervensi militer terhadap kehidupan masyarakat.
“Kebijakan ekonomi-politik yang sakit telah tampak sejak tentara kangkangi sektor-sektor ekonomi yang dimulai pada 1957.” Tulis penulis dalam buku tersebut dikutip pada halaman 20.
Hingga akhirnya, mahasiswa melawan dan penangkapan-penangkapan terus terjadi. Mereka dituduh sebagai pelaku pembakaran dalam upaya “makar”. Tak hanya dituduh, ada 11 orang yang tewas dalam peristiwa tersebut.
Rimbawana berujar peristiwa itu mirip seperti apa yang terjadi akhir-akhir ini. Teranyar, ketika masyarakat memprotes besaran tunjangan anggota DPR hingga berubah menjadi kerusuhan, dan menjalar di berbagai daerah di Indonesia.
“Kita kemudian bisa melihat pola-pola ringkasan kekerasan itu pada masa sekarang, saat demo akhir Agustus lalu,” ucapnya dihadapan sekitar 100 orang peserta diskusi.

Senada dengan Rimbawana, Erika Rizqi dari Radio Buku sekaligus editor berujar sisa-sisa orde baru masih ia rasakan sejak Pemilu 2024 hingga hari ini.
“Jujur aja lah teman-teman, rasanya kalau kita membuka sosial media, berita-berita depresif yang kita konsumsi terus-menerus, kupikir itu juga yang akhirnya jadi sedikit alasan teman-teman berkumpul di sini,” ujar Erika sebagai salah satu pembicara.
Soeharto harus diadili
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia (UII), Masduki menilai ada empat kekerasan (koersi) yang terjadi, baik pada masa orde baru hingga sekarang. Pertama, kekerasan fisik yang bisa dilihat dari kekuatan militer.
Kedua, koersi simbolik dengan membangun narasi lewat bahasa komunikasi yang represif. Bukan hanya komunikasi verbal melainkan non-verbal, seperti mimik wajah hingga sikap. Ketiga, koersi pengetahuan seperti brainwash untuk memanipulasi sejarah. Keempat, koersi berbasis politik kultural seperti politik dinasti.
“Nah salah satu kekerasan yang terjadi saat ini adalah pengetahuan, dengan upaya menjadikan Soeharto sebagai pahlawan, padahal dia tidak berdiri sendiri,” kata Masduki.
“Jadi kalau saat ini kita mau melawan, seharusnya tidak hanya menolak Soeharto sebagai pahlawan tapi diadili karena kejahatan masa lalu,” lanjutnya, disambut riuh oleh tepuk tangan peserta sebagai tanda sepakat.
Penolakan Soeharto sebagai pahlawan juga dinyatakan langsung oleh Amnesty. Mereka menilai Soeharto terlibat dalam kekerasan negara yang bersifat sistematis terhadap rakyat. Mulai dari pembredelan media massa, pelanggaran berat HAM, serta praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang terstruktur.
“Tanpa mempertimbangkan semua masalah tersebut, mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional hanyalah upaya menghapus dosa-dosa Soeharto dan memutarbalikkan sejarah,” ujar Amnesty melalui laman resmi, dikutip Jumat (1/11/2025).
“Ketimbang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan, pemerintah seharusnya fokus menunaikan komitmen untuk mengusut berbagai pelanggaran berat HAM selama era Soeharto yang telah diakui negara lewat berbagai TAP MPR pada awal reformasi hingga pernyataan Presiden pada Januari 2023.”
Penulis: Aisyah Amira Wakang
Editor: Muchamad Aly Reza
BACA JUGA: Sejarah Indonesia Berisi Luka yang Diwariskan dan Negara Memaksa Kita untuk Melupakan Jejak kekerasan itu atau liputan Mojok lainnya di rubrik Liputan












