Ada Banyak Rupiah di Tumpukan Sampah

Ada rupiah di tumpukan sampah

Ada rupiah di tumpukan sampah

Di tayangan stasiun televisi CNN Indonesia awal Ramadan ini, saya melihat Vabrian Mahendra (30) tengah menjelaskan bagaimana tumpukan sampah di depannya memberikan pundi-pundi rupiah. Pengelolaan bank sampah yang ditekuninya sejak 7 tahun silam, terbukti bisa memberikan harapan bagaimana sampah di desa-desa bisa dimanfaatkan.

“Bagi kami, sampah adalah emas. Kalau saja semua orang tahu dan mau mengolahnya, ada banyak rupiah di sana,” kata Vabrian Mahendra begitu katanya di layar televisi. Sesekali pria  yang saya kenal ini menyeka keringat yang menggumpal di dahi dengan punggung hastanya. Tak sadar, dahinya tercoreng hitam akibat daki dan jelaga di punggung tangan bertukar posisi.

***

Pemberitaan tentang pasar tiban  ‘Pasar Uwuh’ Desa Trirejo, Kecamatan Loano, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah yang saya saksikan di televisi mengingatkan akan keberadaan Bank Sampah Tri Guyub Rukun.  Tujuh tahun lalu, Pasar Uwuh itu digagas para pemuda karang taruna setempat, dengan konsep barter sampah.

Tahun 2013 saya melihat para pendiri Bank Sampah Tri Guyub Rukun yang memiliki program ‘Pasar Uwuh’ ini adalah anak-anak muda di awal usia dua puluhan. Sangat menarik karena anak-anak muda ini justru memilih menekuni sampah. Sesuatu yang identik dengan kata kotor.

Pekan lalu saya menghubungi Vebrian Mahendra, Ketua Bank Sampah Tri Guyub Rukun. “Apakah siang ini ada aktivitas di bank sampah?” ketik saya to the point lewat aplikasi WhatsApp. Saya dan Vabrian memang pernah bertemu ketika seperti biasanya, saya menjadikannya sebagai narasumber berita. Saya juga bermaksud mendapat kepastian langsung, sebab hari ini, Kamis (22/4/2021), adalah Ramadan dan khawatirnya aktivitas bank sampah pun diliburkan.

Tetapi, ternyata tidak. “Ada.. Tapi saya sampai jam 1,” jawab Vabrian.

“Masih ada kegiatan sampai jam 2, (setelah itu) anak-anak lanjut ke Pasar Uwuh,” lanjutnya.

Berawal dari sedekah sampah

Setelah mempersiapkan diri, saya memacu motor menuju Desa Trirejo, tak kurang 12 kilometer dari rumah, tujuan ke arah utara atau Magelang. Markas Bank sampah Tri Guyub Rukun mudah dijangkau, letaknya di tepi Jalan Raya Purworejo – Magelang, kilometer empat.

Sepuluh menit perjalanan, sampai juga ke sana. Vabrian dan empat temannya sedang sibuk memilah sampah anorganik. Banyaknya sampah membentuk gunungan. “Ini sampah setoran dari bank sampah binaan kami di Desa Ganggeng, Kecamatan Purworejo,” kata Vabrian menunjuk gunungan sampah.

Vabrian menambahkan, Bank Sampah Tri Guyub Rukun kini, sudah berbeda jauh dibandingkan ketika masa rintisan dulu. Bank sampah itu kini mengalami perkembangan yang cukup pesat.

Ia bercerita, sedekah sampah adalah cikal bakal berdirinya Bank Sampah Tri Guyub Rukun. Sedekah sampah adalah aktivitas pengumpulan sampah organik dan anorganik yang diproduksi masyarakat.

“Kegiatan itu mulai tahun 2013, kami mengajak rumah tangga di Trirejo untuk mengumpulkan, memilah sampah, lalu kami ambil pakai gerobak. Ingat sekali, waktu itu kami keliling desa pada hari Minggu, njenengan juga ikut meliput kan,” katanya, sekaligus mengingatkan saya jika dulu pernah dihubungi karang taruna, lalu beberapa jam mengikuti aktivitas itu.

Menurut Vabrian, awal mula ia dan teman-temannya bergelut dengan sampah diawali melihat kondisi sampah yang ada di Desa Trirejo.  Kebetulan ada pasar desa dimana masyarakat di sana masih sering membuang sampah di sekitar sungai dan banyak sekali yang masih membakar sampah. Awalnya ia dan teman-temannya tergerak untuk melakukan kegiatan bersih-bersih kampung, sekalian meluncurkan kegiatan sedekah sampah

Masyarakat cukup antusias, setidaknya mereka tidak memikirkan tempat membuang sampah karena sudah diambil pemuda karang taruna. “Saat itu, kami ambil sampahnya masih gratis, konsepnya yang penting bisa mengurangi sampah di desa,” ucapnya.

Aktivitas itu berkembang pada tahun 2014 ketika pemuda karang taruna mendapat pelatihan dari Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Jawa (P3EJ) Kementerian Linkungan Hidup dan Kehutanan yang berada di Yogyakarta. Pelatihan bertujuan agar kegiatan sedekah sampah dapat bertranformasi menjadi bank sampah.

Upaya membangun jejaring juga dilakukan di tingkat desa, dengan melibatkan unsur PKK. Ibu-ibu PKK ini menjadi ujung tombak dalam pengumpulan dan pemilahan sampah rumah tangga. Tapi, ketika itu tidak lagi gratisan, semua mulai dihitung secara profesional. Setelah Bank Sampah Tri Guyub Rukun dibentuk, mereka mulai menerapkan program tabungan sampah.

Proses memilah sampah di Tri Guyub Rukun. Foto oleh Sarwo Sambada/Mojok.co

Bank Sampah Trirejo juga memberanikan diri keluar, bekerja sama dengan sejumlah sekolah. Bentuknya, bank sampah mengelola sampah organik dan anorganik yang dihasilkan sekolah. Bank sampah pun semakin berkembang ketika mendapat bantuan bangunan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Reduce Reuse Recycle (TPST3R) dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2015.

“Dulu sebelum ada TPST3R, kami sangat kesulitan mengolah sampah organik, tetapi sekarang sudah ada bangunannya. Pemrosesan sampah organik menjadi pupuk atau anorganik untuk dijual ke pabrik, sudah tidak masalah,” terangnya.

Seiring bertambahnya infrastruktur, manajemen bank sampah juga semakin gencar berpromosi membangun jejaring, memberikan solusi atas masalah sampah yang dialami berbagai instansi. “Sampah yang masuk dan diolah di bank sampah juga semakin bertambah,” katanya.

Miliki mitra 65 bank sampah

Pergerakan pun semakin leluasa pada tahun 2017, ketika Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Purworejo menetapkan Bank Sampah Tri Guyub Rukun menjadi bank sampah induk tingkat kabupaten. Bank sampah induk berhak membantu dan membina bank sampah di desa-desa seluruh Purworejo. Jika ada desa yang ingin mendirikan bank sampah, pemuda Trirejo dengan senang hati memberikan pendampingan.

Bank sampah di berbagai desa dijadikan sebagai mitra kerja. Mereka didampingi hingga dapat menjalankan aktivitasnya secara optimal, lalu sampah yang dikumpulkan diambil Tri Guyub Rukun, dibeli dengan layak, sesuai harga pasaran. Sampah yang bernilai lumayan antara lain aneka botol plastik, botol kaca, kertas, logam.

Saat ini, kata Vabrian, sudah ada 65 bank sampah di Kabupaten Purworejo yang menjadi mitra. Bank sampah induk menjadi pengepul bagi bank sampah mitra. “Kami kerja sama profesional, kami buat jadwal dan konsisten datang untuk mengambil sampah. Sebenarnya kami siap juga ambil yang organik, tapi rata-rata bank sampah mitra berniat mengolah sendiri menjadi pupuk untuk mencukupi kebutuhan petani di sana,” ucapnya.

Maka seperti saya bilang di awal, tak heran jika sampah anorganik menggunung di TPST3R Desa Trirejo. Sampah yang datang dipilah, dipisahkan antara botol plastik berkualitas bagus dan kualitas rendah. Untuk kertas, logam, dan kaca pun sama, dipisahkan sesuai jenis dan kualitasnya. Sebab, semua ada harganya.

Aneka jenis sampah plastik diolah dengan cara dibersihkan, kemudian dimampatkan dengan mesin pres. Sekali mesin pres dioperasikan, kurang lebih 60 kg sampah plastik bisa dimampatkan. Dalam sehari normal di luar Ramadan, mesin mengolah rata-rata 180 kg plastik.

Adapun setiap bulan, bank sampah itu mengolah antara enam hingga tujuh ton sampah. Hasilnya kemudian dijual ke pabrik pengolahan limbah plastik, kaca maupun kertas. “Kami kerja sama misalnya dengan Hilon di Solo atau Polindo di Tangerang. Kami tak perlu pusing menawarkan karena justru pabrik sekarang yang datang mencari bahan baku,” ungkapnya.

