Yuk, Kenalan Sama ‘Affirmative Action’! Kebijakan yang Mendorong Kesetaraan Partisipasi Perempuan dalam Politik

kebijakan affirmative action

Ilustrasi tindakan afirmatif atau affirmative action untuk mendorong kesetaraan partisipasi politik perempuan (Mojok.co).

MOJOK.CO – Affirmative action dianggap sebagai tindakan penting dalam menjamin kesetaraan partisipasi perempuan dalam dunia politik, khususnya di Indonesia. Tapi, apa sebenarnya affirmative action itu?

Jika merujuk terminologinya, istilah tindakan afirmatif atau affirmative action berarti “diskriminasi positif” (positive discrimination) atau langkah-langkah khusus yang dilakukan untuk mempercepat tercapainya keadilan dan kesetaraan di suatu masyarakat melalui hukum.

Tindakan tersebut bertujuan untuk mempromosikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara, termasuk kaum perempuan. Hal ini pun pada akhirnya kerap dilembagakan dalam peraturan pemerintah dan pendidikan guna untuk memastikan kelompok-kelompok minoritas dapat masuk ke dalam semua program yang ada.

Salah satu sarana terpenting untuk menerapkan affirmative action adalah hukum. Karena itu jaminan pelaksanaannya harus ada dalam konstitusi dan undang-undang.

Dalam sejarahnya sendiri, istilah affirmative action pertama kali muncul pada masa pemerintahan Presiden ke-35 AS John F. Kennedy. Saat itu, upaya affirmative action dimaksudkan untuk menghapus atau menghilangkan pandangan negatif atas perbedaan ras, bangsa, agama, hingga melahirkan daftar anti-diskriminasi yang di dalamnya termasuk perbedaan jenis kelamin.

Konteks Indonesia, affirmative action bagi perempuan

Di Indonesia, isu ini menjadi perbincangan hangat setelah pada 2009 lalu parlemen melakukan affirmative action terhadap UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif).

Melansir Hukumonline, UU ini pada dasarnya mengakomodasi tindakan afirmatif bagi perempuan, yang di antaranya ketentuan yang menyatakan bahwa daftar calon legislatif (caleg) minimal harus ada 30 persen perempuan.

Selain itu, UU Pemilu Legislatif juga mengenal sistem zipper (zipper system) agar memudahkan perempuan terpilih menjadi anggota legislatif.

Zipper System, mewajibkan bahwa setiap tiga orang bakal caleg, sekurang-kurangnya harus terdapat satu perempuan. Tujuannya, agar perempuan bisa berada di nomor ‘jadi’ (nomor urut 1, 2, dan 3) bukan di nomor buntut. Hal ini tertuang dalam Pasal 55 ayat (2) UU Pemilu Legislatif.

Mengapa penting?

Pertanyaannya kemudian, mengapa affirmative action bagi perempuan di ranah politik itu penting? Pada dasarnya, hambatan terbesar perempuan untuk masuk ke dalam dunia politik, temasuk menjadi anggota legislatif adalah nilai dan budaya patriarki.

Direktur LSM Mitra Perempuan Sejati Indonesia (MiSPI) Syarifah Ramhatillah, dalam paparannya menyebut bahwa hal ini dapat dilihat dari tiga hal yang cukup signifikan.

Pertama, dunia politik seolah “memiliki jenis kelamin”, dicitrakan sebagai domain laki-laki dan bukan milik perempuan. Kedua, triple burden yang melekat pada perempuan (beban privat, publik, komunitas) memiliki pengaruh yang besar terhadap kehidupan perempuan.

Ketiga, lebih terbatasnya kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan politik dibandingkan laki-laki. Saat ini, kata Syarifah, peran dari kebanyakan parpol dalam memfasilitasi kader perempuan untuk mengembangkan kapasitas melalui pendidikan politik cenderung masih minim.

Dengan alasan-alasan itulah, pada akhirnya affirmative action sudah seharusnya diterapkan guna mewujudkan kesetaraan bagi perempuan di arena politik. Khususnya untuk mewujudkan representasi 30 persen kursi perempuan di parlemen.

Sayangnya, affirmative action ini masih memiliki beberapa tantangan. Seperti sistem pemilu yang semakin terbuka dan mekanisme suara terbanyak, yang mempersulit implementasi tindakan afirmatif; persaingan internal partai makin ketat untuk merebut posisi dalam pencalonan legislatif; hingga minat aktivis perempuan untuk memasuki institusi politik masih rendah, sehingga partai politik masih dikuasai figur-figur pragmatis dan cenderung oligarkis.

Ada progres meski belum sesuai target

Namun, dengan adanya affirmative action, representasi perempuan di parlemen nasional setidaknya mengalami kenaikan. Asal tahu saja, sejak zaman Orba hingga awal Reformasi, presentasi kursi perempuan di parlemen tak pernah menyentuh angka 10 persen.

Sementara pada Pemilu 2009, setelah UU Pemilu Legislatif diberikan affirmative action, presentase kursi bagi perempuan di parlemen naik jadi 17,86 persen, setelah hanya 11 persen di periode sebelumnya (2004-2009).

Pun, pada pemilu-pemilu berikutnya, representasi perempuan terus mengalami kenaikan. Pemilu 2014, sempat turun ke 17,32 persen tapi di Pemilu 2019 lalu melesat menjadi 20,52 persen kursi di Senayan.

Kendati belum bisa mencapai goal 30 persen representasi, tapi ada progres tiap tahunnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Perlu Kamu Tahu, Ini 5 Fakta Representasi Perempuan di Parlemen Indonesia

 

Exit mobile version