MOJOK.CO – Pemilu dengan sistem proporsional tertutup mendapat banyak penolakan, khususnya dari mayoritas partai politik di parlemen Indonesia. Namun, di tengah sejumlah reaksi keras ini, akademisi dari dua kampus tersohor justru punya pandangan berbeda. Mereka menganggap sistem coblos partai lebih ideal diterapkan. Apa alasannya?
Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati menyebut, jika dibandingkan dengan sistem pemilu yang berlaku pada 2019 lalu, sistem proporsional tertutup ia anggap punya lebih banyak kelebihan.
Lebih lanjut, kata Mada, untuk negara yang punya banyak partai seperti Indonesia ini, proporsional tertutup terlihat lebih ideal. Khususnya jika penyelenggaraan pemilu legislatif diadakan secara serentak.
“Banyak ahli sudah mewanti-wanti kalau sebuah negara menyelenggarakan pemilu serentak, maka pilihlah sistem yang paling sederhana,” terang Mada, dikutip dari laman resmi ugm.ac.id, Rabu (11/1/2023). “Dan sistem tertutup ini adalah sistem yang sederhana dari sisi pemilih,” tegasnya.
Profesor ilmu politik ini menambahkan, kelebihan lain dari sistem coblos partai adalah secara teknis lebih meringankan panitia pelaksana pemilu, mengingat proses rekapitulasi suara lebih mudah.
Dengan demikian, hal ini dirasa perlu menjadi salah satu pertimbangan, khususnya bagi panitia penyelenggara. Terlebih, berkaca pada pemilu sebelumnya, terdapat banyak penyelenggara yang sampai meninggal dunia karena kelelahan.
Sementara terkait pertanyaan bagaimana prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi bisa terpenuhi, Mada menyebut beberapa mekanisme yang bisa diterapkan. Misalnya, melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang mewajibkan setiap partai membuat berita acara terkait proses pencalonan. Selain itu, pemilih juga bisa berperan misalnya dengan membuat forum di luar partai politik.
“Mekanismenya bisa macam-macam, paling tidak secara legal formal prinsip-prinsip tadi sudah terlihat,” katanya.
Paparan serupa juga pernah disampaikan Guru Besar Universitas Indonesia (UI), Valina Singka Subekti, dalam orasi ilmiah pengukuhan Guru Besar Tetap Ilmu Politik bertajuk “Sistem Pemilu dan Penguatan Presidensialisme Pasca Pemilu Serentak 2019” pada 2019 lalu.
Saat itu, Valina menyarankan agar Pemilu 2024 mendatang Indonesia menerapkan sistem proporsional tertutup alias coblos partai. Menurutnya, metode coblos partai bisa mencegah politik transaksional, sehingga lebih baik dari proporsional terbuka.
“Perlu dipertimbangkan untuk merancang kembali desain sistem pemilu yang mampu memperkuat presidensialisme pada satu sisi dan kualitas demokrasi Indonesia pada sisi lainnya,” kata Valina, dikutip dari laman resmi fisip.ui.ac.id.
Ada beberapa alasan yang diutarakan Valina. Pertama, sistem pemilu harus mampu meningkatkan derajat representasi dan akuntabilitas anggota DPR. Kedua, sistem pemilu harus mampu menghasilkan sistem kepartaian dengan jumlah partai sederhana.
Sementara yang ketiga, lanjut Valina, sistem pemilu harus mudah diaplikasikan dan berbiaya rendah serta mampu memutus mata rantai praktik politik transaksional.
“Sistem pemilu saat ini yang berpusat pada calon atau ‘candidacy centered’ perlu direkayasa kembali menjadi sistem pemilu yang berpusat pada partai atau ‘party centered’. Sistem pemilu proporsional tertutup dapat dipertimbangkan kembali sebagai salah satu alternatif untuk digunakan dalam pemilu serentak 2024,” sambungnya.
Mantan anggota KPU (2004-2007) ini juga memaparkan gagasan awalnya terkait rancangan sistem pemilu proporsional tertutup. Tiga poin yang ia sampaikan di antaranya (1) memperketat persyaratan partai politik peserta pemilu, (2) memperkecil besaran daerah pemilihan dan alokasi kursi dari 3-12 menjadi 3-8, dan (3) meningkatkan ambang batas parlemen 5 persen.
“Dengan adanya rekayasa desain sistem pemilu, diharapkan dapat mendorong partai politik menjadi lebih kuat, aspiratif dan akuntabel sehingga penyelenggaraan pemerintahan presidensial lebih efektif,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, sistem proporsional tertutup—yang menjadi usulan PDIP—ramai-ramai ditolak oleh parpol-parpol di parlemen. Bahkan, beberapa hari yang lalu, delapan parpol telah berkumpul dan menyatakan sikap mereka menolak sistem proporsional tertutup.
Lebih lanjut, hasil survei dari Skala Survei Indonesia (SSI) baru-baru juga ini menunjukkan bahwa mayoritas publik, yakni sebesar 63 persen menginginkan agar Pemilu 2024 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Hanya 4,8 persen responden yang sepakat dengan sistem coblos partai.
Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda