Perempuan dalam Politik: Butuh Lebih dari Sekadar Afirmasi 30 Persen

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY Erlina Hidayati (Dok: Mojok)

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY, Erlina Hidayati, dalam Launching "Kanal Suara Politik perempuan: Seri Daerah Istimewa Yogyakarta" yang berlangsung di Auditorium FISIP UGM, Kamis (10/8/2023)

MOJOK.CO – Perempuan menghadapi tantangan struktural dan kultural ketika terjun ke dunia politik. Afirmasi 30 persen yang sudah berlaku selama ini merupakan langkah yang baik, namun perempuan membutuhkan lebih dari itu. 

Seolah langit-langit kaca, begitulan perempuan dalam politik elektoral. Mereka didorong terjun ke dunia politik demi memenuhi keterwakilan di pemerintahan. Namun, banyak yang lupa bahwa perempuan punya tantangan lebih besar, baik eksternal maupun internal, karena status mereka sebagai perempuan.

Dari eksternal, perempuan yang ingin maju sebagai legislatif kerap kali mendapat nomor urut belakang, kurangnya pendidikan politik, minimnya sumber daya, dan masih banyak lagi. Sementara dari sisi internal, caleg perempuan biasanya perlu mendapat persetujuan keluarga terlebih dahulu sebelum berpolitik. Kondisi yang biasanya tidak dialami oleh caleg laki-laki.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY, Erlina Hidayati, mengungkapkan bahwa tidak sedikit pemimpin maupun caleg perempuan yang sudah terpilih kemudian menghadapi konflik dengan keluarga maupun suami di masa jabatannya. Ujung-ujungnya, mereka yang terjebak dalam kondisi ini mengalami kekerasan secara verbal maupun nonverbal.

Halaman selanjutnya …

Keluarga adil gender

Keluarga adil gender

Dukungan dari keluarga menjadi salah satu faktor yang menentukan keterlibatan perempuan dalam berpolitik maupun dalam menjadi pemimpin. Pengamatan dan pengalaman Erlina selama ini, politisi perempuan yang berlaga di ranah politik biasanya tumbuh dari keluarga yang adil gender. Baik dari keluarga perempuannya sendiri maupun keluarga pasangan.

Itu mengapa, Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) DIY menjadikan pola asuh dalam keluarga sebagai salah satu fokus program. Mereka berupaya membentuk keluarga berkualitas melalui pola asuh yang berkeadilan gender.

“Itu mengapa kita dorong terus di DIY pola pengasuhan dalam keluarga,” jelas dia dalam Launching “Kanal Suara Politik Perempuan: Seri Daerah Istimewa Yogyakarta” yang berlangsung di Auditorium FISIP UGM, Kamis (10/8/2023). Harapannya, dengan adanya perhatian terhadap keluarga yang berkualitas ini tercipta individu-individu yang lebih berdaya di masa mendatang.

“Mari berjuang bersama-sama dari sisi politik, agar siapapun yang terpilih nanti bisa mewakili atau menyempurnakan kondisi masyarakat yang bisa lebih adil gender melalui pola parenting maupun program-program lain,” imbuh dia.

Perempuan dalam politik: Tetap optimistis

Melihat kondisi saat ini, perjalanan mewujudkan keterwakilan perempuan secara ideal memang masih panjang. Tantangan struktural dan kultural masih menjadi pekerjaan rumah bersama. Namun, hal ini bukan berarti peluang perempuan berkarya di dunia politik tidak ada harapan sama sekali.

Sosiolog dan Wakil Dekan Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Alumni UGM Fina Itriyati menerangkan, di tengah tantangan-tantangan di atas, banyak perempuan potensial bermunculan.

“Perempuan-perempuan itu tinggal ditingkatkan kapasitasnya, sangat mampu dan kapabel maju legislatif dan menduduki jabatan publik yang lebih luas.

Ketua Program Studi Sarjana Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Mada Sukmajati, menambahkan, apabila dilihat dari sisi regulasinya, sebenarnya pemerintah sudah menyediakan alat berupa kebijakan afirmatif yang sudah tertuang dalam bentuk undang-undang demi mendorong keterwakilan perempuan. Hanya memang, penerapannya perlu menjadi pekerjaan rumah bersama.

Sambil memastikan terpenuhinya keterwakilan itu, para politisi perempuan perlu terus meningkatkan kapasitas diri. Jangan sekadar berangkat dengan sebuah klaim bahwa dirinya perempuan yang menyuarakan isu-isu berkaitan dengan perempuan. Lebih dari politisi deskriptif, caleg perlu bisa mengidentifikasi isu-isu yang ada di sekitarnya. Setelah itu didorong untuk memiliki pemaknaan terhadap isu-isu tersebut dengan perspektif gender.

“Jangan-jangan problemnya selama ini adalah kemampuan mereka untuk memahami pemaknaan terhadap isu-isu,” pungkas Mada.

Penulis: Kenia Intan
Editor: Purnawan Setyo Adi

BACA JUGA Sentimen Gender Masih Kuat, Perempuan Punya Tantangan Lebih untuk Maju sebagai Presiden

Cek berita dan artikel lainnya di Google News

Exit mobile version