Menurutnya, secara ekonomi keberadaan Bank Sampah Tri Guyub Rukun telah memberikan manfaat yang besar. Saat ini, ada tujuh pemuda desa yang bergabung dan bekerja di bank sampah itu, baik sebagai pemroses dan bagian administrasi. Mereka sekarang sudah memiliki penghasilan.

Bank sampah mampu mendorong peningkatan kesejahteraan. Bank sampah induk sekelas Tri Guyub Rukun, dalam sebulan rata-rata mempunyai omzet Rp 40 juta dari berjualan sampah. Pendapatan kotor itu dikurangi biaya operasional serta upah yang cukup layak bagi para pekerjanya. Pun masih memiliki sisa untuk pengembangan bank sampah ke depannya.

Bagi Vabrian, sampah ibaratnya adalah emas. Sampah memiliki nilai ekonomi tinggi bagi mereka yang mampu mengolahnya. Maka pelan-pelan Tri Guyub Rukun pun terus mengedukasi masyarakat agar sedari awal mau memproses sampah secara sederhana, yakni memisahkan antara sampah organik dengan anorganik.

“Sekiranya belum kenal sampah, kami edukasi, kami beri pemahaman, ini lo sampah ada manfaatnya, ada keuntungan bagi penghasil sampah,” tegasnya.

Upaya gencar sosialisasi pun mulai tampak hasilnya di beberapa desa mitra bank sampah induk. Vabrian mencontohkan salah satu bank sampah yang aktif, yakni di Desa Ganggeng Purworejo. Awalnya mereka punya mimpi sederhana, yakni ingin lingkungannya lebih bersih dari sampah.

Kepengurusan yang dibentuk pun berjalan dengan baik dan akhirnya berkembang positif. “Untuk memacu masyarakat mau mengumpulkan sampah, pemerintah desa kabarnya membuat kebijakan bayar pajak dari sampah. Sudah berjalan dengan baik, dan sekarang keinginan mereka terjawab, yakni lingkungannya semakin bersih,” paparnya.

Cara mengelola bank sampah agar menguntungkan

Sukses bank sampah induk itu adalah hal yang luar biasa. Sebab, saya melihat dalam beberapa contoh kasus, bank sampah seperti lembaga yang ‘anget-anget tai ayam’. Mereka aktif pada masa awal pembentukan, memiliki ekspektasi tinggi, namun ketika dihadapkan dengan kendala bisnis, lunglai pada akhirnya. Program yang seharusnya menjadi solusi terbaik mengatasi persoalan sampah di tingkat mikro itu pun jalan ditempat.

Vabrian memiliki jawaban sendiri untuk situasi tersebut. Ia mengingatkan, bank sampah bukan sekadar mengumpulkan dan memilah sampah yang sifatnya sosial. Otak bisnis juga harus jalan guna menggerakan roda usaha. Maka struktur kelembagaannya adalah ada bagian pemrosesan, administrasi, dan pemasaran. Sebab, setelah sampah terkumpul dalam jumlah banyak, tentu harus ada ‘lubang’ untuk menjualnya.

Pun tidak cukup jejaring pemasaran. Pemahaman terkait informasi harga pun harus dikuasai benar oleh manajemen, sehingga bank sampah tidak mengalami kerugian. “Saat awal dulu, kami nekat gerilya ke lapak pengepul sampah, tanya soal harga. Kebanyakan lapak tidak mau terbuka karena mereka juga tidak mau tersaingi, tapi ada beberapa yang secara jujur memberikan informasi kepada kami,” ujarnya.

Sebab, kata Vabrian, kendala yang kerap dialami dalam menjalankan roda usaha adalah pengelola tidak paham dengan harga jual per item sampah olahan. “Sehingga ketika mampu mengolah sampah dalam jumlah besar, hasilnya sedikit, akhinya semangat pengelola dan masyarakat turun,” katanya.

Maka, dalam setiap sosialisasi dan pendampingan, Vabrian selalu mengingatkan soal pemilahan sampah. Selain itu, ia juga memberikan gambaran terobosan untuk mengoptimalkan pemanfaatan sampah, antara lain lewat program bayar pajak pakai sampah, bayar lampu penerangan jalan pakai sampah, atau tabungan sampah untuk THR lebaran. “Tidak hanya uang, pakai sampah pun bisa. Hal itu memacu semangat masyarakat untuk terus nguri-uri bank sampah di desanya,” tuturnya.

Namun, mengubah kebiasaan masyarakat memang butuh proses panjang. Mengubah dari kebiasaan membuang sampah sembarangan menjadi mengumpulkan sampah pun pelan-pelan, apalagi memilah sampah sesuai nilainya, tidak bisa serta merta.

Kepala Divisi Produksi Bank Sampah Tri Guyub Rukun, Iwan Cahyoto (36) menuturkan, sebagian sampah-sampah yang masuk ke Trirejo belum terpilah dengan baik. Sampah plastik masih tercampur dengan material lain seperti logam dan kertas. “Masih tercampur, plastik, semuanya dijadikan satu,” ucapnya.

Sampah dari botol plastik sedang disiapkan untuk dipres. Foto oleh Sarwo Sembada/Mojok.co

Iwan menduga belum terpilahnya sampah dengan benar karena penyetor kurang memahami dengan benar jenis dan harga jualnya. Idealnya, memang pemilahan sampah dengan baik sudah dimulai sejak penghasil sampah yakni rumah tangga.

Sehingga, pengelola bank sampah yang bertugas menghimpun, tidak kesulitan dalam mengemas sampah sesuai jenisnya. Iwan maklum dengan keadaan itu. “Memang harus pelan-pelan, meski sosialisasi berkali-kali, kadang pencampuran sampah anorganik masih kerap terjadi,” ungkapnya.

Daur ulang sampah solusi masa depan

Menjelang tengah hari, Dimas (19), salah satu pekerja muda di bank sampah, memasuki bangunan TPST3R, kemudian menghidupkan mesin pres.  Sekira dua menit berselang, tidak satu keranjang pun sampah botol plastik yang dimasukkan mesin untuk dimampatkan. Ternyata, siang itu memang bukan jadwalnya pengepresan sampah.

“Hari ini kami masih memilah sampah, nanti setelah terkumpul banyak, baru dipres. Sebenarnya pengepresan dilakukan setiap hari, tapi sepanjang bulan puasa ini, kami menyesuaikan diri, sebab ada aktivitas Pasar Uwuh pada sore hari,” tuturnya.

Mesin pres memang selalu dihidupkan setiap hari kerja, termasuk ketika tidak digunakan untuk mengepres plastik. Gunanya adalah memastikan mesin bantuan pemerintah itu dalam kondisi baik dan siap dioperasikan kapanpun.

Dimas sendiri mulai bekerja di tempat itu sejak tiga tahun lalu, bahkan ketika ia masih belum lulus pendidikan sekolah kejuruan. Manajemen bank sampah membayarnya Rp 800.000 perbulan. Memang baru separuh Upah Minimum Kabupaten (UMK) Purworejo. Namun, bagi Dimas, angka itu amat sangat lumayan. “Lumayan hasilnya, bisa buat jajan sehari-hari dan beli kuota internet,” tuturnya.

Motivasinya bergabung cukup sederhana tapi mendalam maknanya. Kepada saya, Dimas mengatakan, alasan dirinya bergabung lantaran ingin belajar.

Belajar tentang pengelolaan sampah dan pelestarian lingkungan tentunya. Sebagai anak muda, Dimas sadar jika belasan tahun ke depan, remaja seusianya bakal memegang peran dalam usaha pelestarian lingkungan.

Tapi, kata Dimas, kelak ia tidak akan bisa bergerak sendiri. Butuh dukungan minimal lingkungan sekitar yang mau benar-benar peduli dengan pelestarian. Minimal, nir kebiasaan buang sampah sembarangan.

“Kebetulan bank sampah dekat jalan raya, dan saya paling anyel kalau melihat pengendara mobil, bagus mobilnya, tiba-tiba buka kaca pintu dan buang tisu, botol plastik, atau sering juga daun pisang sisa arem-arem. Apa sih susahnya menyiapkan kantung plastik untuk tempat sampah sementara dalam mobil?”

Dimas berharap melalui bank sampah tempatnya bekerja sekarang ia bisa belajar wawasan lingkungan dan pengelolaan sampah. “Coba Bapak bayangkan, ke manakah kita akan menyingkirkan sampah-sampah ini jika lingkungan sudah padat penduduk! Tiada cara lain, daur ulang solusinya,” terangnya berapi-api.

BACA JUGA  Kedai Rukun: Cita-cita Bapak, Resep Ibu, dan Janji Anak dan liputan menarik lainnya.

Exit mobile version