Partai Buruh Siap Berlaga di Pemilu 2024, Wujudkan Welfare State via Kekuatan Sayap Kiri?

partai buruh wujudkan welfare state

Ilustrasi harapan pekerja pada Partai Buruh yang ingin mewujudkan Welfare State. (Mojok.co)

skanMOJOK.CO – Partai Buruh siap berlaga pada Pemilu 2024 mendatang. Kesiapan ini terlihat dari target yang mereka patok, yakni 7 juta suara dalam Pemilu Legislatif.

Partai pimpinan Said Iqbal ini merupakan satu dari empat parpol baru yang akan debut di Pemilu 2024 nanti. Bersama Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Gelora, dan Partai Ummat, mereka bakal bersaing dengan 13 parpol lainnya.

Di banyak negara, Partai Buruh menjadi kekuatan politik yang berasal dari spektrum sayap kiri. Di Selandia Baru, misalnya, Jacinda Ardern, saat masih menjabat sebagai perdana menteri, bahkan punya tujuan besar untuk mendidik masyarakat dalam prinsip sosialisme-demokratik (sosdem).

Begitu juga di Inggris, Partai Buruh berideologi sosdem. Tokoh-tokoh penting Partai Buruh, seperti Jeremy Corbyn, Tony Blair hingga Keir Starmer, selalu menelurkan kebijakan progresif dan jadi penantang serius kekuatan kanan Partai Konservatif.

Bahkan, Partai Buruh Sosialis (PSOE) di Spanyol yang memenangi Pemilu 2019 lalu, menggandeng Podemos dalam koalisi di parlemen. Sebagai informasi, Podemos merupakan parpol kiri-jauh yang terbentuk dari gerakan Indignados—dan mengawali tren populisme kiri di Eropa.

Selain di Selandia Baru, Inggris, maupun Spanyol, partai-partai pekerja di negara Eropa lain, khususnya Skandinavia, punya afiliasi langsung dengan gerakan buruh dan berideologi kiri. Lantas, apakah ini juga terjadi pada Partai Buruh di Indonesia pimpinan Said Iqbal?

Partai Buruh dan Negara Kesejahteraan

Secara umum, gagasan utama Partai Buruh di berbagai belahan dunia adalah mewujudkan negara kesejahteraan (welfare state). Dalam welfare state, jaminan sosial jadi sesuatu yang merata dan melembaga. Bahkan, anggaran terbesar negara adalah untuk penyediaan jaminan sosial.

Melansir laman resmi partaiburuh.or.id, parpol yang pendirinya adalah empat konfederasi serikat pekerja terbesar dan 50 serikat pekerja tingkat nasional ini juga memilih asas welfare state. Asas ini berlandaskan pada tiga prinsip, yakni kesetaraan kesempatan, distribusi kekayaan yang adil dan beradab, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kendati demikian, Said Iqbal tidak pernah mengatakan apakah Partai Buruh-nya berideologi sayap kiri atau bukan. Kepada Detik, ia mengaku bahwa partainya berideologi “sosial-demokrat Pancasila”.

“Sosial-demokrat Pancasila,” ujarnya singkat kala itu.

Ini seturut dengan pandangan parpol yang tercantum dalam laman resmi mereka, yang menyebut bahwa ideologi Partai Buruh adalah Pancasila. Utamanya dengan titik tumpu sila kedua dan kelima.

Bahkan, dalam sebuah webinar bertajuk “Hidup dan Matinya Partai Buruh di Indonesia” pada 2021 lalu, Said Iqbal menolak Partai Buruh sebagai kepanjangan tangan dari spektrum sayap kiri komunisme. Ini merupakan respons atas pertanyaan yang mengaitkan antara Partai Buruh dengan sejarah komunisme di Indonesia.

Dalam sejarahnya, ia memang mengakui bahwa gerakan buruh tak lepas dari paham komunisme. Namun, Partai Buruh—sebagai sebuah wadah gerakan—tidak semuanya punya afiliasi dengan komunisme.

“Gerakan buruh itu tidak bisa disamakan dengan gerakan komunis. Memiliki keterikatan dengan ideologi komunisme itu jelas, itu fakta sejarah yang mustahil ditutupi,” terangnya saat itu.

“Namun, gerakan buruh sendiri tidak bisa semata-mata disamakan dengan gerakan komunis,” imbuhnya, seraya menjelaskan bahwa Partai Buruh saat ini kebanyakan lebih berideologi sentris (tengah).

Perlu didukung meski punya kekurangan

Majunya Partai Buruh ke arena Pemilu 2024 menjadi angin segar, utamanya bagi kelas pekerja di Indonesia. Hal ini diakui editor IndoProgress Rio Apinino dalam tulisannya berjudul “Partai Buruh dan Gagasan Negara Kesejahteraan”.

Selama ini, kata Rio, kondisi pekerja di Indonesia sedang dalam keterpurukan. Menurutnya, penyebab utamanya adalah daya gedor serikat buruh yang kian lemah.

Berdasarkan catatannya, pada 2018 lalu hanya ada 2,7 juta pekerja yang berserikat. Padahal, per Februari 2022 saja jumlah angkatan kerja mencapai 144 juta. Artinya, baru 1,8 persen pekerja yang berserikat.

“Bangkitnya pekerja gig juga belum mampu direspons dengan cekatan oleh serikat yang bagi banyak orang masih terlampau bercorak konvensional,” jelas Rio.

Dengan demikian, kehadiran Partai Buruh menjadi angin segar untuk setidaknya dapat mengatasi permasalahan tersebut. Terlebih, absennya Partai Buruh dari arena politik juga bikin banyak kebijakan yang merugikan pekerja makin mudah lolos. Salah satunya Perppu Cipta Kerja.

Ada banyak sekali PR yang terlebih dahulu harus Partai Buruh selesaikan. Salah satunya terkait diskursus negara kesejahteraan yang diusung Said Iqbal dan kolega.

Menurut Rio, dalam sejarahnya konsep welfare state—asas yang dianut Partai Buruh—sebenarnya berpijak pada dua kaki yang berseberangan: kanan ke kapitalisme, dan kiri ke sosialisme. Dalam artian, ia masih punya watak kapitalis.

Lebih lanjut, esensi welfare state yang berwatak kapitalis, kata Rio, pada dasarnya tidak muncul dari ruang hampa. Ia adalah produk sejarah yang spesifik. Welfare state, hadir dalam konteks ketika konflik kelas semakin runcing tapi berakhir dengan kompromi. Dengan demikian, Partai Buruh seringkali gagal meladeni atau memberi tekanan pada kapitalis dalam welfare state.

“Pada akhirnya masa depan Partai Buruh di Indonesia juga akan sangat tergantung pada relasi dengan massa,” pungkasnya.

Penulis: Ahmad Effendi
Editor: Amanatia Junda

BACA JUGA Profil Partai Buruh: Siap Rebut Suara Kelas Pekerja di Pemilu 2024

Exit mobile version